Di kota kelahiranmu, gerimis tak pernah berangan menjadi logam atau apa-apa yang membuat tubuh para perempuan menjadi lebam; gerimis hanya ingin menjadi hujan: sehingga beberapa pertemuan tertunda dan beberapa pertemuan lain jadi sedikit lebih kekal. Karenanya, di kota kelahiranmu, dingin yang datang masihlah dapat dicatat oleh termometer; terlebih termometer yang menempel di ruang tamu itu. Dan hari sudah larut malam; ibu dan anak lelakimu sudah terpejam di dalam kamar, sedang kau dan adik perempuanmu ada di ruang baca keluarga: kau membaca kumpulan puisi Melihat Api Bekerja, dan adikmu tengah merampungkan sebuah naskah drama—
Amatlah kau hapal pemandangan yang ada di depanmu; meski biasanya yang kau pandang begitu bukanlah adikmu—melainkan seseorang yang dulu, kini, atau nanti takkan dapat genap digenggam tangan. Amatlah serupa antara adikmu dengan orang itu: hanya kenyataan bahwa adikmu adalah seorang perempuan dan orang itu adalah lelaki yang membedakannya. Dan sebab amat kau hapal pemandangan yang demikian, dan apa-apa yang melekat pada pemandangan itu, kau pun tak ingin menganggunya: tak ingin mengajukan tanya atau mengajak bicara bila tak ia minta. Kau sampai pada puisi “Pulang ke Dapur Ibu”, dan kau mendapati gelasmu dan gelasnya sudah kosong; dan kau pun bangkit dari duduk, menuju dapur.
Ruang baca keluarga itu bersebelah dengan kamar ibumu; dan terdorong suatu hal, kau pun membuka sedikit gorden yang menjelma pintu bagi kamar ibumu. Perempuan tua itu terlelap tenang; dan kau pun masuk ke kamarnya: menaikkan selimut dan mengecup lembut keningnya. Saat hendak keluar kamar, kau terhenti, dan melihat sekeliling: sebuah ruang yang bukan hanya ruang! Kau ingat, saat masih kanak, saat kau menduga akan tetap menjadi anak tunggal dari sebuah keluarga, kau kerap masuk ke kamar ibu dan memintanya mendongengkan sebuah kisah purba: cerita tentang pahlawan, istana, dan para dewa-dewa. Dengan wajah teduhnya, meski sebelumnya mesti disembunyikannya dahulu raut lelah sebab keras bekerja, ia akan mendongengkanmu kisah-kisah itu: hingga kau terlelap. Dan kau pun berbalik, melihat wajah perempuan yang telah tua itu: dan kau berharap bisa kembali jadi gadis ciliknya—
Di dapur, kau menyalakan kompor, merebus sedikit air. Sambil menunggu masak, kau menyiapkan gelas dan menuang kopi. Dengan sedikit berjinjit, kau mengambil gula; dan untuk sesaat matamu berkaca: teringat kala lelaki berkumis yang mengangkatmu agar dapat mengambil gula guna membantu ibu memasak untuk hari raya…. Kau pun menuangkan gula ke gelasmu; dan kala hendak menuangkan gula ke gelas adikmu, kau teringat bahwa ia tak genap suka manis, dan kau pun menyimpan kembali gula itu. Air sudah masak, dan kau tuangkan ke masing-masing gelas: mengaduknya dan membawanya ke ruang baca.
Adikmu sudah rampung; atau setidaknya sudah tampak rampung, dugamu; dan kau begitu terpukau kala ia tengah mengelung rambutnya yang panjang dan lembut itu: dan tampak tengkuknya yang putih: Apakah di sana sudah ada seorang lelaki yang menyematkan nama? Dan sebab mendapatimu membawa dua gelas kopi, adikmu pun tampak senang—
Untukku, Kak?
Kau mengiyakannya; dan ia pun berterima kasih. Kau meletakkan kopi itu di meja baca; dan adikmu menarik kursinya ke sana. Ah! Ia rindu pula bercakap denganmu yang selama ini menetap di ibukota: menemani suami yang baik dan giat bekerja itu. Kau pun menyeruputnya, dan adikmu pun juga meminumnya. Dan selepas suatu hening, di mana suara hujan di luar jadi kian kentara, jadi kian jelas terdengar telinga, dengan agak malu, kau pun bertanya kepada adikmu:
Apakah kau membenciku?
Dan mendapati tanya semacam itu, adikmu terkejut; dan dengan lekas ia mengelengkan kepala. Ia letakkan gelas kopinya, dan berkata:
Apakah karena kejadian itu…? Aku kira aku sudah cerita ke Kakak, dan jawabanku masih sama: Aku tidak pernah membenci Kakak. Bagaimana bisa aku membenci Kakak? Dalam pengertian tertentu, Kak, Kakak bukan hanya menjadi kakak bagiku; Kakak juga menjadi ibu, sudah menjadi ibu kedua bagiku, telah menjadi teman dan pendengar yang terlampau sabar….
Kau terdiam dalam—
Di telepon, bukankah aku sering bilang ke Kakak?
Kau pun mengangguk pelan, dan berupaya memasang senyum.
Kalaupun aku ada di posisi Ibu, aku kira aku juga akan berkata begitu. Dan itu bukan salah Kakak…. Ah, dan juga, Ibu sudah benar-benar merestuiku menempuh kuliah di jurusan teater dan drama, Kak. Meski, aku kira, siapa pun, bahkan aku sendiri, punya kekhawatiran tentang masa depan. Namun, yang jelas, percayalah, Kak. Percayalah.
Ya. Aku percaya.
Adikmu melihat jam, dan bertanya tentang anakmu—
Satya sudah tidur setelah Kakak bacakan buku Pangeran Cilik.
Ah, buku itu, ya…. Buku yang juga sering Kakak bacakan ketika aku tak bisa tidur.
Bukankah kau pernah mengadaptasinya menjadi sebuah pertunjukan?
Ya. Bahkan, sampai dimuat beberapa koran dan jurnal seni.
Ah, andaikan bisa, aku ingin sekali menontonnya langsung.
Bukankah aku sudah mengirimkan video pertunjukannya ke surel, Kakak?
Ya, aku sudah menontonnya. Namun aku kira menonton langsung di dalam gedung jelas mempunyai kekuatan yang berbeda.
Adikmu pun mengangguk, tampak antusias mendengar pendapatmu tentang pertunjukan-pertunjukan dan capaian yang telah diraihnya—
Dan di pertunjukan itu, jujur, aku memang kagum padamu, Dik. Kau menulis naskah adaptasi dan juga menjadi aktor di dalamnya….
Seekor rubah yang malang, sahutnya pelan.
Ia mengambil gelas dan menyeruputnya; dan kau pun juga demikian. Dan kalian pun bebarengan meletakkan gelas kopi itu. Di luar, hujan sudah mulai reda, dan terdengar beberapa kendaraan melintas.
Aku kira, bukan hanya rubah itu saja yang mendapati nasib malang, tapi juga Pangeran Cilik—dan juga mawar merah yang kesepian. Dan aku kira, hidup memang berkisar antara “Tak Sepadan” dan “Derai-Derai Cemara”.
Adikmu tersenyum mendapati ucapan barusan.
Aku sedang menulis naskah baru; dan seperti yang Kakak lihat, aku sudah menyelesaikannya. Judulnya, “Hantu, Kabut, dan yang Melekat pada Kata Jauh”. Apa Kakak mau membacanya?
Kau hendak menolak, tapi adikmu lekas saja menyahut! Ia lekas saja mengeluarkan kata-kata saktinya; mengatakan bahwa kau adalah lulusan jurusan sastra dari kampus ternama dan lulusan pertama di angkatan serta mendapatkan nilai yang mendekati sempurna. Maka, seperti sebelum-sebelumnya, kau pun mengiyakannya. Adikmu pun bangkit dari duduknya, dan mengambilkan naskah yang ada di meja; dan menyerahkannya kepadamu.
Ini, Kak, ucapnya riang. Hanya satu babak. Jadi, kukira, bisa sekali duduk habis.
Kau pun menerimanya, dan mulai membaca. Adikmu tersenyum, dan kembali ke meja kerja: merapikan apa-apa yang mesti dirapikan. Ia juga mengembalikan buku-buku yang berserakan ke masing-masing rak yang sebagian besar dipenuhi buku sastra, seni, dan filsafat itu. Adikmu mendekati jendela, dan membukanya; dan mengambil rokok filter di dekat sana, dan menyalakannya.
Aku kira kau sudah berhenti, ucapmu ketika mendapatinya menyalakan rokok—
Hanya ketika sebuah naskah selesai, sahutnya. Semacam apresiasi.
Kau kembali membaca, dan adikmu menghabiskan rokoknya sambil melihat luar: melihat kota sehabis diguyur hujan. Asap rokok adikmu terbawa keluar, dibawa angin dan menghilang. Sebatang rokok habis, dan adikmu menyalakan satu lagi….
Apakah kau pernah mencintai seorang penyair? tanyamu.
Adikmu menengok, dan mendapati wajahmu yang baginya tampak karib tapi juga begitu asing. Dengan sedikit kikuk, adikmu pun mengiyakan.
Aku kira naskahmu memang naskah yang menarik, ucapmu sambil meletakkan naskah drama itu. Semacam perpaduan dari berbagai pengalaman dan buku rujukan, bukan?
Dan adikmu tersenyum—
Namun, aku kira, naskahmu belumlah selesai.
Adikmu mematikan rokoknya, menutup jendela, dan duduk kembali di hadapanmu. Kopi, yang mencoba betah di dalam gelas itu, kembali diteguk: dan pengertian habis segera mengisi gelas kaca itu. Dan selepas semacam senyum, adikmu pun berucap, bahwa naskah itu memang belum genap rampung.
Ada 1 babak lagi, ucapnya. Namun, aku kesulitan untuk merampungkannya. Aku sudah membuat sketsa, tapi tak pernah bisa kuselesaikan bagian keduanya.
Jika kau menjadi tokoh perempuan di dalam naskahmu, ucapmu lirih, apakah kau akan menjadi hantu?
Seorang penyair tak ubahnya lembut kabut, ucap adikmu sambil mengutip dialog pada naskah drama yang ditulisnya itu, dan hanya hantu yang bisa memiliki kabut, hanya hantu yang bisa memeluk dan mencium kabut…. Dan aku akan menjadi hantu—
Namun, kau harus ingat, kabut bisa sirna, dan hantu senantiasa dikutuk tinggal-menetap di masa lalu. Hantu, kau tahu, tak dizinkan memiliki masa depan.
Adikmu terdiam mendapati ucapanmu yang demikian, dan tampak di wajahnya bahwa ia memang mesti menambahkan satu babak lagi sebagai penyelesaian—meski seperti naskah-naskah yang pernah dituliskannya, ia tak genap memberi akhir yang tertutup dan jelas-lugas! Kau melihat jam dan mendapati bahwa kau mesti istirahat dan memejam.
Kakak sudah mau tidur?
Ya, balasmu pelan. Aku harap kau juga lekas tidur. Bukankah sudah sering Kakak bilang, kesehatan itu juga penting. Bukankah tanpa badan yang sehat, karakter tak bisa meresap pada tubuh aktor?
Adikmu tersenyum, dan mengiyakan; dan berkata:
O, iya, Kak, sahutnya lekas-lekas, Kakak kembali ke ibukota masih bulan depan, kan?
Iya. Masih menunggu kepulangan Mas Sakti dari luar negeri. Kenapa memang?
Adikmu berkata bahwa ia hendak menyelesaikannya segera, agar bisa langsung kau baca. Kau pun tersenyum dan mengiyakan; dan ketika hendak merapikan gelas, adikmu langsung berkata bahwa dia yang akan membersihkannya. Kau pun berjalan keluar, dan ketika hendak sampai pintu, adikmu memanggil—dan kau menoleh. Ia berkata:
Jika boleh jujur, aku ingin sekali menjadi hantu. Namun cara menjadi hantu yang bisa memeluk kabut hanya bisa dengan satu cara, hanya bisa dengan bertemu maut. Dan aku kira, seorang ibu lebih ingin bisa memeluk anak gadisnya dibanding memeluk hantu, ya, kan?
Kau tersenyum, mengiyakan, dan lanjut berjalan kembali ke kamar. Di dalam kamar, kau dapati anakmu terlelap. Kau mengecupnya hangat, lantas berbaring di sampingnya. Kau memeluknya: takut bila ia mesti menjadi hantu atau kabut, atau Pangeran Cilik, atau rubah atau sebuah mawar…. Kau ingin anakmu menjadi seorang yang bisa bahagia:
Tuhan, apa manusia bisa bahagia?
(2020—2023)
*) Image by istockphoto.com