Tak ada yang dapat menebak perasaan Fabian pada ibuku, tidak bahkan ibuku sendiri. Ibu yakin itu karena si pemuda terlalu pemalu untuk sekadar mengakui perasaannya, apalagi menunjukkannya. Namun Ibu tak pernah berpikir bahwa mungkin guruku memang tak punya perasaan apa pun kepadanya. Bagaimanapun, hanya Fabian yang tahu apa yang dia rasakan terhadap ibuku. Kelak aku sering melihat dia membonceng seorang gadis tapi aku tak pernah menceritakannya pada Ibu. Fabian dan gadis itu amat serasi dan saat mereka bersama, guruku tidak tampak seperti pemuda canggung yang sering dideskripsikan Ibu dalam buku hariannya.
Saat kuingat-ingat lagi sekarang, kala itu aku pasti berpendapat bahwa kehidupan pribadi Fabian bukanlah urusan ibuku maka aku tak pernah menceritakan bagian dia membonceng seorang gadis, meskipun Ibu tetap menyuruhku memata-matai si guru muda. Dalam pemahamanku, membonceng seorang gadis bukanlah hal yang buruk, sehingga itu tak perlu masuk daftar laporan. Pada akhirnya aku nyaris tidak punya lagi bahan laporan untuk ibuku karena kehidupan Fabian lurus-lurus saja.
Ketika seluruh sekolah bersedih atas berita kepindahan pak guru keluar kota, akhirnya aku punya sesuatu untuk dilaporkan pada Ibu. Selama beberapa saat, ibuku terdiam dan raut wajahnya sulit ditebak. Aku hanya mendengar ia bergumam, Oh, pantas⦠pantas Ibu tak pernah lagi melihatnya di kafe⦠pantas supervisor kafe berkata Fabian tidak akan masuk kerja lagi⦠Ibu tidak mencoba mencari tahu ke mana pemuda itu pergi. Ibu tidak ingin melangkah sejauh itu. Yang ia dambakan hanya seseorang untuk mengisi kekosongan ruang di hatinya, bukan untuk membuatnya harus keluar dari cangkang demi mengejar seorang pria keluar kota. Di sisi lain aku lega karena tugasku sebagai mata-mata pun berakhir dan tak ada lagi yang memberondongku dengan berbagai pertanyaan di telepon.
Hidup ibuku berlanjut. Hidup kami berlanjut. Ibuku, di usia 40, masih meluruskan rambut tapi tidak lagi mengecatnya dengan warna burgundy di salon langganan, mengenakan pakaian-pakaian berwarna gelap, membaca novel-novel Tere-Liye, tidak lagi memulas bibirnya dengan lipstik merah jambu, mengikuti yoga tiga kali seminggu, membatasi konsumsi gula, garam, kopi, dan akhirnya menjauhi alkohol. Ibuku masih bekerja sebagai karyawan swasta, melunasi cicilan sepeda motor dan mulai melirik brosur-brosur kendaraan roda empat, tidak lagi nongkrong di kafe, masih mengantar-jemput diriku ke sekolah setiap hari. Ibuku berkencan dengan satu dua orang pria yang tak pernah berakhir ke pelaminan, menyingkirkan novel-novel kisah cinta vampir dan manusia ke dalam gudang, dan tidak lagi menulis buku harian.
Aku mengira Ibu akan berkencan dengan laki-laki muda yang lain setelah Fabian menghilang dari hidupnya. Namun satu dua orang lelaki yang sempat dekat dengannya justru duda paruh baya dan seorang bujang lapuk berusia sepantaran dirinya. Aku tak tahu kenapa hubungan-hubungan itu tidak berakhir serius. Aku menduga ibu dan pacar-pacar tuanya hanya mengincar keintiman fisik jangka pendek dan bukan komitmen jangka panjang. Tapi akhirnya aku sadar ibuku lebih menginginkan lelaki muda untuk memberinya keleluasaan menjadi pengendali, perasaan setara bahkan mungkin rasa hormatāseperti sikap yang ditunjukkan Fabian dulu. Ibuku tidak memperoleh hal-hal semacam itu saat bersama lelaki sebaya apalagi yang lebih tua. Di saat yang sama ia tidak lagi menemukan seseorang seperti Fabian. Ibu memilih melajang seumur hidupnya. Aku yakin itu pilihan.
Seandainya aku membaca buku harian Ibu sebelum dia meninggal, aku pasti akan menanyakan perasaan Fabian pada ibuku saat kami bertemu lagi setelah aku dewasa. Namun ketika aku akhirnya bertemu dengan mantan guruku itu di usiaku yang ke-26, aku belum membaca buku harian Ibu dan tidak tahu apa-apa soal perasaannya kepada lelaki itu. Waktu itu aku sudah pindah keluar kota dan bekerja sebagai agen perumahan. Aku sudah menjalani pekerjaan ini sejak masih kuliah sebab Ibu hanya bekerja sampai usianya 45 sehingga aku harus membiayai hidupku sendiri. Aku hanya pulang dua kali dalam setahun ke rumah masa kecilku yang kini sudah banyak berubah.
Ibu membuka salon kecantikan setelah menerima pesangon dari perusahaan. Namun salon itu tutup di masa pandemi Covid-19. Dua tahun kemudian, Ibu menjual sekapling tanah warisan dari orang tuanya dan membuka toko kelontong, yang menurutnya lebih mudah dijalankan daripada salon kecantikan. Ia akan memasak makanan kesukaanku dan memanggil keluarga besarnya ke rumah setiap kali aku pulang kampung. Lalu di akhir masa cutiku, kami akan berkendara keluar kota, memesan makanan lewat lantatur (drive-thru), menginap di hotel murah dan berendam di kolam air panas keesokan harinya.
Suatu hari seolah baru terbangun dari tidur panjang, Ibu tiba-tiba menanyakan berapa umurku. Aku hampir meledak tertawa. Bagaimana mungkin seseorang yang melahirkan aku tidak lagi mengingat tahun kelahiranku? Apalagi aku anak tunggal. Jika ia punya selusin anak, mungkin aku bisa mafhum. Ibu tidak menanyakan tahun kelahiranmu, katanya, tentu saja Ibu masih ingat. Ia hanya tak mau repot-repot menghitungnya jadi kenapa tidak kujawab saja pertanyaannya? Aku berumur 25 kala itu. Ibuku tampak memikirkan sesuatu lalu berkata, rasanya waktu seusiamu dulu Ibu sudah menikah dan melahirkan kamu.
Ibuku bukan orang yang suka ikut campur urusan pribadi orang tapi sekali itu saja ia menanyakan apakah aku sedang berkencan dengan seseorang, apakah aku menetapkan target kapan melepas masa lajang dan memberinya seorang cucu. āKamu lihat sendiri seisi rumah ini begitu sepi,ā katanya. Padahal rumah kami selalu sepi dari dulu. Sejak aku bisa mengingat, dari dulu hanya ada aku dan ibuku di bawah atap yang sama. Kenapa kini tiba-tiba aku harus bertanggung jawab atas rasa sepinya dan seisi rumah? Aku tidak melihat bahwa ia menua. Di mataku ia tetap ibuku yang selalu meluruskan rambut di salon, melakukan yoga tiga kali seminggu, membayar cicilan kendaraan sampai lunas, membaca buku, mengendarai mobilnya sendiri, dan tak pernah ingin berkomitmen.
Aku menikah setahun kemudian. Pernikahan privat yang hanya dihadiri oleh aku, pasanganku, dan seorang pastor. Ibu baru kuberitahu satu minggu kemudian, dan sebelum ia marah, aku buru-buru berjanji akan melangsungkan resepsi susulan di kampung halaman. āKenapa menikah tiba-tiba sekali? Siapa suamimu?ā tanya ibu.
Suamiku seorang duda berusia 40-an. Semua bermula dari sebuah panggilan telepon dari nomor asing yang tak ada di daftar kontakku. Hari itu tak berbeda dengan hari-hari biasa. Dan sebagai agen perumahan, dihubungi sebuah nomor asing adalah hal yang sangat lumrah. Si penelepon mengaku mendapatkan nomorku dari website perumahan yang sedang ia pelajari. Dia menanyakan tawaran khusus uang muka, angsuran yang paling murah, denah, dan tipe-tipe rumah. Si penelepon mengaku ingin menghadiahkan sebuah rumah untuk mantan istrinyaāyang kala itu masih berstatus istri. Namun dia ingin membuatnya sebagai kejutan di hari peringatan pernikahan mereka nanti. Akhirnya kami membuat janji temu di lokasi perumahan yang ingin dia beli, sekaligus melihat-lihat situasi.
ceritanya menarik sekali dan diksi nya sangat mudah dicerna!!