KURUNGBUKA.com – Siapa masih menyimpang lembaran yang memuat pengumuman pemenang sayembara menulis puisi, cerita pendek, cerita bersambung, atau novel? Mereka yang pernah menjadi pemenang kemungkinan kecil masih menyimpannya. Yang terbayangkan, mereka bergembira saat menjadi pemenang atau juara. Hal yang terpenting adalah hadiah.
Pengumuman yang dicetak di koran atau majalah dibaca berulang agar yakin memang pemenang. Apakah ia sempat mengguntingnya dan menyimpan dalam tumpukan berkas? Apakah ia punya gagasan agar pengumuman itu dibingkai untuk dipajang di dinding? Kemenangan wajib dirayakan. Hadiah pasti penting. Namun, bukti berupa pengumuman kemenangan seharusnya tidak dibiarkan tertinggal atau tercecer jika ada keinginan menyusun buku autobiografi atau buku biografi.
Contoh pengumuman yang seharusnya dikliping terdapat dalam majalah Tempo, 30 November 1985. Pengumuman yang cukup menyita perhatian bagi yang meminati sastra. Bisa saja pengumuman itu terlewati orang yang keranjingan membaca berita dan kolom. Yang menanti pengumuman mungkin puluhan atau ratusan orang. Mereka yang menjadi peserta lomba tidak dipastikan langganan atau terbiasa membaca Tempo.
“Pemenang Lomba Penulisan Cerpen Zaman III 1985,” tertulis di Tempo. Artinya, pihak penyelenggara (Zaman) telah mengadakan lomba I dan II, yang kita tidak tahu waktunya. Jika lomba sudah ketiga kali bisa saja pesertanya banyak meski belum jaminan bergengsi bagi umat sastra di seantero Indonesia. Yang teringat, lomba-lomba atau sayembara bergengsi diadakan oleh Femina dan Horison. Ingatan yang bisa keliru.
Juara pertama adalah Agus Dermawan T dengan cerpen yang berjudul “Dorman”. Anehnya, alamat rumah penulis dicantumkan, Mengapa tidak nama kota atau kabupaten saja? Panitia mungkin tertib administrasi kependudukan. Dugaannya, para pengirim cerpen diharuskan menyertakan datang diri lengkap dan salinan KTP. Kita mengenalai Agus Dermawan T. Sejak dulu, ia terkenal di jagat tulisan. Pemenang kedua dan keempat, kita tidak mengenalinya. Yang menjadi juara ketiga cukup akrab dalam dunia sastra dan penulisan buku bertema Soeharto: Sinansari Ecip.
Kejutan terbaca di bagian bawah. Hadiahnya bukan piala, piagam, dan uang. Bacalah dengan teliti! Hadiahnya adalah benda-benda elektronik. Agus Dermawan T mendapat televisi. Kita membayangkan televisi itu benda mewah pada masa 1980-an. Televisi yang berwarna alias bukan cuma hitam-putih. Pemenang diharapkan senang. Ia menang dalam membuat tulisan, yang ganjarannya adalah menonton televisi sampai mati.
Nafsu menonton televisi bisa mengakibatkan kemalasan membuat tulisan. Yang mengadakan lomba mungkin sesat dalam berpikir. Hadiah yang indah memang tidak selalu uang. Bagaimana jika hadiah adalah 100 buku, yang kebanyakan sastra, ditambah filsafat, sejarah, antropologi, politik, dan lain-lain? Bila hadiahnya buku, pemenangnya terhormat. Ia bakal dikutuk menjadi pembaca setiap hari sampai mampus. Pada saat tidak berduit, beberapa buku dapat dijual agar dapat makan nasi, minum kopi, merokok. Duit penjualan buku sebaiknya digunakan membeli kertas dan pita untuk mesin tik. Jangan lupa membeli amplop dan perangko untuk pengiriman tulisan-tulisan ke pelbagai majalah.
Yang ngeri adalah dewan juri. Nama-nama yang diakui kesaktiannya dalam sastra Indonesia. Maka, para pemenang bersyukur bahwa cerpen-cerpennya dibaca dan dinilai kaum sakti mandraguna. Mereka adalah HB Jassin, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, N Rinatiarno, dan Danarto. Honor untuk dewan juri berupa uang atau benda-benda elektronik? Mereka bekerja keras dalam membaca dan menilai, pamtas mendapat imbalan.
Kini, tiba saatnya, kita mengingat majalah Zaman. Dulu, Zaman itu majalah yang diadakan oleh orang-orang yang sudah duluan membesarkan Tempo. Jadi, Zaman itu adik atau anak Tempo? Kita membuka majalah Tempo, 22 September 1979, yang memuat berita: “Inilah Zaman. Suatu majalah yang berkeluarga dengan Tempo. Isinya untuk bacaan sekeluarga… Majalah yang terbit sekali seminggu ini, isinya beraneka macam. Dari guntingan sari pers, tinjauan luar/dalam negeri, komik, cerita pendek/kriminil, mode, TTS, sampai cerita anak-anak.” Sejak awal terbit, Zaman itu punya selera dan misi sastra. Penyebutannya majalah keluarga, bukan majalah sastra. Zaman tidak ingin menyaingi Horison.
Majalah yang bermutu tapi tidak bertahan lama. Yang penting diingat adalah Zaman mengadakan lomba penulisan cerpen. Ikhtiar yang mulia dalam memajukan sastra dan menggembirakan para penulis di seantero Indonesia yang ingin tercatat sebagai juara atau pemenang.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<