“Nak, ayo bangun. Sarapan lalu mandi, kita sudah hampir telat menjemput Rina,” desak Ibu seraya merapikan tempat tidurku.
Minggu pagi dengan cuaca cerah membangkitkan semangatku untuk bersiap pergi ke Gereja. Bertemu teman-teman di sekolah Minggu, bercanda gurau adalah salah satu bentuk hiburan bagi anak-anak berusia sembilan sepertiku.
Kemeja putih, rok kotak-kotak, dan sepatu slip-on adalah setelan yang kukenakan di hari itu. Tak lupa ibu menambahi dasi kupu-kupu dan menata rambutku dengan gaya sederhana tapi rapi. Kami sekeluarga memasuki mobil untuk menjemput Rina, teman terdekatku selama setahun bersekolah Minggu.
Pertemanan kami dimulai dengan berbagi makanan. Sekolah Minggu di tempat kami selalu ditutup dengan makanan ringan usai beribadah. Pernah suatu waktu dulu aku kesiangan dan lupa membawa makanan, lalu Rinalah yang berinisiatif dan dengan ramahnya menawarkan beberapa bagian dari makanannya untukku. Meskipun sebenarnya aku tidak terlalu menyukai Rina dan makanan yang ditawarkannya, tetapi kondisi saat itu berhasil membuatku malu, sebab aku hanya dapat berdiam diri karena anak-anak lain tidak ada yang cukup murah hati untuk menawarkan makanan sebagaimana Rina lakukan.
Dahulu, saat baru-baru memasuki sekolah Minggu, kami tidak terlalu akrab. Rina menjadi anak yang selalu datang terlambat saat sekolah Minggu dimulai. Dengan penampilannya yang amburadul membuatku berpikir bahwa dia tidak terlalu berniat mengikuti sekolah Minggu. Namun, sejak kejadian berbagi makanan itu membawa kami pada banyak percakapan.
“Ibuku sedang sakit. Tidak bisa banyak bergerak, jadi aku sama kakaklah yang berbelanja, masak, dan membersihkan rumah,” terang Rina. Sejak saat itu kupahami bahwa Rina adalah anak dari orang tua tunggal dengan kondisi ibunya yang tengah sakit parah. Selain memakan waktu, dia juga kewalahan saat menunggu angkutan umum setiap hari Minggu untuk pergi ke gereja. Dari situ, Rina menerima tawaranku untuk pergi ke gereja bersama-sama.
Menjadi bagian dari anak-anak sekolah Minggu adalah salah satu anugerah yang patut kusyukuri. Walaupun agamaku diwariskan dan aku sendiri menyadari bahwa aku tidak terlalu religius dalam mengimani keajaiban Tuhan, tapi aku bahagia memiliki teman dan orang-orang terdekat yang tidak terlalu memaksakan untuk menyakini hal-hal di luar nalar seorang anak kecil.
Hari ini topik sekolah Minggu mengambil kisah lima roti dan dua ikan. Alkisah, Yesus pernah memberikan makanan kepada lima ribu orang yang saat itu berbondong-bondong mengikutinya. Mereka melihat mujizat penyembuhan yang diadakan Yesus terhadap orang-orang sakit. Gerombolan orang mengikuti-Nya hingga malam. Mereka kelaparan. Tiba-tiba, ada seorang anak kecil maju untuk memberikan apa yang dia miliki saat itu: lima ketul roti selai dan dua ekor ikan. Sangat kecil kemungkinan lima ribu orang akan kenyang dengan porsi bekal anak itu. Namun, pada akhirnya, kisah itu menjelaskan bahwa dengan mujizat Yesus yang mampu memecah lima ketul roti dan dua ekor ikan untuk mengenyangkan lima ribu orang, bahkan bersisa 12 keranjang penuh.
Dengan usia yang tergolong masih kanak-kanak, sangat mudah bagiku untuk meragukan kebenaran kisah itu. Tanpa mengkhawatirkan apakah keraguanku berujung pada penistaan, naluri penasaran dari seorang anak kecil dengan ringannya melayangkan pertanyaan yang menyangsikan kisah itu kepada guru sekolah Mingguku.
“Dik, kakak juga tidak langsung menyaksikan kejadian itu. Namun, sebagai orang Kristiani, kita patut meyakini keajaiban itu. Kalau sudah besar, mungkin kamu akan mengerti kelak. Tapi, kakak punya gambaran singkat,” jawabnya dengan tersenyum tanpa menghakimi.
Tanpa diduga-duga, dia mengajakku berandai-andai bahwa Yesus tidak ‘sehebat’ itu untuk memulihkan kelaparan lima ribu orang saat itu.
“Gimana ya, kalau yang sebenarnya adalah bukan Yesus yang memecah-mecah roti dan ikan itu? Bagaimana jika semua orang saat itu ternyata membawa bekal? Tetapi karena manusia yang serakah dan takut tidak kebagian atau tidak tercukupi, mereka jadi enggan untuk berbagi,” tambahnya.
Tak tanggung-tanggung, dia menyatakan bahwa anak kecil yang mau memberi seluruh yang dia milikilah yang membuat keajaiban. Porsi yang sedikit namun menjadikan kisahnya besar dan dikenal dunia.
“Karena satu anak kecil yang berani memberi, mungkin itulah ajaibnya. Ketulusannya mampu menggerakkan hati 4.999 orang lainnya untuk mengeluarkan bekal mereka masing-masing dan saling berbagi makan,” lanjutnya.
Masuk akal. Mungkin Yesus hanya menjadi jembatan atau pemberi panggung untuk perbuatan kecil dari anak itu yang mampu menyelamatkan beribu-ribu kepala. Semua perbuatan baik berbalik, lagi berbiak.
Sepulang itu, kisah baru kudapat. Tidak ada perbuatan baik yang terlalu sepele untuk membantu orang lain. Sekecil tawaran makanan dari Rina yang berhasil menutup rasa maluku. Sesepele tawaran tumpanganku padanya.
*) Image by istockphoto.com