Kopi, kretek, kacang. Tiga hal yang tak berjodoh dengan tubuh saya, tenggorokan saya.
Suatu siang di bulan lalu, saya datang ke suatu tempat, lalu disuguhi kopi. Saya minum itu kopi, sebagai rasa hormat saya kepada tuan rumah, kepada sang penyeduh kopi, sambil harap-harap cemas: mudah-mudahan badan saya nggak jadi lemas dan tenggorokan saya baik-baik saja. Beberapa jam kemudian, badan mulai tak enak. Lemas. Malamnya saya sulit tidur. Dan esok harinya kondisi tubuh saya masih begitu. Ditambah lagi, tenggorokan saya sakit. Dan itu berlangsung hingga tiga-empat hari berikutnya.
Padahal, dulu, saya hobi sekali ngopi, dari kopi bubuk Cap Ka(m)pak hingga kopi saset. Hampir setiap malam, saat SMA, sambil main PS, saya selalu minum kopi hingga dini hari. Badan fine-fine saja. Tak ada masalah.
Tapi semua berubah saat Negara Api menyerang. Eh, maksudnya, semua berubah saat saya kuliah. Saya merasa lemas jika ngopi, baik kopi gunting maupun kopi giling.
Untuk urusan kretek, saya memang tak pernah intens menghabiskan waktu bersamanya. Dari tiga hal ini–kopi, kretek, kacang–kreteklah yang sangat sangat jarang saya konsumsi.
Saat SD, saya pernah mencari puntung rokok bersama teman-teman sepermainan. Lalu menyundutnya, mengisapnya. Sedetik kemudian kami batuk sambil mengeluarkan setetes dua tets air mata. Lidah menjadi asam. Dari situ saya tak suka rokok.
Pernah suatu hari saat kuliah semester akhir, saya membeli sebungkus rokok Gudang Garam Filter, lantaran sedang kesal, dongkol dan galau. Saya mengisapnya satu-dua batang sehari. Sebelum habis rokok dalam bungkusnya, saya sudah merasakan keanehan di lidah. Saya tak merasakan rasa makanan di lidah. Manis, asin, pedas, pahit. Hilang. Yang terasa hanya rasa rokok tersebut, yang asam itu. Makan jadi tak enak. Pun minum. Jadi, saya berikan saja rokok itu pada orang lain.
Pernah juga, di suatu siang–ini setelah menikah–teman sekampung saya menawari rokok. Saya ambil satu. Besoknya, saya sakit tenggorokan. Saya pergi ke mantri terdekat. Katanya, saya radang tenggorokan. Sepekan kemudian barulah saya sembuh, dengan bantuan obat.
Dan Senin lalu, saya makan kacang. Kacang kulit. Sebungkus. Cuma sebungkus. Esoknya, saya sakit tenggorokan lagi. Hingga hari ini.
Saya bertanya kepada diri sendiri: Kok tenggorokan saya makin hari makin lebay (sensitif) saja ya? Ada apa ini? Apakah daya tahan tenggorokan saya sudah tak seprima dulu lagi? Apakah organ-organ tubuh lainnya juga sama?
Minum kopi itu nikmat. (Dan mungkin) mengisap rokok juga nikmat bagi perokok. Pun dengan makan kacang. Tapi itu semua tidak bagi saya, paling tidak sejak beberapa tahun lalu sampai kini.
Karenanya saya jadi sadar: satu per satu, perlahan-lahan, nikmat hidup ini mungkin telah dicabut dari (diri) saya. Wah, padahal, dalam hati kecil saya, saya ingin sekali bisa ngopi dan makan kacang, karena itu suatu kenikmatan.
Hari ini saya sudah tidak bisa lagi minum kopi dan makan kacang. Entah besok apa lagi.