KURUNGBUKA.com – (26/03/2024) Mereka yang belajar menulis biasa membuat pengakuan-pengakuan yang hampir sama dan membosankan. Ada yang mengaku ingin bisa mengungkapkan diri. Ada pula orang bersemangat menulis untuk menyelamatkan pengalaman-pengalaman. Seseorang belajar menulis agar mengubah kemampuan berpikirnya.

Bagi yang lain, belajar menulis dalam kepentingan memperkaya bahasa dan perspektif. Namun, pengakuan-pengakuan yang diajukan tidak mudah mendapat jawaban seperti yang diinginkan. Yang belajar akan dihadang kesulitan-kesulitan yang membuat malu atau belok di tengah jalan. Menyerah lebih gampang.

“Orang justru sering mulai menulis dari mentalitas yang miskin,” penjelasan Natalie Goldberg (1989). Ia mengetahuinya setelah mengajar banyak orang di pelbagai kota. Yang dihadapai adalah mereka yang tampak bersemangat belajar menulis dari ketidaktahuan, kekurangan, kekosongan, dan kekeringan.

Ia memilih istilah “miskin”, yang dianggapnya memungkinkan orang belajar dalam pengayaan. Pemerolehan terjadi dalam tulisan-tulisan. Yang terus menulis, yang mentas dari miskin. Yang mempersulit diri atau malas akan merugi, setelah mengaku belajar menulis dengan deretan “ingin”.

Percaya pun diperlukan dalam kesungguhan belajar. Orang yang menulis terlalu membandingkan dan mengingat tulisan para pengarang yang apik dan berkesan. Akibatnya, ia dengan tulisannya merada di bawah. Yang terlihat jauh adalah tulisan-tulisan “terbaik” yang tidak segera bisa dihasilkan.

Maka, orang itu memerlukan percaya dulu atas apa-apa yang ditulisnya. Natalie Goldberg mengajurkan agar “bisa percaya secara perlahan”, yang nantinya bisa mengubah “miskin” menjadi pemerolehan sedikit demi sedikit. Yang belajar, yang tidak ingin miskin selamanya.

(Natalie Goldberg, 2005, Alirkan Jati Dirimu, Mizan Learning Center)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<