Judul : Like Water for Chocolate
Penulis : Laura Esquivel
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan : Pertama, Agustus 2018
Tebal : 256 hal
ISBN : 9786022914969

Romo Mangun pernah menyampaikan bahwa sastra dari Amerika Latin sebagai sesuatu kawasan yang asing dan tak banyak diketahui, terra incognita. Bila dibandingkan dengan sastra dari Amerika dan daratan Eropa, pembaca Indonesia masih berjarak dengan sastrawan asal Amerika Latin. Meski karya-karya dari nama besar seperti Gabriel García Márquez, Isabel Allende, Mario Vargas Llosa mulai banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Like Water for Chocolate terbit dan meledak di Meksiko 1989, telah pula diadaptasi ke dalam layar lebar pada tahun 1992. Baru di 2018, pembaca Indonesia disuguhi bacaan manis sekaligus tragis ini.

Bagi kebanyakan orang Meksiko, termasuk Tita tokoh utama novel ini, cokelat panas lebih menentramkan daripada kopi atau teh. Cokelat panas memiliki tempat dalam hati orang Meksiko. Bahkan mereka memiliki cara khusus dalam memasak cokelat panas. Orang Meksiko tidak mencampur cokelat dengan susu atau butter, melainkan dengan air. Dan mereka mendidihkan air sebanyak tiga kali.

Ada cara yang sangat sederhana untuk menghindari masalah-masalah: panaskan sekotak cokelat di air. Ketika air mendidih untuk kali pertama, angkat dari kompor, dan larutkan cokelat hingga sempurna. Kocok hingga cokelat tercampur lembut dalam air. Kembalikan panci ke kompor. Ketika campuran kembali mendidih dan mulai meluap, angkat dari kompor. Kembalikan panci ke kompor dan biarkan mendidih untuk kali ketiga. (hal.184)

Dalam pembuatan cokelat panas, orang Meksiko mendidihkan air sebanyak tiga kali. Hingga muncul istilah like water for cokelat atau dalam bahasa Spanyol ‘como agua para chocolate’, yang berarti seseorang yang sedang marah luar biasa. Dalam novel ini, Tita sedang marah besar; mengutuk tradisi, mengutuk nasib, dan kisah asmaranya yang pahit.

Tita anak bungsu dari keluarga De La Garza. Dua saudara perempuannya, Rosaura dan Gertrudis, memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Bahkan cenderung saling berkebalikan. Rosa adalah tipe anak perempuan dimanjakan dan tak ingin tangannya kotor oleh pekerjaan rumah tangga. Sedangkan Gertrudis adalah tipe perempuan dengan pemikiran bebas, meski melawan batasan orangtua dan budaya. Sedangkan Tita, bungsu yang dibesarkan oleh Nacha, pembantu rumah tangga, sehingga Tita lebih mafhum urusan dapur.

Ketenangan keluarga De La Garza di tanah pertanian, yang kini dimiliki oleh Mama Elena, mendadak terguncang ketika Pedro, seorang pemuda jatuh hati pada Tita dan hendak meminangnya sebagai istri. Tak ada yang salah dengan cinta, yang salah adalah tradisi mereka.

Mama Elena menolak lamaran Pedro. Dan justru menawarkan Rosaura sebagai calon Pedro. Karena tradisi, perempuan bungsu tidak boleh pergi dari rumah. Tita tidak boleh menikah dan memiliki tanggung jawab untuk mengurus ibunya, Mama Elena sampai wafat.

Dari generasi ke generasi, tidak seorang pun dalam keluargaku pernah mempertanyakan tradisi ini, dan tidak ada putriku yang memulainya.” (hal.9) Mama Elena menolak tegas. Dan membuat Tita merasakan bahwa takdir dirinya memukul dengan keras seiring air matanya jatuh ke meja.

Tidak terperi kesedihan Tita, karena Pedro benar-benar menikah dengan Rosaura. Dan semakin tak terperi, ketika Tita harus juga terlibat dalam mempersiapkan kudapan pesta pernikahan antara Pedro dan Rosaura. Membayangkan bagaimana Tita harus berjibaku di dapur demi pernikahan orang yang dicintai, tetapi bukan dengan dirinya, sudah cukup membuat pembaca geram. Belum lagi Tita harus menampilkan wajah sumringah, ketika urusan dapur selesai dan menyapa tamu pernikahan Rosaura dan Pedro.

Seperti penyair yang bermain dengan kata-kata, Tita mencurahkan kemampuannya pada bumbu-bumbu dan takarannya setiap saat dan di mana saja. (hal.71) Memasak adalah cara Tita menenangkan gemuruh amarah di dalam dadanya.

Pemberontakan yang dilakukan Tita, selalu terbentuk kepatutan seorang perempuan. Bahkan hubungan gelap antaranya dengan Pedro, masih malu-malu dengan mata Mama Elena yang tak bisa lepas dari keduanya.

Romansa penuh luka dengan 2 resep makanan dalam buku ini bekelindan membuat jaring kisah yang dibumbui realisme magis, genre yang khas dari kawasan Amerika Latin. Hal-hal magis yang muncul dalam buku ini misalnya. Puting Tita yang mendadak bisa mengeluarkan susu dan menggantikan peran ibu susu Rosaura, atau keberadaan Nacha yang kerap memberi bisikan kepada Tita ketika buntu. Meski nuansa magis yang dihadirkan lebih ke bagaimana dunia antara nyata-fantasi, luka-bahagia yang kerap melenakan manusia.

Menarik adalah mengamati cara Esquivel menjejer 12 resep makanan yang dibuatnya, termasuk kue pernikahan tradisional chabela. 12 resep rumahan khas Meksiko ini mewakili sisi keperempunan Tita, sekaligus protes yang kerap dilayangkan. Juga soal metafora korek api yang lembut namun menusuk ke ulu.

Setiap manusia lahir dengan sekotak korek api, bersama dengan siapa akan membuat korek api itu mati atau menyala. Bila Tita bersama orang terkasih, maka korek api akan terus menyala. Pun sebaliknya. Maka Rosaura meski bersama Pedro, tetap tak mampu menyalakan “korek api” dalam diri masing-masing. Tak ada cinta di antara keduanya.

Novel ini hadir setelah era boom, yakni era ketika sastra Amerika Latin mengalami peningkatan secara drastis baik penerjemahan yang dimulai semenjak 1960-an. Esquivel memang masih mempertahankan rasa khas sastra Amerika Latin. Tentu dengan bentuk yang jauh lebih sederhana bila dibandingkan judul kanon lain dari kawasan yang sama. Tersebab bentuk yang tak terlampau rumit inilah, novel ini menjadi begitu laris.

Novel laris ini telah diterjemahkan ke dalam 35 bahasa dan telah dibuat film pada tahun 1992. Esquivel yang juga seorang penulis skenario, memang tidak setenar penulis dari Amerika Latin lainnya, misalnya Gabriel García Márquez atau Isabel Allende. Namun, novel ini memperkenalkan bukan semata realisme magis khas Amerika Latini. Juga budaya dan tradisi Meksiko, makanan, tradisi patriarki, juga tradisi memasak cokelat.