Seberapa kenalkah kau dengan orang tuamu?
Ibuku, di usia 39, meluruskan dan mewarnai rambutnya di salon langganan, membeli pakaian-pakaian berwarna cerah, membaca novel kisah cinta vampir dan manusia, memulas bibir dengan lipstik merah jambu, ikut komunitas lari, mengurangi konsumsi gula tapi sesekali mengizinkan dirinya menenggak alkohol. Ibuku, di usia 39, bekerja sebagai karyawan swasta, membayar cicilan satu-satunya sepeda motor yang kami miliki, nongkrong di kafe setiap akhir pekan, mengantar-jemput diriku ke sekolah setiap hari. Ibuku tidak berkencan dengan siapa pun tapi menulis buku harian tentang pemuda yang bekerja sambilan di kafe yang ia datangi setiap akhir pekan. Si pemuda adalah Fabian, guru Bahasa Indonesia di sekolahku.
Fabian, di usia 25, bekerja sebagai pelayan kafe di malam hari dan sebagai guru sekolah menengah pertama di siang hari, masih tinggal dengan orang tua, sulung dari dua bersaudara. Di usia 25, Fabian menyetrika kemejanya sendiri tapi tak pernah memasak makan siangnya sendiri. Fabian lebih suka menghabiskan akhir pekan dengan bermain game di kamar seharian. Alkohol membuatnya pusing dan mual sehingga teh manis dingin selalu jadi pilihan. Fabian tidak membayar cicilan apa pun dan tidak bertanggung jawab atas siapa pun kecuali nyawa seekor anjing. Fabian tidak pernah memarahi siswa dan siswinya yang nakal di kelas, menghormati guru-guru senior dan tak pernah meninggalkan sekolah sebelum menyapu kolong mejanya. Di usia 25, Fabian tidak berkencan. Namun suatu hari, dia akhirnya menjalin hubungan dengan seseorang, tapi orang itu bukan ibuku.
Namun sebelum mimpi buruk ibuku terjadi, ia melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian pemuda itu. Pada akhir pekan, ibuku akan duduk di pojok kafe, memesan dua cangkir kopi hitam meskipun ia hanya sendirian, memanggil si pelayan dan meminta maaf karena ternyata temannya tak jadi datang, dan alih-alih mengembalikan kopi yang terlanjur disajikan, ibuku menyarankan si pelayan menemaninya minum. Keinginan untuk menerima ajakan ibuku berkelabat di mata si guru muda tapi tampaknya dia terlalu sopan untuk menanggalkan celemek dan duduk semeja dengan seorang pelanggan wanita.
Ibuku bersedia menunggu sampai giliran shift Fabian selesai dan memesan kopi yang baru sebab yang pertama sudah dingin. Saat mereka duduk bersama, ibuku dan guru mudaku, mereka membicarakan pernikahan orang tuaku yang kandas. Setidaknya ibuku yang bicara sedangkan pemuda di hadapannya hanya menjadi pendengar yang pasif, terlalu segan untuk menjeda omongan. Jadi ibukulah yang mengajukan berbagai pertanyaan padanya, sebab tanpa inisiatif semacam itu, situasi yang amat canggung akan terjadi.
Aku mengetahui semua ini dari buku harian Ibu—bertahun-tahun kemudian. Ia menulis bahwa pertemuan itu membuatnya sedikit kecewa. Ibuku kecewa pada pemuda yang terlalu pemalu, terlalu santun dan kerap mengangguk canggung, terlalu pendiam, terlalu baik untuk menatap langsung kedua matanya dan menanyakan hal-hal yang sebaiknya ditanyakan oleh dua orang dewasa yang baru saja berkenalan. Ibuku merasa telah bersikap kurang ajar dan berlebihan. Barangkali Fabian pun berpikir demikian meskipun yang dapat dia lakukan hanyalah mengangguk dengan canggung pada setiap ucapan ibuku.
Lalu suatu hari ibuku mengetahui pekerjaan Fabian selain sebagai pelayan kafe. Sepertinya, pada kunjungannya yang ke sekian di kafe, Fabian sempat menyebutkan sekolah tempatnya mengajar. Ibuku tertegun sesaat tapi tidak mengatakan bahwa aku bersekolah di sana. Namun kurasa sejak itu perlakukan ibu padaku jadi berbeda.
Semuanya dimulai ketika Ibu menyuruhku memata-matai si guru Bahasa Indonesia. Waktu itu aku memang belum membaca buku hariannya. Aku bingung dan penasaran tapi Ibu tidak memberitahukan alasan kenapa aku harus memata-matai guruku. Kala itu konsep pacaran bahkan tidak terlintas di benakku. Dalam pandanganku, seseorang yang harus dimata-matai pasti bukan orang baik dan seluruh gelagatnya pantas dicurigai, sesuatu yang semakin membingungkanku sebab pak guru orang yang amat ramah pada semua murid.
Ternyata setelah mengetahui fakta baru tentang si guru muda, ibuku mengubah pendekatannya. Ibu tak pernah lagi secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan setiap kali ia mendatangi kafe tempat guruku bekerja sambilan. Ibuku bahkan berencana melupakan pemuda itu dan hanya ingin mengesankan diri sebagai wanita mapan yang teralu sibuk bekerja. Ia datang dan pergi bersama rekan-rekan kerja, kadang-kadang dengan seorang teman lelaki yang sengaja ia minta menemaninya—mungkin untuk membuat Fabian cemburu. Tetapi kurasa Ibu tak dapat benar-benar melupakan perasaannya pada Fabian.
Ini dibuktikan dari bagaimana ia akan langsung memberondongku dengan berbagai pertanyaan setelah aku pulang sekolah. Apa warna kemeja yang dipakai Fabian hari ini? Jam berapa dia makan siang? Apakah dia makan siang dengan seseorang? Apakah ada guru perempuan yang dekat dengannya? Apakah dia masuk ke kelas kami hari ini? Sikapnya seperti petugas kepolisian menginterogasi seorang tersangka. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan yes or no, dan ia membenci itu, ia menginginkan elaborasi atau penjelasan panjang lebar. Akhirnya aku mulai mengarang jawabanku sendiri. Ya, pak guru makan siang bersama bu guru Mita. Tidak, Pak Guru tidak dekat dengan siapa pun tapi murid-murid kelas enam memujanya.
Dia keluar jam sepuluh, entah ke mana. Aku hanya ingin mempermainkan perasaan ibuku. Sementara itu Ibu tetap mengunjungi kafe setiap akhir pekan dan bersikap elegan dan acuh tak acuh seolah tak ada yang terjadi. Betapa inginnya ia mentraktir Fabian lagi, bahkan mengajak si pemuda pergi dari sana, ke suatu tempat di mana orang-orang tak akan menatap mereka dengan ganjil, mengira mereka ibu dan anak. Namun setiap kali dorongan itu muncul, tulis Ibu di buku hariannya, ia akan teringat diriku. Tak dapat ia bayangkan pendapat guruku nanti manakala mengetahui bahwa ibu adalah seorang wali murid. Pasti dia akan menganggapku sapi tua yang mengincar berondong muda…. tulisnya.
Suatu hari saat hendak menghadiri penerimaan rapot, Ibu datang ke sekolah dengan mengenakan topi bundar dan kacamata hitam. Penampilannya persis seseorang yang hendak pergi ke pantai, membuat wajahku merah padam karena malu. Tentu saja saat itu tak terpikir olehku bahwa Ibu sedang berusaha melakukan penyamaran untuk menghindari Fabian.
ceritanya menarik sekali dan diksi nya sangat mudah dicerna!!