Tipologi Kopi

Aku datang ke sini  ingin menenangkan kata
jauh dari malam yang gaduh. Sebuah gitar
dan kesedihan menjelma muara senyap
dalam diriku. Langit menekur ke arah dada

kota yang terluka juga semakin lusuh. Luka
sedalam nyanyian orang-orang putus asa itu.
Secangkir apa pun yang kupesan kali ini
hanya mengingat lagi keluh kepada waktu.

Di hadapan selembar kosong layar komputer
bayang-bayang bergerak. Kata jadi amat sulit
menerjemah relung langit dan kebosanan.
Gambar pada dinding kayu tak satu pun berhasil

menyelamatkan aku bersendiri. Langit tajam
kepadaku. Sunyi tercipta saat lirik lagu terhenti.
Aku dan kota terduduk menunggu saat tepat
melarikan diri dari elegi.

Serpihmimpi, 2019.

*

Rumah

Seluruh gemuruh kepalaku mendadak hilang
ketika sebuah pintu lebar terbuka, terbayang
langkah-langkah kecil dari kaki mungil diriku.

Aku menginginkan tanggal yang berjatuhan
mendaur ulang tubuhku, atau setidaknya
kupeluk masa itu, sampai siap aku berpeluh.

Pada mata Ibu air mata yang menggelincir
semacam waktu, yang tak pernah berhasil
kuterjemahkan, sekuat apa cinta dan rindu.

Linang pada matanya begitu tenang ke arahku
derit jam merekatkan seutuh beban dan sepi
pada selapang dadanya yang berdegup tunggu.

Malam yang tak lagi masam, ingin kuperpanjang
di langit-langit menggema bayang kecil diriku
dan Ibu mendongeng tentang jarak dan waktu.

Serpihmimpi, 2019.

*

Pada Cermin di Sebuah Kafe

Malam ini kita tak merasa kesedihan itu lagi
dari luar cafe aku perhatikan engkau sibuk
mencari halaman terakhir sebuah puisi
mungkin sedang mengingat aku.

Matamu bulan yang sedang bulat-bulatnya
menautkan makna demi makna. Aku yakin
kau tak sadar kalau senyummu telah kucuri
lewat pantul kaca. Tak bisa ditakar manisnya.

Hingga pada halaman tertentu kau tertegun
memejam sebentar. Barangkali bayanganku
menjadi lengkap atau waktu membawamu
berputar arah. Ya, kau sedang membacaku.

Ingatanmu menggembung dan pipi apelmu
merah. Sedang dadaku berdenyar seolah
kita sedang menukar tatap. Seperti pertama
cinta mengajak kita menyusun luka cerita.

Serpihmimpi, 2019.

*

Kabut Pagi Hari di Jendela

Ia belum juga mengendap ketika pukul pagi
hampir tiba. Tubuhnya setebal mantel
yang menjagamu dari dingin, masih
menangkup rahasia-rahasia yang kau ingin.

Di pelataran yang kaurawat, ia luruh
menjelma sebutir air, menuruni pucuk
rumput yang basahnya kau jadikan tanda
di pipimu, tanah lembap seperti dadamu.

Ia mungkin sedang menunggumu berjalan
dalam tubuhnya, sebelum kenyataan muncul
dan kau percaya cinta tak pernah ada.

Atau kemungkinan besar, ia menatapmu
mengurai kesedihan, mencipta percik cahaya
ketika kau mengurung kakimu ke ujung jalan itu
yang penuh embun, yang akan melekatkan tapakmu.

Serpihmimpi, 2019.