Bayang-bayang lelaki itu merayap di dinding ketika lampu minyak menyala. Pondok kayu itu terlihat lebih sempit saat diselimuti keremangan. Tumpukan kitab kuning tampak kian meninggi, bagaikan kesombongan menara Babel sebelum runtuh dikutuk Allah.

Syekh Raba masygul menatap kitab-kitab kuning milik orang-orang yang kini bermukim di sekitar kediamannya. Abdullah, keponakannya, bisa melihat kegundahan berpilin di matanya.

“Paman, setiap hari, orang-orang itu kian bertambah saja.” Abdullah tahu, kata-katanya akan semakin membuat Syekh Raba kalut, tetapi ia tak ingin menutup-nutupi kenyataan yang terjadi.

Di muka jendela, Syekh Raba menyaksikan lampu-lampu berpendar di tenda-tenda orang-orang itu. Nyalanya terpantul di permukaan rawa-rawa. Malam membuatnya tampak seperti kawanan kunang-kunang. Tak ada angin yang menggoyahkan titik-titik cahaya itu.

Syekh Raba sadar, sedari awal mestinya ia jujur kepada orang-orang itu bahwa dirinya tak mahir membaca kitab kuning dan tak pandai menjelaskan ilmu. Hanya saja ia sulit menolak ketika orang-orang memelas, “Ajarilah kami jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.” Ia hanya bisa menundanya dengan berkata, “Bawalah kitab kuning biar kupelajari terlebih dahulu.”

Saat itu Syekh Raba merasa dikepung utang. Orang-orang siap menagihnya.
Ia bertanya-tanya, takdir apakah yang kini tengah diembannya. Kalau saja gurunya, Raden Aji Gunung, tidak mengutusnya bertapa di sini, barangkali kesulitan itu takkan pernah melilitnya. Andai kemarau selama tiga tahun itu tak pernah terjadi….

Sayangnya, waktu tak bisa berjalan mundur dan ia tak mampu mengubah nasib. Kemarau panjang tetap singgah di Kerajaan Pamellingan yang kian menderita, berdiri di ambang maut.

Kemarau itu telah meretakkan tanah, mengeringkan sumber-sumber air, membunuh hewan-hewan ternak. Tak ada rumput dan pakan. Sawah dan ladang kerontang. Pohon-pohon sekarat. Selama dua tahun terakhir, bahan pangan didatangkan dari kerajaan tetangga. Langit Pamellingan panas terik seperti disinari sembilan matahari.

Panembahan Ranggasukawati, sang raja, telah melakukan berbagai upaya untuk mengakhiri kemarau. Ia sudah bermunajat dan bertirakat atas petujuk orang-orang bijak dan ahli nujum, tetapi ikhtiarnya tidak berbuah. Tak setetes pun air jatuh dari lubuk angkasa.

Ketika nyaris putus asa, malam itu raja kedatangan suara dari alam mimpi.
Di sebuah hutan di dekat makam Empu Kelleng, dua waliullah tengah bertapa.
Itu saja. Benar-benar mimpi yang abstrak. Ranggasukawati menangkap pesan mimpi itu sebagai petunjuk, solusi atas persoalan kemarau panjang yang sedang melanda. Dengan naluri kepemimpinannya, ia segera meminta Mahapatih menyiapkan segala keperluan untuk bertandang ke hutan itu.

“Aku didatangi suara gaib,” jawabnya, saat Mahapatih bertanya, apa tujuan sang raja hendak ke sana. Mahapatih tak bertanya lagi. Ia cukup puas melihat wajah junjungannya berbinar seperti seseorang yang baru bangkit dari mati suri.

Berangkatlah rombongan kerajaan ke selatan pada pagi yang baru mekar. Saat matahari memanjat sepenggalah, mereka telah sampai di mulut hutan. Alas itu tampak megah dalam keangkerannya. Cabang-cabang pohon yang meranggas terlihat seperti cakar-cakar makhluk menyeramkan yang menggapai-gapai langit. Para prajurit bergidik, tetapi tak berani menampakkan ketakutannya. Mereka berjalan dengan kaki gemetaran.

Baru beberapa langkah memasuki hutan, tiba-tiba sebatang pokok tumbang. Berdebam. Debu mengepul. Namun, rupanya itu bukan pohon. Mata mereka seolah dikelabui. Begitu rebah, benda panjang itu segera bangkit, meliuk-liuk. Ujungnya adalah kepala yang tegak. Di ubun-ubunnya bertengger mahkota berkilauan. Matanya berwarna saga. Lidahnya menjulur-julur dan mendesis. Liurnya menetes-netes. Sisik di sekujur tubuhnya berkilat-kilat. Benar kata orang, alas itu dijaga seekor ular raksasa. Naga Taksaka, monster Lewiatan.

Para prajurit panik. Mahapatih bergegas mengambil Jaka Piturun, keris sakti nan masyhur, dari kotak yang diletakkan di kereta kuda, lalu menyerahkan kepada empunya. Ranggasukawati menolak. Ia meminta rombongan tetap di tempat.
Dengan sikap tenang dan waspada, Ranggasukawati mengucapkan Salam Nabi Nuh. Ular itu berhenti berdesis. Tatapan matanya menjadi lebih lembut. Lalu menjatuhkan kepalanya yang tegak, merasuk ke relung hutan.

Keadaan kembali normal. Sebelum melangkah lagi, Raja beruluk salam tujuh kali. Sebuah suara menyahut dari tujuh arah mata angin. Ranggasukawati menganggap sahutan itu sebagai sasmita yang mengizinkannya menjejaki alas lebih dalam lagi.

Tepat di jantung hutan, Ranggasukawati merasakan perubahan aura di sekitarnya. Kekudusan meremangkan bulu kuduknya. Ia melihat dua lelaki bertapa di bawah ringin. Pohon itu menaungi dua lelaki berwajah teduh dengan cabang-cabang dan dedaunan yang sudah cokelat tua.

“Apa yang membuat Paduka datang kemari?” tanya Abdurrahman, salah seorang petapa.

Ranggasukawati menceritakan apa yang terjadi.
“Rupanya Gusti Pengiran tidak menurunkan hujan lantaran dua wali-Nya tengah bertapa di hutan ini,” tukasnya. “Dengan segala hormat, saya memohon kepada Anda berdua untuk meminta kepada Yang Mahakuasa agar menghujankan bumi Pamellingan yang telah lama nestapa.”

Abdurrahman tak segera menanggapi. Lalu berkata, “Paduka hanya perlu membangunkan kami sebuah pondok sederhana sebagai tempat berteduh.”

Permohonan Abdurrahman segera dilaksanakan. Ketika hari hampir senja, sebuah pondok kayu telah berdiri di sana. Pada saat itu jugalah tiba-tiba langit dinaungi mendung tebal. Hawa berubah dingin. Angin sejuk berembus di hutan. Guntur menggelegar. Setelah itu, hujan deras jatuh ke bumi. Mereka bersyukur, berterima kasih kepada dua petapa, dan pamit untuk kembali ke keraton.

Orang-orang akan segera menanam untuk mengakhiri kelaparan. Namun, hujan lebat tidak berhenti hingga tujuh hari. Rahmat Allah menjadi bencana. Kerajaan Pamellingan dilanda banjir. Keraton Mandi Laras menjelma balai kambang. Rumah-rumah digenangi air.

Dengan perahu, Ranggasukawati beserta rombongannya sowan kembali ke kedua petapa. Ia tak tahu, apakah ada yang salah dengan permintaannya. Sesampainya di sana, ia menceritakan hujan yang tak kunjung usai. Hujan itu menyebabkan Pamellingan disapu banjir bandang.

“Paduka, hamba malu kepada Gusti Pengiran. Ketika tidak hujan, hamba meminta hujan, tetapi begitu hujan turun, hamba meminta agar tidak hujan.”

“Kalau begitu,” tanggap Raja, “mohonkan agar hujan turun sedang-sedang saja.”

Abdurrahman memenuhi permintaan Raja, dan Allah segera mengabulkan doanya. Hujan lebat menjadi rintik-rintik. Perlahan-lahan air surut. Kehidupan Pamellingan kembali normal.

Sejak kejadian itu, tak ada yang meragukan karamah Abdurrahman. Tak ada yang tahu bahwa sejak kecil ia memang dianggap memiliki kewaskitaan. Kini ia telah menjadi buah bibir warga Pamellingan. Orang-orang menjulukinya Syekh Raba, sebab tempat pertapaannya digenangi air dan menjadi hutan rawa-rawa.

Langkanya jumlah guru spiritual di Pamellingan membuat orang-orang berbondong-bondong mendatangi hutan itu untuk berguru kepada Syekh Raba. Di kerajaan itu hanya ada Kiai Zubair, guru spiritual raja, yang tinggal di keraton Mandi Laras dan Kiai Moko yang bermukim di selatan wilayah kerajaan.

Syekh Raba telah menjinakkan kewingitan alas rawa agar tak ada yang celaka. Karena itu, semakin hari semakin banyak orang yang berdatangan ke tempat itu, mengharap ilmu darinya. Namun, ia merasa tak punya kemampuan mendidik orang-orang.

Malam semakin larut. Setelah memandang begitu lama ke arah luar jendela, sekali lagi ia memalingkan pandangan ke tumpukan kitab kuning. Seekor ngengat melayang-layang di atas nyala api, sebentar kemudian limbung. Kedua sayapnya terbakar. Syekh Raba ingin segera mengambil keputusan sebelum kitab-kitab itu habis dikikir gigi rayap.
Ia membaringkan badan di sisi Abdullah. Kelopak matanya terasa berat. Pikirannya masih berputar-putar. Lalu terlelap. Malam meredup. Ia bermpimpi:

Siang hari, saat mengaso di beranda pondok, lamat-lamat Syekh Raba mendengar percakapan manusia dalam bahasa yang tidak dipahaminya. Ia mencari-cari dari mana suara itu berasal. Saat pandangannya tertambat pada satu titik, tampaklah sosok Nabi berdiri bersama keempat sahabatnya di bawah pohon bidara. Kelima sosok itu berjubah putih dan bercahaya hijau lembut. Tiba-tiba suasana dilingkupi aura mistis.
Syekh Raba bergegas menyongsong mereka dan bersujud di bawah kaki Nabi. Wangi kesturi meruap dari alas terompahnya; membuat kesadaran lelaki itu nyaris melayang-layang ke lapisan spiritual yang lebih dalam, tetapi suara Nabi mengembalikan kesadarannya.

“Berdirilah,” sabda Nabi dengan suara lembut. Syekh Raba seakan-akan mendengar sapaan penjelmaan yang berasal dari dunia malakut. “Aku ingin memberimu ilmu.”

Syekh Raba bangkit. Nabi menyentuh dagunya, “Bukalah mulutmu.”

Ketika ia membuka mulut, Nabi meludah di atas lisannya, diikuti oleh keempat sahabat. Di lidah Syekh Raba, ludah kelima sosok itu terasa legit dan harum. Ia merasakan secawan tirta amarta yang mengalir dari Telaga Kausar merasuk ke dalam raga dan sukmanya.

Tiba-tiba ia melihat angkasa menyibakkan tabir. Penglihatannya terbuka. Misteri-misteri tersingkap. Kaki langit melenyapkan batas. Dari pucuk ubun-ubunnya bergema sebuah suara, “Bacalah….”

Syekh Raba tercekik. Ia menjawabnya dengan terbata-bata, “Aku bukan penyair….”

Kecupan Nabi menenangkannya kembali. Kecupan itu meninggalkan kelembapan yang wangi di keningnya. Sementara itu, di kening sang junjungan, ia melihat rajah kenabian bersinar seperti warna halo yang memancar di ubun-ubun malaikat.

“Sekarang kau bisa mengajari orang-orang,” sabda Nabi, “sebab kau telah mewarisi pengetahuan Khidir dan lidah Harun.”

Seekor kucing hutan menjerit dan membangunkan Syekh Raba. Tubuhnya dipenuhi keringat dingin. Raut wajahnya terasa berat bak seorang pandita yang baru saja dijatuhi nubuat langit.

Ia menyebut nama Allah dalam hitungan ganjil. Sempat tebersit keraguan di benaknya akan kebenaran mimpi itu hingga ia teringat bahwa roh jahat apa pun tak bisa maujud dalam rupa Nabi.

Ia bangkit dari pembaringan dan memeriksa ke luar jendela. Lampu-lampu tenda padam. Bulan mengambang dalam cahaya kebiruan. Syekh Raba tak kuasa menahan tangis. Air matanya berderai. Ia merasa tak pantas disambangi Nabi dalam mimpi.

Gusti, takdir apakah yang hendak Kaupikulkan kepadaku?
Ia tak pernah bercita-cita menjadi sang pencerah. Saat masih kecil, ia memang kerap digadang-gadang bakal menjadi seorang ulama besar, tetapi kemampuannya menaksir masa depan dan apa yang bakal terjadi tidak lantas membuatnya yakin bahwa dirinya kelak menjadi pemimpin spiritual. Paling jauh, ia hanya membayangkan dirinya menjadi seorang kiai-dukun yang dimintai pertolongan atas kehilangan ternak, mengusir jin dari tubuh yang malang, atau memberi aji pekasih kepada para pemuda yang sedang keranjingan perempuan.

Ketika telah akil balig, di sebuah padepokan Guru Imam di Sumenep, ia ingin melenyapkan tanda-tanda itu dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang bercanggah dengan ajaran agama. Bersama teman-temannya ia gemar mengadu anjing. Kebiasaan buruk itu segera dicegah Guru Imam yang telah berkonsultasi dengan kedua orang tuanya untuk mengirimnya ke Padepokan Raden Aji Gunung di Sampang.

Abdurrahman melepaskan anjing-anjing aduannya ke wilayah Saronggi. Kawanan binatang itu menyebar dan membentuk peta putaran imajinatif. Ranah itu menjadi tabu. Di tempat itu tak ada orang yang berani mendirikan bangunan. Mereka percaya, segala yang dicampakkan orang suci atau calon wali tidak mendatangkan berkah. Tanah lingkar anjing menjadi wingit dan tak berpenghuni.

Namun, seberapa besar pun usahanya menyangkal karisma yang telah dititipkan hidup, Abdurrahman tak bisa mengelak. Lingkungannya menyediakan jalan mudah kepadanya. Tak ada rintangan apa pun. Lalu waktu terus membawanya pada nasibnya yang asali.

Suatu kali, Raden Aji Gunung meminta Abdurrahman menguras jamban untuk mencari cincin istrinya yang jatuh di tempat itu. Tanpa merasa keberatan sekecil zarah pun, Abdurrahman mengurasnya hingga liang jamban kosong. Cincin itu ditemukan.

Baru kali itu Raden Aji mendapati seorang murid yang begitu taat kepadanya. Ia kian yakin bahwa muridnya itu memang akan menjadi figur agung. Ia tak ingin menahan anak itu lama-lama di padepokannya. Ia merasa perlu memberi jalan yang akan semakin mendekatkannya kepada takdirnya yang sejati.

Lalu Raden Aji memungut sebatang lidi dan berkata, “Rahman, aku akan melemparkan lidi ini dan carilah. Di mana pun lidi ini ditemukan, di situlah kau akan bertapa untuk menuntaskan ilmu. Kau boleh mengajak seorang sanak kerabatmu turut bersemedi bersamamu.”

Begitulah lidi itu membawa Abdurrahman ke hutan pertapaan di dekat makam Empu Kelleng di Pamellingan. Kini, ia tak ingin menyangkal lagi. Orang tua dan guru-gurunya mungkin memang benar. Apalagi baru saja Nabi telah datang ke dalam mimpinya; menitahkannya mendidik orang-orang Pamellingan berdasarkan risalahnya.

Suhu udara kian turun. Abdullah menggigil. Angin dan hawa dini hari menggigiti sekujur tubuhnya. Syekh Raba menutup jendela. Ia mengambil lampu minyak dan meletakkannya di lantai. Ia meraih salah satu kitab kuning dari tumpukannya.
Setelah berwudu, dengan bantuan cahaya lampu, ia membuka kitab itu. Tiba-tiba huruf-huruf yang tertera terlepas dari kertasnya dan melayang-layang di depan mata Syekh Raba. Huruf-huruf itu berpiuh, lalu secepat kilat masuk berjejalan ke dalam mulutnya yang terbuka.

Penglihatannya menjadi jernih. Ketika memalingkan pandangan ke kitab itu lagi, ia terkejut. Huruf-huruf itu masih tertera di tempat semula. Tak berkurang sebiji pun.

Dari arah kegelapan, lamat-lamat terdengar suara, bagaikan datang dari benak Syekh Raba sendiri.
Bacalah….

Ia membaca isi kitab itu dengan lancar dan memahami maknanya. Ia terperangah oleh kemampuannya sendiri. Belum percaya, ia meraih kitab kedua, ketiga, dan seterusnya. Ia tak sedang bermimpi. Ia memang benar-benar telah memiliki kemampuan itu. Perlahan-lahan ia sadar, Nabi beserta keempat sahabatnya telah menjazaknya dengan ilmu laduni. Kemudian ia bersujud dan sesenggukan. Tak henti-henti mengucapkan syukur kepada Allah.

“Paman baik-baik saja?” Isakan Syekh Raba membangunkan Abdullah. Ia heran melihat apa yang dilakukan pamannya.
Syekh Raba bangkit. Ia menghapus sisa-sisa rasa haru yang membasahi pipinya. Kedua matanya masih berkaca-kaca.

“Paman baik-baik saja?” Abdullah bertanya lagi. Ia menduga, pamannya tengah bermunajat dan mengadukan segala beban hidupnya dalam tahajud.

“Nak, mulai besok kita akan sibuk,” Syekh Raba memberi jeda. Ia menata kata-kata yang akan diucapkannya. “Kita telah dipilih Gusti Pengiran untuk membantu orang-orang itu menemukan jalan pencerahan.”

Pamekasan, 6 Maret 2018