KURUNGBUKA.com – Pengarang memiliki tahun-tahun yang sangat menentukan nasibnya di jagat sastra. Kita mengira itu tahun keberuntungan. Padahal, ada tahun terpuruk. Yang bercerita mengenai tahun mulia itu jurnalis di majalah Femina. Ia menampilkan pengarang yang memiliki 1977 sebagai tahun kebahagiaan.

Sebenarnya, pengarang tidak memesan atau menginginkan agar mendapat tahun yang istimewa. Namun, ia berhak menganggap 1977 adalah miliknya. Apa yang menyebabkan itu miliknya? Jawaban pendek saja: cerita. Pengarang yang bernama Toti Tjitrawasita membuktikan kemahirannya menggubah cerita.

Yang terjadi ia sudah menulis cerita-cerita. Ada yang diterbitkan dalam buku. Ada yang diikutkan dalam sayembara. Maka, perbuatan menggubah cerita itu berhikmah. Kita mendapat berita bahwa Toti Tjitrawasita mendapat kemenangan-kemenangan pada tahun 1977. Apa ia yang menghendaki? Bagaimana ia mendapatkan tahun yang diberkati?

Sebelum mengingat tahun penuh berkat, kita diajak melihat penampilannya seperti ditulis dalam majalah Femina, 15 Agustus 1977: Toti adalah kesederhanaannya dalam penampilan, tutur kata, dan perbuatan.” Jangan mengingatnya mirip dengan ungkapan dalam kepanduan. Selanjutnya: “Tak ada olesan alat rias di wajahnya. Pakaiannya juga bersahaja, bahan maupun modelnya. Dan, gambaran Toti lebih jelas lagi ketika ia tanpa segan-segan berkisah tentang masa kecil, masa remaja, dan hidupnya sekarang sebagai wanita yang cukup matang.”

Semua itu kesan saat Toti Tjitrawasita menerima hadiah selaku pemenang Sayembara Cerpen Femina 1977. Cerpen yang ditulisnya berjudul “Nolik” dipilih menjadi pemenang pertama. Kemenangan yang indah. Sebelumnya, ia sudah menang dalam penulisan buku yang diadakan Yayasan Buku Utama. Buku yang diterbitkan Pustaka Jaya berjudul Sebuah Cinta Sekolah Rakyat dianggap terbaik, berhak mendapat hadiah satu juta rupiah. Jadi, 1977 itu dua kemenangan. Semua gara-gara cerita.

Namun, 1977 belum tentu tahun yang teringat umat sastra di Indonesia. Cobalah menanyakan kepada para pembaca sastra agar menyusun nama para pengarang perempuan yang diketahuinya dalam sastra Indonesia. Jawaban tercepat mungkin Nh Dini. Pada masa yang berbeda, mereka menjawab: Ayu Utami, Marianne Katoppo, Dewi Lestari, Leila S Chudori, Oka Rusmini, Sanie B Kuncoro, Sasti Gotama, dan lain-lain. Apakah ada yang masih ingat Toti Tjitrawasita?

Nama makin jarang disebut dalam obrolan atau seminar sastra di seantero Indonesia. Nama itu hanya milik umat sastra masa 1970-an? Kita tidak bisa menyepelekan namanya. Dulu, namanya tercatat sebagai pengelola terbitan majalah Jaya Baya, majalah yang berbahasa Jawa. Pada tahun 1977, kemenangan-kemenangannya berupa cerita berbahasa Indonesia. Namun, lakon hidup kesehariannya terasa “njawani”.

Yang tidak boleh terlewat dalam pemberitaan adalah pilihan hidup. Toti Tjitrawasita tidak terlalu kepikiran hidup dalam pernikahan: “Bukan karena saya patah hati. Seperti telah saya katakan, saya seorang yang terlatih menghadapi segala macam keadaan sejak kecil. Karena itu saya memiliki kepercayaan diri yang besar. Saya kira untuk orang demikian tidak ada istilah ‘patah semangat karena kegagalan cinta’. Meskipun saya memang pernah pacaran yang bubar di tengah jalan.”

Lakon hidup Toti Tjitrawasita berbeda dengan Nh Dini. Pada masa 1990-an dan 2000-an, kita dikejutkan oleh gubahan sastra dan pernyataan-pernyataan Ayu Utami mengenai perempuan dan (lembaga) pernikahan. Gegeran terjadi ikut menjadikan sastra makin ramai. Yang berani terlibat debat mulai memasukiki hal-hal bersifat pribadi, tidak sekadar urusan-urusan publik. Mereka mungkin mengingat Toti Tjitrawasita.

Bagi yang mengoleksi buku-buku lawas terbitan Pustaka Jaya akan mengingat Toti Tjitrawasita. Namu, pengetahuan mereka untuk biografinya pasti sedikit. Pengarang itu sederhana, jarang memicu berita atau gosip. Tiga halaman dalam Femina semestinya membuta kita terpanggil untuk membaca buku-buku lamanya dan mengumpulkan beragam keterangan memungkinkan digunakan dalam menghasilkan biografi. Namanya memang sudah tercantum dalam buku garapan Pamusuk Eneste. Yang belum mendapat perhatian adalah biografi dan pengaruhnya dalam sastra Indonesia.

Pada suatu hari, kita berharap diadakan perayaan Toti Tjitrawasita. Undangan untuk membuat tulisan dan membuat seminar-seminar membuatnya patut dijormati. Jangan lupa mencetak ulang bukunya yang terbaik atau mengesahkan pengarang memiliki 1977.

*) Image by dhina sulampita

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<