KURUNGBUKA.com – (20/01/2024) Octavio Paz datang kepada kita dengan puisi-puisi. Dulu, puisi-puisinya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, terbit oleh Bentang. Ia pun datang dengan buku yang bertema antropologi. Esai-esai pun di depan kita, yang menuntut pemikiran, jauh dari penghiburan.

Octavio Paz, menulis keseriusan: dari puisi sampai antropologi. Di Indonesia, namanya diketahui dan diingat tapi jarang yang berani sering mengutipnya dalam percakapan sastra bersama kopi dan rokok.

Octavio Paz mengungkapkan: “Tidak, puisi tidaklah berada dalam perjalanannya menuju ke kematian. Ada kesan yang diberikan bahwa sebenarnya puisi itu berada dalam kelelahan atau bahkan sedang menderita kemandulan tertentu…” Ia yang mengamati puisi tetap saja menulis puisi. Yang diinginkan adalah jangkauan sejarah dan terawang masa depan.

Octavio Paz menggubah puisi berarti mengetahui hidup-mati dalam tuduhan yang tidak henti-hentinya. Abad XX tetap memiliki puisi. Olok-olok dan omelan yang membuatnya terjerat dalam polemik-polemik sebenarnya makin mengesankan penting dan keniscayaan.

Puisi haruslah ditulis dan dibaca. Siapa saja tidak bisa membunuhnya semena-mena. “Kita sedang hidup dalam suatu periode cerdik-pandai yang hebat dan kemerosotan rohaniah yang berkebetulan dengan guncangan sejarah yang luar biasa,” tulis Octavio Paz. Bagi yang berada di Indonesia, kalimat itu megah dan rasanya mencemaskan.

Yang membedakan adalah babak-babak sejarah (sastra) tang bergerak di pelbagai negara atau benua. Indonesia tidak seharusnya ikut dalam kecemasan dan ejekan yang ditulis Octavio Paz. Yang terjadi, Indonesia malah megap-megap oleh berlimpahnya puisi.

(Octavio Paz, 2010, The Other Voice: Suara Lain, Komodo)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<