KURUNGBUKA.com – (20/02/2024) Pada suatu masa, pers dan sastra bersekongkol. Di lembaran-lembaran majalah atau koran, para pembaca bisa menemukan cerita pendek atau puisi. Kehadirannya dikehendaki meski tak menjami kelarisan. Sastra yang disuguhkan kepada para pembaca untuk ditatap atau dilewati.

Di sekian negara, kemajuan sastra sangat dipengaruhi pers. Artinya, sastra yang bertumbuh berbarengan kebiasaan membaca koran dan majalah. Di Prancis, persekongkolan itu disaksikan Jean-Paul Sartre. Ia tak hanya menyaksikan tapi terlibat dengan segala konsekuensinya.

Yang teringat: “Pada waktu itu cerita-cerita fantastis lagi laris. Surat kabar paling sedikit dua atau tiga kali seminggu menyajikan cerita-cerita itu…” Pembacanya banyak. Yang suka kebablasan ketagihan. Sartre dalam bimbang. “Jika aku membuka harian Le Matin, aku gemetar ketakutan,” pengakuannya kala sebagai bocah-remaja.

Takut cerita tapi melekat dalam ingatan. Ia yang terikat dengan cerita-cerita fantastis, tidak mudah menunjukkan sikat benci atau menggemari. Pembaca itu telah terjebak. Ia dalam sikap mendua tapi serba tak jelas. Pengalamannya menetapkan hubungan selaras pers dan sastra, selain dampak cerita kepada pembaca.

Pada pengalaman membaca yang berbeda, Sartre dilanda penasaran dan “kemarahan”. Ia menyatakan: “Setelah membaca itu, aku takut kepada air, kepiting, dan pohon. Dan terutama takut kepada buku-buku. Aku mengutuk penulis algojo yang mengisi karangan-karangannya dengan makhluk-makhluk seperti itu.”

Pembaca yang tidak bisa menghindar. Ingatannya malah menguat. Yang aneh dan menjengkelkan bagi Sartre: “Namun, aku meniru mereka!” Kita agak mengerti tentang kekuatan cerita yang mencipta nasib pembaca.

(Jean-Paul Sartre, 2009, Kata-Kata, Kepustakaan Populer Gramedia)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<