KURUNGBUKA.com – (19/01/2024) Tahun-tahun berlalu, penerbit-penerbit belum kapok dengan buku puisi. Kita masih gampang membeli buku puisi yang diadakan penerbit besar atau kecil. Jenis buku yang susah “diharamkan” gara-gara sulit laku, tidak memberi untung, atau dirayakan meriah.

Buku-buku puisi menemukan arah ke pembacanya. Yang terjadi: pembaca buku puisi masih ada meski mulai ada yang memilih membaca bergawai. Di tangan, bukan lagi buku cetak. Mereka yang membaca memberi janji agar para penggubah batal dari putus asa.

“Berapa banyak orang yang membaca buku puisi?” pertanyaan yang memberatkan minta dijawab. Octavio Paz (1991) menjadikannya pemicu dalam menyimak pasang-surut kesusastraan. Nasib tidak bisa sama dalam sastra.

Ia menyatakan: “Setiap tahun, para penerbit meluncurkan beribu-ribu novel dengan sampul yang begitu menyala memenuhi etalase-etalase toko buku. Dalam beberapa minggu, novel-novel itu menghilang tanpa jejak. Mereka itu bukanlah burung-burung tetapi buku-buku yang dalam perjalanan.” Di toko buku, sepi milik buku puisi. Buku jarang laku, “malu” di kerumunan pengunjung atau pembeli.

Octavio Paz menulis puisi. Ia mengerti misi penerbit dan gelagat perniagaan buku. Puisi dalam hitungan jumlah pembaca atau penjualan tidak meremehkan atas kerja penafsiran yang melelahkan. Puisi yang mulia tanpa mewajibkan terus cetak ulang.

ada masa lalu, penerbitan buku puisi yang mengabarkan kehadiran dan kehormatan bagi yang betah dengan bait dan larik. Yang membaca buku puisi tidak menyusahkan jika dihitung, menjadi angka yang ikut menjelaskan sastra dan industri penerbitan buku.

(Octavio Paz, 2010, The Other Voice: Suara Lain, Komodo)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<