“Itu sudah menjadi hal yang maklum. Banyak kok orang yang seperti Bapak. Jadi, jangan khawatirkan Bapak.”

Sebagai remaja yang belum banyak tahu, terkadang aku bingung harus kagum atau benci kepada Bapak. Ia berubah-ubah dengan cepat. Ibarat bunglon, ia bukan hanya dapat merubah warna tubuhnya, tapi ia juga bisa merubah suhu tubuhnya. Kadang menjadi panas, kadang menjadi dingin. Akal pikiranku tidak sampai untuk bisa menebak bagaimana sosok seorang Bapak.

***

Semenjak Bapak berpisah dengan Ibu dan aku masih umur tiga tahun, tidak ada yang kumengerti selain kesedihan atas perpisahan. Sepanjang malam sebelum perpisahan mereka cek-cok dan adu mulut terdengar jelas di telingaku. Aku tidak tahu harus membela yang mana? Memihak kepada siapa? Yang bisa aku lakukan hanya menangis dan menangis hingga Ibu dan Bapak pisah rumah sekaligus pisah hubungan.

“Sekarang kamu mau ikut Bapak apa Ibu?” tanya Bapak.
Aku tidak tahu jawaban dari soal Bapak. Lagi-lagi aku hanya bisa menangis hingga diriku dibawa mereka ke meja hijau. Mereka menyidangku dan saling berebut. Entah dengan siapa Bapak datang, yang aku tahu dia adalah seorang lelaki pandai cakapnya. Dan hakim memenangkan Bapak atas diriku berkat lelaki itu.

Aku dan Bapak kembali ke rumah. Rumah tanpa seorang Ibu karena cacatnya hubungan rumah tangga. Kini hanya ada Bapak yang menemaniku bermain. Namun seiring berjalannya waktu Bapak semakin sibuk dengan pekerjaannya sebagai penjaga toko buku. Ia tidak mempunyai waktu lagi untukku. Sebagai gantinya, ia memberiku buku-buku sebagai teman bermain.

“Sebaik-baiknya teman dikala duduk adalah buku. Jadi janganlah kamu bosan membaca buku. Bapak juga sering membaca buku, kok.”

Harus diakui, Bapakku berkata sesuai dengan apa yang telah ia lakukan; rajin membaca buku. Ketika menjelang tidur, ia selalu membaca buku. Sebelum berangkat ke toko buku, ia juga sempatkan untuk membaca buku. Baginya tiada hari tanpa buku.

Pertama, ia memang hanya membaca buku-buku ringan seperti novel atau buku yang tidak memerlukan pemikiran panjang. Akan tetapi, lama-kelamaan segala bacaan ia serap dari buku-buku pemikiran hingga tentang keagamaan. Dan sampai saat ini, ia malah sangat rajin membaca buku tentang keagamaannya.

“Sebagai manusia, sudah layaknya kita selalu belajar. Karena belajar adalah hal yang membuat manusia beda dengan makhluk tuhan yang lain. Nah, salah satu cara belajar yaitu dengan membaca,” nasehatnya ketika aku mulai jarang membaca.

Aku pun kembali terpacu menjadi sangat rajin membaca. Segala buku aku baca. Dan ada beberapa buku yang sangat aku gemari; buku-buku tentang sosial. Berawal dari buku sosial, aku mulai tertarik dengan kehidupan sosial Aku jg mencoba mengadakan penelitian kecil-kecilan terkait lingkungan sosial. Objek yang diteliti mulai dari pedagang hingga para preman.

Berbeda dengan Bapakku. Ia semakin menggila terkait buku-buku agama. Ia semakin haus akan ilmu agama. Terkadang ia juga menghapal ayat atau hadis yang berada di buku bacaannya. Sampai-sampai setiap kali dirinya berbicara atau menasehati seseorang selalu memakai dalil.
“Jika kamu mau masuk surga, kamu harus mematuhi segala perintahku,” ucap Bapak kepada Ibu.

“Bagaimana mungkin aku bisa mematuhi permintaanmu ya banyak itu.”

“Baiklah kalau kamu tidak mau menurut. Kamu sudah membangkang. Secara agama kamu berhak ditalak.”
Buku-buku keagamaan yang kukira membuat Bapak menjadi lebih bijaksana malah membuatnya sedikit gila. Banyak tingkah aneh yang ia lakukan karena telah membaca buku-buku tersebut. Namun, ada beberapa keuntungan bagi Bapak setelah ia gila membaca dan menghafal dalil-dalil; ia menjadi sering diundang di acara-acara pengajian.

Bapak sangat fasih dalam berdalil. Beberapa ayat dan hadist yang jarang aku dengar bisa Bapak lafalkan di khalayak ramai. Sejak itu Bapak dipanggil menjadi ustadz dan mengisi pengajian dari panggung ke panggung.
“Bapak hebat, aku kagum dengan Bapak.” Ia hanya tersenyum ketika aku memujinya setelah turun dari panggung. Aku sebagai anaknya merasa bangga ketika para jamaah menyalami dan menciumi tangan Bapak.

“Semoga kita mendapat keberkahannya,” ujar salah satu jamaah.

Nama Bapak cukup terkenal di desaku bahkan kota seberang. Jam terbangnya semakin padat tapi buku-buku tentang keagamaan mulai jarang ia baca. Kendati materi ceramah dan dalil yang digunakan saat manggung hanya itu-itu saja, membuat Bapak merasa cukup dan tidak perlu banyak membaca lagi.

Banyaknya jam terbang berarti banyak pula imbalan ia dapatkan. Hal itu membuat Bapak menjadi laki-laki yang cukup bahagia. Namun ada sisi lain yang membuat Bapak cukup bersedih, yaitu sisi kejantanannya yang tidak pernah tersalurkan karena saking sibuknya bekerja.

“Walaupun hanya sekedar berbicara di panggung, ternyata melelahkan juga ya,” keluhnya. “sepertinya aku perlu liburan.”

“Ide yang bagus itu, Pak.”

Sekelumit rencana Bapak benar-benar terlaksanakan. Ia memesan tiket pesawat untuk pergi ke Bali bersamaku. Sedangkan segala jadwal atau tawaran manggung yang bertepatan dengan liburannya, ia batalkan demi menyenangkan dirinya sendiri.

“Mari kita nikmati liburan kali ini,” ucapnya saat pertama kali kami menginjakkan kaki di hotel yang telah disewa Bapak. Tempat menginap yang berhadapan langsung dengan pantai, benar-benar memanjakan mata kami.

Matahari yang beberapa puluh menit lagi terbenam menambah keeksotisan liburan. Aku sungguh kagum dengan pencapaian Bapak. Ia membuatku bisa menikmati kehidupan dunia ini. Akan tetapi, berbagai pencapaian yang ia raih tidak membuatnya berubah. Ia tetap menjadi pribadi yang religius.

“Kalau kamu mau main di pantai, pergilah! Biar Bapak saja yang menjaga kamar ini,” ucap Bapak sembari mengganti celana panjangnya dengan sarung. Aku yang dari kecil belum pernah menikmati pergi ke pantai langsung berlari ke luar kamar. Melompat-lompat di atas pasir putih. Butiran pasir yang menyangkut di atas kakiku terbang tersapu angin kala aku melompat. Pasir yang terbawa angin membentuk kawanan burung camar yang menari di langit sana.

Kuhampiri air pantai yang berwarna kuning kemerah-merahan sebab ia memantulkan warna matahari terbenam. Di tepi pantai terlihat kepiting kecil berjalan miring masuk ke dalam lubang rumahnya. Burung-burung yang membentuk pasir terbang tertiup angin pun pergi ke arah daratan, dugaanku mereka pasti akan kembali ke rumahnya.

“Emm, sepertinya petang hampir datang. Sebaiknya aku harus kembali ke hotel lalu beristirahat.”

Kegiatan menikmati liburan hari ini aku cukupkan. Aku berjalan kembali ke hotel dan membelakangi matahari yang sudah terbenam. Langit hitam menemaniku hingga masuk ke dalam hotel.

Kamarku yang berada di lantai empat membuat kakiku perlu bekerja keras menaiki tangga. Lift yang disediakan kebetulan baru mati sore tadi. Aku harus mengulur waktu demi berisitirahat di kamar. Namun jarak waktu antara menggunakan lift dengan menaiki tangga tidak terlalu jauh. Mungkin berbeda lima menit.

“Akhirnya sampai juga,” keluhku karena tenagaku hampir habis digunakan untuk berjalan di antara anak-anak tangga.
Sebelum memasuki kamar, aku mendengar beberapa kali lenguhan seorang wanita dari balik pintu. Kutempelkan telinga kanan di pintu, mencoba mendengar dengan seksama suara-suara dari balik pintu. Benar saja, desahan demi desahan terdengar begitu jelas. Tanpa basa-basi lagi kubuka pintu yang menjadi penghalang antara suara tak jelas tadi.

“Bapak!” Aku tercengang ketika melihat sarung Bapak tergeletak di atas lantai. Lebih-lebih ketika Bapak duduk di sofa dan menghadap langsung ke pintu sembari memangku seorang wanita bule. Aku yang berdiri di bibir pintu sungguh bingung berhadapan dengan dua insan yang tak berbusana. Mereka pun mungkin begitu ketika tahu aku tiba-tiba berdiri di hadapan mereka.

“Ini tidak seperti apa yang kamu lihat, kok. Bapak bisa menjelaskan,” ucap Bapak gugup sembari mengangkat tubuh wanita bule tersebut dari pangkuannya. “Dia istri Bapak. Bapak sudah menikah mut’ah dengan dirinya.”

Aku masih terdiam tak bergerak. Masih belum mengerti apa yang dilakukan Bapak. Walaupun aku sudah menginjak remaja, tetap saja aku belum mengerti kenapa Bapak melakukan itu. Setahuku yang sempat mendengar dari ucapan dan ceramahnya, hal yang seperti ia lakukan itu adalah zina dan dilarang oleh agama. Lalu kenapa ia melarang orang lain berbuat zina saat di panggung tapi dirinya malah melakukannya?

*) Nikah mut’ah = sebuah pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi yang jelas.

Image by istockphoto.com

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang menarik dan seru lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<