KURUNGBUKA.com – (24/06/2024) Yang membaca cerita ingin tertawa. Ia memilih cerita-cerita yang mengandung humor atau komedi. Padahal, membaca untuk tertawa tidak selalu mudah. Pembaca bisa kecewa jika yang dibacanya malah “menghancurkan” gairah hiburan dan merusak tawa.

Yang diinginkan dari membaca adalah pemerolehan beragam hal yang menghindarkannya dari pusing dan bingung. Tertawa itu utama. Artinya, ia menemukan komedi. Cerita memiliki beragam keunggulan tapi komedi atau humor yang seharusnya menonjol. Pembaca dalam ibadah tawa.

Kita menyimak yang disampaikan Jerome Stern mengenai belajar kelucuan di atas kertas. Penulis yang tidak mudah melucu atau yang mengalirkan tawa dalam cerita. Ia kadang menyebutnya “fiksi komik.” Kita perhatikan: “Penulis fiksi komik yang hebat harus menjadi penata gaya yang ulung.”

Kita meyakini itu pernyataan berkaitan usaha menjadi penulsi yang tidak asal-asalan. Orang menulis cerita tidak hanya mengumbar tawa dengan konyol atau norak. Jerome Stern mengingatkan “gaya yang ulung” berarti penulis merujuk cerita-cerita telah dihasilkan para pengarang yang teruji zaman.

Yang menghasilkan tawa bukan sekadar pilihan kata. Pembaca yang menikmati tawanya berdasarkan cerita yang terjaga mutunya. Maka, ia menghendaki cerita dari penulis yang tidak asal tertawa. Jerome Stern menjelaskan keunggulan yang bisa dimiliki penulis: “Makin kata tekstur sosial dan makin benar wawasannya, makin besar keberhasilannya.”

Penulis cerita bermisi tawa memerlukan pengamatan atau riset. Pada akhirnya, hasilnya mengentukan gaya dan kemahiran berbahasa. Produksi tawa yang dihasilkan bermakna, bukan sekadar letupan-letupan hiburan murahan.

(Jerome Stern, 2022, Making Shapely Fiction, Diva Press)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<