KURUNGBUKA.com – (28/04/2024) Sisa-sisa dari pelajaran di sekolah, yang terbawa sampai dewasa atau tua. Puisi adalah ekspresi. Konon, buku pelajaran memastikan itu ekspresi perasaan. Maka, murid-murid dari masa lalu enteng mengucap “ekspresi”. Ada yang menggantinnya dengan “mengungkapkan”.
Jadi, puisi urusannya perasaan. Yang ditulis adalah kata-kata bersumber perasaan atau melulu perasaan. Kita yang salah mengerti atau memang pelajaran dari masa lalu tidak mungkin berubah. Pada saat mulai suka menikmati puisi-puisi mutakhir, orang kadang menemukan ada pikiran-pikiran, tidak mutlak perasaan.
Orang itu tambah resah saat membaca puisi-pusi Afrizal Malna. Ia berjumpa benda-benda. Puisi tidak diharuskan sepenuhnya perasaan dan pikiran yang mengakibatkan kata-kata ditulis sering monoton atau berulang. “Kosa kata utama saya adalah benda-benda, bukan kata-kata,” pernyataan Afrizal Malna.
Kita tidak boleh membacanya dan melewatinya. Berhenti sejenak setelah membaca dua atau tiga kali. Puisi itu benda-benda. Yang ditaruh memang “kata” tapi yang dikehendaki adalah benda-benda. Kita membaca benda yang “dikatakan” dalam puisi. Padahal, kita mudah salah mengerti.
Argumentasi yang dimiliki Afrizal Malna: “Karena benda-benda merupakan medan performatifitas yang setiap hari secara konkret saya hadapi.” Ia tidak berbohong. Kalimat itu kejujuran, yang kita juga mengalaminya. Selanjutnya: “Benda-benda dalam puisi saya lebih berfungsi sebagai gambaran, bukan lagi semata sebagai fungsi atau peralatan.”
Di hadapan kalimat-kalimat Afrizal Malna, tiba saat bagi kita menghapus sisa-sisa pelajaran dari sekolah. Afrizal Malna tidak memerintah kita meninggalkan atau melupakannya. Kita merasa malu saja.
(Afrizal Malna, 2021. Kandang Ayam: Korpus Dapur Teks, Diva)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<