Ode Untuk Pelukis Jeihan

:Jeihan Sukmantoro

Aku pun kelak akan luruh sebagai debu, Jeihan
tetapi tidak bagimu –hidupmu akan terus
hidup sebagai mata hitam penuh kenang dalam
semesta tafsir para pemikir.

Jumat itu kau melambaikan tangan pada kehidupan
mungkin jumat adalah hari keramat bagimu
karena di hari itu –hidupmu telah dikuduskan
dari segala najis dan kotoran duka hati dunia.

Sementara kuburan telah disiapkan: sebagai rumah baru
bagimu menghayati resah kehidupan yang berlalu
dan aku pun tak perlu mengantarmu dengan seikat
bunga kesedihan sebagai belasungkawa.

Karena kutahu, untuk mengingatmu hatiku tak usah
menimba air mata dari sumur-sumur kehilangan
sebab telah kutemukan jalan pintas yang puitis
untuk mengenangmu: berdoa dalam puisi.

Yogyakarta, 2019

*

Nuriah 1999

Kulihat seorang perempuan duduk
dengan memakai kerudung seputih kain kafan
membalut tubuhnya yang meringkuk
dalam lukisan.

Ia memandangku abadi penuh misteri
dengan bola mata hitam dan bibir
bergincu merah jambu.

Lalu dalam khayal kutanya siapa tuhannya,
dan ia menjawab dengan lidah senyap: Jeihan. 

Namun tak puas bila tak mengorek kedalaman makna lukisan itu
lalu aku pun menafsirnya dengan logika sederhana.

Barangkali lukisan tubuh wanita itu ingin
mengatakan pada manusia, ucapku lalu dalam senyap
yang menyala memandang lukisan di mata google.

Bahwa dunia adalah perempuan berbahaya
bagi kehidupan yang tak semanis bibir merah jambu
dalam lukisan Jeihan. Sahutku yang terakhir kalinya.

Yogyakarta, 2019
Nuriah 1999: Salah satu judul lukisan Jeihan Sukmantoro.

*

Menafsir Kampung dalam Puisi

Sepi tumbuh dari ladang
kampung yang subur sunyi
di dalamnya kutanam satu
runcing hidupku sebagai
makna yang bertunas
di ladang waktu.

Sementara dari dibalik janur
nyiur malam yang melambai
mata bulan memerah tertelan
kabut tipis-tipis.

Lalu aku tafsir pemandangan
itu dalam puisi, sebagai kepuitisan
kampung yang tenggelam dalam
lautan kegelapan.

2019