Sinar mentari menembus sela-sela dedaunan, lenguhan sapi sahut-menyahut di bawah rindangnya pepohonan. Untuk menikmati suasana yang berbeda dengan keseharian di kota besar, saya rela untuk bangun pagi dan bergegas meninggalkan penginapan tempat saya beristirahat selama liburan di kawasan Malioboro, Yogyakarta. Saya menuju Pasar Hewan Ambarketawang di Jalan Pasar Hewan, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, pada Kamis (11/7/2019).
Perjalanan ini saya mulai sekitar pukul 06.00 WIB, dengan menaiki Trans Jogja dan membayar tiket Rp. 3.500,-, turun di halte Park and Ride Gamping. Penjelajahan saya lanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer, meskipun jaraknya tidak terlalu dekat tetapi tidak menyurutkan saya untuk berjalan kaki. Hamparan hijaunya pesawahan menjadi pemandangan sepanjang tepian jalan yang menyegarkan pandangan mata, ditambah hangatnya matahari pagi yang membangkitkan semangat.
Hiruk-pikuk sudah terasa di pintu masuk pasar, truk dan mobil bak terbuka terparkir untuk menurunkan hewan ternak yang sudah dibeli maupun akan dijual. Di pasar yang hanya buka pada hari pahing (salah satu hari pasaran dalam kalender Jawa), saya serasa memasuki peternakan sapi. Sepanjang saya berjalan-jalan di pasar ini, ratusan sapi berjejer diikatkan di los-los pasar mulai dari pedet (anak sapi) sampai sapi dewasa yang siap diperdagangkan.
Ya, hampir 90 persen para pedang menjual hewan ternak sapi dari berbagai jenis seperti limosin, simmental, peranakan ongole (PO), dan lain-lain. Sementara sisanya domba dan kambing yang berbeda los dengan sapi. Hewan-hewan ini biasanya dibeli untuk diternakan maupun dipotong.
Para pedagang dan pembeli di pasar yang memiliki waktu buka pagi sampai waktu makan siang ini didominasi laki-laki. Sistem transaksi jual beli di pasar ini unik, pembeli melihat-lihat hewan ternak, pedagang menawarkan harga hewan yang dijual, selanjutnya pembeli biasanya mengecek kondisi hewan yang dirasa cocok untuk dibeli, kemudian melakukan penawaran. Jika telah ada kesepakatan harga, maka terjadi transaksi jual beli, didahului dengan cara unik, yaitu bersalaman sebagai tanda setuju dan dilanjutkan dengan pembayaran secara tunai, meskipun nilai transaksinya mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah.
Selain sebagai salah satu pusat perdagangan hewan secara tradisional di Kabupaten Sleman, tempat ini pun dilengkapi dengan pusat kesehatan hewan (Puskeswan), untuk memeriksa kondisi kesehatan hewan yang diperjualbelikan di pasar ini, maupun hewan yang diternakkan di sekitar Kecamatan Gamping.
Tak hanya hewan ternak yang dijual di sini, di pasar ini pun kita bisa membeli peralatan pertanian seperti cangkul, sabit, sampai caping (penutup kepala berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu). Di samping itu ada pula pedagang makanan dan minuman untuk kebutuhan pedagang dan pembeli.
Jadah Tempe Penghilang Lapar
Puas berjalan-jalan di pasar hewan, penjelajahan saya lanjutkan menuju Pasar Gamping yang berjarak sekitar 5 kilometer, tepatnya di Jalan Wates. Dari perempatan Jalan Pasar Hewan, saya menaiki bus Jogja-Wates dengan membayar ongkos Rp. 2.000.-. Turun tepat di depan pasar yang menjual beragam kebutuhan pokok masyarakat mulai dari pakaian, beras, daging, ikan, telur, peralatan rumah tangga, sayur-mayur, buah-buahan, sampai dengan kuliner tradisional khas Kabupaten Sleman maupun Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tujuan saya memasuki pasar ini tentunya untuk mencari salah satu kuliner khas dari Kabupaten Sleman yaitu jadah tempe. Meskipun mulanya kuliner ini berasal dari kawasan lereng Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, tetapi sekarang telah menyebar ke pasar-pasar tradisional yang ada di Kabupaten Sleman termasuk Pasar Gamping.
Jadah tempe ini perpaduan antara jadah dan tempe. Jadah (sebutan uli dalam bahasa Jawa) terbuat dari beras ketan yang dimasak bersama santan, parutan kelapa muda, dan garam lalu dikukus. Kemudian ditumbuk sampai halus dan dibentuk persegi kecil. Sementara tempe dimasak dengan cara dibacem, yaitu tempe yang direbus air kelapa, daun salam, lengkuas, air asam Jawa, gula merah, dan garam. Ditambah dengan ketumbar, bawang merah, dan bawang putih yang dihaluskan. Setelah semua bumbunya meresap dan matang, tempe kemudian ditiriskan dan digoreng.
Perut saya yang sedari pagi belum diisi, meronta-ronta untuk segera menikmati kuliner yang satu ini. Namun, untuk menikmatinya kita harus mengikuti kebiasaan yang dilakukan masyarakat setempat, yaitu jadah yang berwarna putih tidak boleh dipisahkan dengan tempe bacem berwarna cokelat. Keduanya ditumpuk lalu dimasukkan ke dalam mulut dan digigit. Satu kali gigitan membuat saya langsung ketagihan untuk terus mencicipinya, rasa jadah yang gurih berasal dari santan dan parutan kelapa menyatu dengan rasa manis dari tempe bacem.
Memakan jadah tempe tidak hanya memberikan sensasi rasa yang menggoda selera, tetapi juga mengenyangkan. Di pasar ini jadah tempe dijual per bungkus, berisi lima pasang, harga yang ditawarkan sangat terjangkau, cukup membayar Rp. 5.000,- kita sudah bisa menikmati jadah tempe.
Tak sampai tengah hari, saya sudah banyak mendapatkan pengalaman piknik yang menyenangkan di dua pasar tradisional di Kabupaten Sleman ini. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memang selalu menyimpan kearifan lokal yang berbeda untuk terus dijelajahi. (*)