Kau datang dan pergi, oh, begitu saja
Semua kuterima apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam
Di ruang rindu kita bertemu

Tentu pembaca familier dengan lagu yang sempat booming tahun 2005 tersebut. Kali ini Kurungbuka mempersembahkan wawancara spesial dengan penulis lirik sekaligus pelantun lagu Ruang Rindu, Sabrang Mowo Damar Panuluh atau yang populer dengan Noe Letto. Ia merupakan anak pertama dari budayawan, Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal dengan sebutan Cak Nun. Yuk simak!

_ _ _

  • Terkait dengan musik Mas, berdasarkan informasi dari internet alat musik yang pertama kali Mas Sabrang “pegang” atau pelajari adalah keyboard. Nah ini menarik mengapa keyboard, umumnya remaja kan belajar gitar sambil nongkrong. Apa dulu Mas Sabrang termasuk introvert? Bisa diceritakan?

Termasuk utilitarian. Yang kebetulan ada, iseng dimainin dan diulik. Eh, tanpa sengaja belajar.

  • Saat Mas Sabrang usia 6 tahun, kedua orangtua bercerai. Bagaimana perasaan Mas Sabrang kala itu? Apakah merasa broken home sebagaimana umumnya anak “korban” perceraian?

Kebetulan saya belum pernah riset cukup dalam untuk tau respons standar terhadap perceraian. Saya tidak mampu menerjemahkan kata ‘broken home’ dalam pertanyaan di atas. Maksudnya broken home itu gimana, garis batas antara broken dan tidak itu gimana, dan seterusnya. Jadi ya tidak tahu apakah broken atau tidak. Yang saya ingat itu keputusan orang tua dengan argumentasi yang jelas. Jadi ya sudah. Begitu saja.

  • Saat SMP paman Mas Sabrang memberikan koleksi lagu-lagu Queen. Benarkah itu yang menjadi stimulus berdirinya Letto kelak?

Seperti semua pengalaman hidup masa lalu, tentu menjadi faktor dalam pengambilan keputusan masa berikutnya. Kalau yang dmaksud adalah korelasi langsung antara Queen dengan Letto, tentu tidak. Letto bukan lahir dari mendengarkan musik Queen. Letto lahir dari bertemunya beberapa komponen yang ternyata pas untuk melahirkan keputusan pembuatan band tersebut.

  • Bisa diceritakan pola pendidikan Mbah Nun kepada Mas Sabrang, yang menurut Mas Sabrang patut kita tiru saat ini?

Jalur komunikasi. Dari semua yang terjadi, menjaga jalur komunikasi adalah paling penting. Karena dalam keadaan apa pun, ketika ada jalur komunikasi, maka kesempatan untuk mengamplifikasi sebuah potensi ilmu yang ditemukan anak bisa dimanifestasikan sebaik-baiknya.

  • Selulus SLTA, Mas Sabrang memutuskan untuk kuliah di University of Alberta Kanada dan memilih 2 bidang kajian eksak sekaligus (Matematika dan Fisika). Mengapa kedua bidang itu yang dipilih? Bukan sastra atau film misalnya?

Sejujurnya, karena saya orangnya pemalas. Matematika dan fisika termasuk ilmu fundamental yang relatif jarang berubah, tidak banyak terpengaruh zaman. Tidak ada trend, tidak ada selera, tidak ada perang opini. Karena yang dipelajari memang berhubungan dengan bahasa logika dan relasi fundamental dari alam yang manusia tak bisa mengubahnya. Sekali belajar/paham, bisa dipake seumur hidup. Bahkan hapalan saja tidak perlu. Benar-benar sesuai dengan sifat kemalasan saya.

  • Selain menggeluti seni, apakah Mas Sabrang juga mengampu sebagai dosen di universitas tertentu di indonesia? Memanfaatkan ilmu yang telah didapat di luar negeri?

Sudah ada yang menawari, tapi sampai saat ini saya merasa itu bukan jalan yang pas untuk saya. Ada orang-orang yang lebih pandai dan tepat mengambil peran itu.

Mungkin itu alasan menutupi kemalasan saja. haha

  • Letto pernah meraih double platinum, dan ke-4 albumnya laku keras di pasaran. Bahkan dikenal hingga di Malaysia dan Singapore. Bagaimana pandangan Mas Sabrang terhadap “nasib” industri musik saat ini? Ada yang berpendapat, kini industri musik sudah tidak ada, yang ada seni pertunjukan. Jika tak konser, tak ada pendapatan. Berbeda dengan dulu, setelah album dicetak jutaan keping sang musisi bisa menikmati hasil meski selonjoran di rumah.

Yang pasti dari zaman adalah perubahan. Pergeseran yang terjadi saat ini adalah bagian dari perubahan yang kita harus mampu mengantisipasi dan beradaptasi. Saat ini tentu belum ideal. Tapi juga wajar-wajar saja, karena melihat sejarah Indonesia, memang si pengampu yang seharusnya bisa menciptakan ekosistem yang adaptif, belum optimal dalam usahanya.

Banyak pihak terlibat dalam industri musik. Pembuat, penikmat, pendukung, pelindung, dsb. Ini hanya akan jalan kalau ekosistem ‘dituntun’ dengan baik, dengan conformity dari semua stakeholder. Masalah yang kompleks. Seperti semua hal di Indonesia.

  • Bagaimana proses kreatif Mas sabrang dengan Letto dalam melahirkan lirik-lirik yang begitu indah dan kontemplatif?

Ada sesuatu yang ingin disampaikan, kemudian ditulis dan disampaikan, dengarkan kritik, perbaiki diri. Sesederhana itu. Indah dan kontemplatif itu label dari para penikmat. Saya sendiri tak punya hak apa pun dalam label-label tersebut.

  • Ke depan ada rencana Letto membuat album baru?

Produksi musik jalan terus. Entah jadi album, single, atau pun file di storage saja, hanya waktu yang bisa menjawab. Letto emang nyeleneh urusan seperti ini. Tugas kita adalah mempersiapkan karya. Itu tunai. Masalah kesempatan disampaikan ke publik, itu ada yang ngurus sendiri entah siapa. hoho…

  • Selain dijalur musik, apa tidak ada rencana menulis buku?

Ada rencana. Ada yang tertumpuk. Ada yang terfolder. Ada yang terangkum. Ada yang ter-layout. Apakah jadi buku? Ternyata sampai sekarang juga belum.

  • Melalui Pic[k] Lock, Mas Sabrang telah membuat film-film bermutu. Dalam waktu dekat ini adakah rencana membuat film sebagai respona terhadap situasi dan keadaan Indonesia yang kian hari kian balau nggak karuan?

Kebalauan ini sepertinya tak bisa dijawab dengan ‘sekadar’ produksi film. Itu menurut saya.

  • Sebelum Symbolic.id, kalau tidak salah Mas Sabrang juga pernah membuat satu aplikasi untuk melawan informasi-informasi hoax, apakah Symbolic.id merupakan metamorfosis dari aplikasi tersebut atau bagaimana? Apa harapan Mas Sabrang lewat Symbolic.id ke depannya?

Opinium. Aplikasi iterasi pertama dari eksperimen kita. Betul, Symbolic merupakan metaforosis dari konsep tersebut. Lebih tepatnya iterasi lebih lengkap dari sebelumnya. Langkah respons terhadap analisa “Generasi Larva”, tulisan saya di media massa. Cita-cita untuk membangun generasi produktif dengan daya adaptasi yang tinggi.

sumber foto: beritalima.com
  • Dalam beberapa kesempatan di forum Maiyah, Mbah Nun kerap menyebut Mas Sabrang sebagai bahan rujukan (Marja Ilmu Pengetahuan). Bagaimana Mas Sabrang menanggapi hal ini?

Lagi-lagi, saya tidak paham label. Kalau itu bermanfaat, monggo saja. Saya hanya jujur sebisanya menjadi diri saya sendiri.

  • Yang terbaru misalnya, Mbah Nun mengaku mendapat ide mengawinkan ide revolusi mental dengan revolusi akhlak dari Mas Sabrang. Nah hal tersebut sebenarnya semacam harapan, ataukah semacam peringatan satire kepada kedua kubu yang seakan tak mungkin didamaikan?

Itu logika sederhana. Revolusi mental dan revolusi akhlak bukanlah arah yang berlawanan. Jika keduanya memang murni cinta untuk Indonesia, tentu tidak masalah mengkolaborasikan dua gagasan tersebut.

Kecuali kalau dua jargon itu memang hanya jargon politik identitas. Tentunya tidak akan terima jalan bersama, walaupun untuk kebaikan masa depan Indonesia.

Dan kita sudah tau jawabannya sekarang bagaimana.

  • Terakhir, Apa pesan-pesan yang ingin Mas Sabrang sampaikan untuk generasi muda milenial dewasa ini?

Tolong pelajari sedikit. Bonus demografi itu isu penting. Hanya terjadi sekali sepanjang umur sebuah negara. Siapa yang berhasil memanfaatkannya dia akan meroket luar biasa. Yang gagal, akan di bawah selamanya (belajar dari pengalaman negara lain). Saat ini, milenial, adalah motor utama pada generasi itu. Keputusan atas apa yang akan dilakukan bisa menentukan nasib Indonesia puluhan tahun ke depan. Generasi milenial memegang kunci utama tersebut.

Mau tenggelam dalam keributan-keributan yang sudah disiapkan di depan mata (agar kita sibuk ribut, lupa produktif), atau bersedia mendefinisikan generasi baru yang adaptif produktif?

Keputusannya terserah pada: masa depan seperti apa yang hadir di imajinasimu. (Anas)