Malam baru saja jatuh ketika ia ditinggalkan begitu saja di sebuah kebun kosong, sementara hujan baru saja reda. Meski dingin menyelimuti, ia tetap diam membatu. Embun pun perlahan menghajarnya hingga basah kuyup. Hingga bulan tersungkur, ia masih bergeming.
Ia terbangun ketika matahari mulai panas terik. Ia tergagap. Ia tak banyak mengingat peristiwa semalam. Semua berlangsung begitu cepat, hingga tanpa disadari, ia telah terlempar ke rumpun ilalang.
Lars Kiri, begitulah namanya. Pemiliknya adalah seorang serdadu berpangkat rendah. Sudah hampir tiga tahun ia mengabdikan diri menjadi pelindung kaki kiri tuannya. Mengikuti tugas-tugas penting hingga tak mengenal waktu dan cuaca. Namun demikian, ia diciptakan tak sendiri. Saudara kembarnya, Lars Kanan, selalu menemaninya ke mana pun Tuan Serdadu bertugas.
Akan tetapi, pagi ini saudaranya, Lars Kanan, tak ada bersamanya. Sudah berulang kali ia mencoba memicingkan mata ke kanan dan kiri, tak juga ia jumpai. Hingga pada sebuah titik, pandangannya tertambat pada sosok tubuh yang terkapar di rerumputan.
Hampir sepekan ia menjadi saksi atas tubuh yang terkapar di rerumputan. Tubuh itu kini telah berubah bentuk. Hujan yang tiap malam mengguyurnya menjadikan tubuh itu membengkak. Bau busuk mengudara diterpa angin. Bau itulah yang kemudian mengundang ribuan lalat berpesta pora mengerumuninya. Bau itu pula yang kemudian membawa seorang bocah laki-laki menemukan tubuh yang terkapar di rerumputan itu.
Keesokan harinya, puluhan bahkan ratusan orang berkerumun dari balik pagar pita kuning. Seekor anjing rottweiler menyalak setelah membaui apa saja yang ada di sekitarnya, hingga kemudian anjing itu berjalan menuju ke arah Lars Kiri.
Ia terkejut ketika anjing itu mendengus-dengus di hadapannya. Dua orang petugas berompi oranye bergegas datang. Mereka kemudian melakukan identifikasi. Setelah dirasa cukup, sebuah tangan mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam sebuah kantung plastik.
***
Sepekan sebelum tragedi. Pada sebuah malam yang dingin, seseorang mengetuk pintu rumah Tuan Sedadu. Tak lama berselang, si pemilik rumah menerima sebuah amplop berisi selembar surat dan foto. Ia pun mengangguk pada si kurir.
Di teras rumah, sepasang sepatu lars terkantuk di sebuah rak usang. Mereka berdua saling merapatkan tubuh agar tak terjatuh. Sesekali mereka juga beradu dengkur. Berjam-jam membalut kaki pemiliknya membuat mereka kelelahan. Namun, kantuk mereka terempas setelah pemilik rumah membuka pintu lalu meraih mereka berdua dan memakainya.
“Hendak ke manakah tuan kita? Bukankah ini sudah saatnya istirahat?” tanya Lars Kiri.
“Barangkali tugas jaga malam,” jawab Lars Kanan.
“Bukankah malam ini bukan jadwal Tuan Serdadu berjaga?”
“Benar. Malam ini bukan jadwalnya.”
“Sial!”
“Aku pikir kurir tadi alasan tuan kita pergi.”
“Kenapa harus malam ini? Ah, kenapa juga memakai kita? Kenapa bukan yang lain? Bukankah ia memiliki banyak sepatu? Sial!”
“Sudahlah. Tak perlu banyak mengeluh. Bukankah kita diciptakan untuk selalu siap jika pemilik kita membutuhkan. Apalagi pemilik kita seorang serdadu. Pantang bagi seorang serdadu menolak tugasnya. Yang terucap dari mulutnya hanyalah kata ‘siap’. Sudah semestinya kita bangga. Kita telah menjadi bagian penting seorang serdadu yang menjaga keamanan rakyat. Secara tak langsung kita menjadi saksi mata atas perjuangan seorang anak bangsa dalam menegakkan keamanan.”
Selesai melipat tali sepatu, Tuan Serdadu bergegas pergi. Dengan berbekal jaket kulit dan helm, ia pun mengendarai motor trail-nya. Sementara itu, Lars Kiri dan Lars Kanan masih saja meributkan perihal ke mana tuannya akan pergi. Kali ini mereka mengeraskan volume suara karena terhalang mesin motor Tuan Serdadu.
“Tapi menurutku, akhir-akhir ini Tuan Serdadu terlihat agak aneh. Tak biasanya ia sesibuk ini. Kalau pun ia mau jaga malam, mengapa tak pakai seragam kebesaran? Ia hanya memakai pakaian biasa.”
“Sudahlah. Sepertinya kita tak perlu mempersoalkan tentang hal itu. Sebaiknya kita fokus dengan tugas kita masing-masing.”
Akhirnya mereka pun terdiam.
Tuan Serdadu menghentikan laju motornya. Dipandanginya sebuah rumah bergaya minimalis di seberang jalan. Diambilnya sebuah foto dari balik jaket. Tak lama berselang, sebuah mobil datang memasuki rumah. Dengan segera Tuan Serdadu menghampiri laki-laki yang turun dari mobil, yang tak lain si pemilik rumah. Mereka bercakap-cakap beberapa saat, kemudian mereka bersepakat untuk menuju ke sebuah tempat.
Laki-laki si pemilik rumah membonceng Tuan Serdadu. Dalam perjalanan, mereka mengobrolkan sesuatu yang tak dipahami oleh Lars Kiri dan Lars Kanan. Hingga melewati sebuah kebun kosong, Tuan Serdadu menghentikan motornya. Tuan Serdadu beralasan ingin buang air kecil. Namun, meminta laki-laki si pemilik rumah untuk menemaninya.
Sesampainya di tengah kebun, tiba-tiba Tuan Serdadu mengambil sangkur dari balik baju, lalu menyerang laki-laki si pemilik rumah. Mereka bergumul untuk beberapa saat. Semuanya terjadi begitu cepat. Hujan pun turun deras.
***
Sebuah tangan meraihnya ketika ia hampir saja kehabisan napas. Lalu ia diletakkan di atas meja, bersihadap dengan seorang komandan berkumis tebal.
“Jadi ini barang bukti yang ada di TKP?”
“Siap, Ndan! Benar. Hanya barang ini yang dapat diendus oleh anjing kami.”
Komandan mengangguk sembari mengelus-elus kumisnya.
“Apa barang ini milik korban?”
“Siap. Bukan, Ndan. Sepatu milik korban masih utuh. Bahkan masih dikenakan korban.”
“Baik. Kalau begitu mari kita mulai saja.”
Kemudian Lars Kiri mulai dijelali pertanyaan-pertanyaan oleh komandan dan kedua anak buahnya. Pertanyaan-pertanyaan mereka tak mampu ia pahami hingga membuatnya tergagap.
“Sebaiknya kita pakai cara lama saja, Komandan,” usul salah seorang anak buah.
Komandan menyeringai mendengar usulan anak buahnya. Lalu ia mengambil sesuatu dari laci mejanya.
“Sebaiknya kau mengaku saja, atau kau akan merasakan akibatnya!” ancam si komandan.
Lars Kiri tetap bergeming. Mulutnya benar-benar terkunci. Hingga pada akhirnya sebuah pukulan martil mendarat tepat di tubuhnya. Ia pun terpental dari atas meja dan tersungkur di lantai.
***
Lars Kiri baru tersadar ketika sebuah tangan meraihnya dari dalam kantung plastik berwarna hitam. Tangan itu kemudian meletakkannya di atas sebuah meja berbalut kain hijau.
“Jadi ini barang bukti yang tertinggal di TKP?” tanya hakim pada salah seorang yang menyebut dirinya jaksa penuntut.
“Saya lebih suka kalau ia disebut saksi kunci, Yang Mulia,” jawab jaksa penuntut.
Tak lama berselang, ia pun di sumpah sebelum memberikan kesaksian. Sumpah yang benar-benar tak ia pahami makna dan tujuannya, dan ia hanya terdiam.
Pada pertanyaan-pertanyaan awal yang dilontarkan hakim, ia masih dapat mengerti. Namun, pada pertanyaan-pertanyaan berikutnya, ia mulai tak memahaminya. Bahkan hakim terkesan menuduhnya telah bersekongkol dengan tersangka.
“Saudara tak perlu mengelak. Apalagi berbelit-belit. CCTV rumah korban menunjukkan bahwa saudara datang bersama tersangka.”
Ia bergeming. Ia masih tak mengerti dengan apa yang dikatakan hakim: CCTV, korban, tersangka. Mengapa juga ia dikatakan sebagai saksi. Saksi dalam hal apa? Ia masih membisu di atas meja hijau. Pukulan martil interogator yang menghantamnya tempo hari membuatnya kehilangan sedikit ingatan.
“Kesaksian saudara menjadi penentu nasib saudara sendiri. Saya harap saudara jawab dengan jujur!” bentak hakim.
Ia bergetar. Ia benar-benar tak mengerti dengan pertanyaan-pertanyaan hakim. Jujur untuk hal apa? Ia merasa tak pernah berbohong. Sementara itu, semua mata tertuju padanya. Ada kelucuan tersaji di ruang persidangan. Bagaimana mungkin sebuah sepatu menjadi saksi sebuah kasus. Bukankah pada kebanyakan kasus ia biasanya hanya dijadikan barang bukti?
“Baik. Barangkali orang yang akan kami datangkan akan membantu ingatan saudara.”
Tak lama berselang, sepasang petugas mengapit seseorang ke dalam ruang sidang.
Pada awalnya ia tak mengenali tersangka. Namun, setelah salah satu petugas membuka penutup kepalanya, ia terkejut. Ia tak menyangka bahwa yang dihadirkan ke ruang sidang adalah Tuan Serdadu, disusul saudara kembarnya, Lars Kanan.
Ia benar-benar tak mengerti. Bagaimana ia akan bersaksi, sementara setiap perkataannya tak mampu didengar oleh hakim dan segenap orang-orang di ruang sidang.
“Lakukan sesuatu agar dapat memutuskan apa yang harus kami putuskan. Saudara cukup menggerakkan apa yang saudara dapat gerakkan. Saudara saksi, apa benar tersangka, Tuan Serdadu, tuan saudara, adalah pembunuh laki-laki yang terkapar di kebun kosong?”
Ia masih tertegun. Ia tak menyangka malam itu merupakan peristiwa pembunuhan dan pelakunya adalah Tuan Serdadu sebab semuanya berjalan begitu cepat. Yang tertinggal dalam ingatannya hanyalah ketika ia tiba-tiba terlempar dari kaki Tuan Serdadu.
“Saudara saksi!” bentak hakim.
Ia terperanjat, lalu oleng dan jatuh ke sisi kanan.
“Baik. Saya anggap itu jawaban saudara. Kesaksian saudara kami terima. Maka dari itu, sidang hari ini saya akhiri!” pungkas hakim. Lalu mengetuk palu tiga kali.
Semua hadirin terperangah dengan kekonyolan hakim.[]
Kudus, Mei 2019