Misnan, mahasiswa kedokteran yang sangat diharapkan kesuksesannya oleh keluarga bahkan warga sekampung itu hanya bisa terpuruk lemas di dalam kamar kost. Sesekali Misnan bangun. Dilihatnya dalam kaca wajahnya yang tak lagi gemuk seperti dulu itu, pipinya yang mulai tirus, rambut yang memanjang, ah memilukan.

Pasalnya, banyak yang Misnan pikirkan akhir-akhir ini. Tentang perjalanannya menuju semester akhir, serta bagaimana ia hidup di masa depan mendatang. Pkiran-pikiran itulah yang kini mulai menghantui Misnan. Bagaimana kalau ia tidak sukses? Sementara banyak orang yang mengharapkan kesuksesannya. Bagaimana kalau ia hanya menganggur? Pastilah banyak tetangga yang mengoloknya. Serta, bagaimana kalau ternyata ia lulus tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan? Pastilah rumit juga. Pikiran-pikiran itu membuat Misnan mudah was-was.

Banyaknya memikirkan hal-hal yang belum terjadi di masa depan membuat Misnan jadi tidak kosentrasi dalam belajar. Ia sering melamun ketika jam kuliah berlangsung. Misnan sering dilanda ketakutan. Entah dari mana rasa takut itu tiba-tiba saja datang. Misnan selalu mendapat bisikan-bisikan aneh yang memenuhi kinerja berpikirnya. Seperti hari itu, ketika Misnan tiba-tiba saja menjerit di  tengah jam pelajaran. Membuat seluruh isi kelas mendadak melirik kearahnya. Termasuk dosen yang sedang mengajar. Banyak teman sekelasnya bertanya “Kenapa, Nan?” tetapi ia hanya menjawab dengan diam.

Misnan kini telah diganggu oleh semacam penyakit sesat pikir dan buruk hati. Selalu saja berprasangka buruk ketika melihat orang-orang yang berkumpul. Dlam hatinya selalu termaktub kata-kata besar “Apa yang mereka omongkan menyangkut aku?” Dengan keadaan hati seperti itu membuat Misnan jadi mengurung diri. Ia tinggalkan berbagai aktivitas organisasinya demi hanya agar bisa tenang. Dengan menyendiri Misnan berpikir kalau ia akan tenang.  Tetapi hal ini tidak sesuai harapan. Semakin ia menutup diri untuk berbicara dengan manusia, semakin besar pula pengaruh bisikan itu datang kepadanya.

Seminggu lamanya ia menutup diri. Kesehariannya hanya ia habiskan di kamar kost. Misnan jadi lupa mandi, selalu menangis kalau-kalau perasaan itu datang menghantuinya kembali.  Misnan jatuh sakit dalam kesendirian. Diabaikannya puluhan kali telepon dari kedua orang tua, teman-teman kuliahnya yang mencoba menjenguk ia abaikan. Mereka hanya bisa memanggilnya di depan pintu. Misnan takut berjumpa dengan manusia. Di kepalanya selalu terlintas pikiran bahwa manusia-manusia yang ia temui selalu menaruh prasangka buruk kepadanya. Misnan selalu memikirkan hal yang bukan-bukan.

Kedua orang tua Misnan di rumah jadi khawatir. Berhari-hari mereka menunggu balasan tapi tak kunjung sampai. Kekhawairan kedu orang tua Misnan mengantar mereka untuk pergi menemui anaknya itu. Mereka berangkat ke luar kota bertemu Misnan. Sesampainya di kost, ditemui anakya itu tengah berbaring tak berdaya. Dilihatnya tubuh Misnan yang kini kurus, bau apek menyengat, rambutnya yang sekarang gondrong membuat kedua orang tua Misnan memutuskan untuk membawanya ke kampung halaman.

Dalam segi sosial tradisi kampung, di kampung halaman Misnan sendiri sangat kental dengan kekompakan dan gotong-royong. Jika mengetahui ada warga kampung yang sakit, para warga senang untuk menjenguk. Seperti yang dilakukan mereka kepada Misnan ketika ia pulang ke rumah. Bahkan sebelum masuk rumah pun ia sudah disambut hangat oleh ratusan warga kampungnya.

Bukannya senang disambut warga, Misnan justru ketakutan. Ia mengamuk dan menangis di dalam mobil. Lagi-lagi bisikan-bisikan jahat itu mulai menyerangnya. Apa yang warga itu pikirkan menyangkut aku?

“Kenapa, Nak?”

“Aku ketakutan, ayah. Aku takut!”

“Apa hal yang membuatmu takut, Nak?”

“Mereka semua!”

Misnan menatap segan seluruh warga yang datang. Semacam ada molekul kuat roh jahat mendekap dalam dadanya untuk takut melihat. Bahkan keluar pun kalau tidak dogotong, mungkin Misnan tetap kekeh dalam mobil.

Seluruh warga yang berniat menjenguk terheran-heran melihat tingkah Misnan yang ketakutan. Melihat tingkah anaknya yang semakin parah, ayah Misnan memutuskan agar para warga yang datang segera bubar dari rumahnya. Guna kenyamanan Misnan yang sedang sakit. Kerumunan itu dengan sekejap lenyap.

Satu Miggu semenjak Misnan ada di rumah dia tak pernah mau keluar.  Barulah setelah pintu jendelanya tiba-tiba ada yang mengetuk dari luar, Misnan beranjak dari tempat tidurnya. Mula-mula ia dekati jendela, menghirup semerbak wangi bunga yang berasal dari orang yang ada di balik kaca jendela. Batinnya berkata, siapakah gerangan yang menghampiriku? Malaikatkah?

“Kalau kau terus memikirkan sesuatu yang belum pasti, selamanya tidak akan pernah bahagia!” ujar seseorang dibalik jendela kamarnya.

“Siapa di sana?”

“Aku adalah khalifah di muka bumi, sama sepertimu,”

Misnan mulai gemetar. Dengan takut-takut ia berusaha membuka gorden kamarnya. Barulah terlihat jelas, ternyata sesosok kakek tua yang sedari tadi mengetuk kaca jendelanya.

“Kau butuh teman untuk mengobrol bukan, Bung? Ha-ha-ha,” tanya si Kakek.

“Masalahnya, lewat mana kamu kemari, Kek. Gerbang rumahku apa tidak dikunci?”

Misnan sedikit ragu, tapi tetap juga ia persilahkan kakek itu untuk masuk. Teduh serta pancaran sinar di wajahnya itu membuat Misnan tenang memandangnya. Wangi tubuh kakek itu menenangkan jiwa. Entah apa parfum yang kakek itu pakai, seumur hidup, baru pertamakalinya ia meghidu aroma itu. Misnan mempersilahkan Kakek itu duduk di kursi belajarnya.

“Bukankah kau takut gagal, Bung? Tapi, pernahkan engkau berpikir bagaimana jadinya kehidupan tanpa adanya kegagalan?” tanya si Kakek.

“Tidak tahu, Kek,’’ jawab Misnan.

“Adanya waktu gagal agar manusia bisa senang, Bung!”

“Maksudnya bagaimana, Kek?”

“Kalau hidupmu senang terus tanpa gagal, kesenangan hanya akan jadi biasa. Karena kamu sering merasakannya, malah mungkin akan bosan. Adanya kegagalan sebelum keberhasilan tidak lain agar engkau bisa lebih tulus mengucapkan kalimat Alhamdulillah.”

Seketika Misnan termenung, tidak terasa air matanya perlahan keluar. Ia dekap tubuh kakek itu dengan penuh rasa hormat, seraya mengucap “Tunjukkan aku jalan yang lurus, Kek”. Kakek itu kemudian tertawa. Misnan lagi-lagi termenung memandangi teduhnya wajah si kakek.

“Babat habis semua ilalang yang tumbuh, mulai tanam bunga-bunga. Di kepalamu, dalam kebun hatimu.”

Misnan mulai membayangkan, bagaimana jadinya jika ia memilih bunuh diri saja waktu itu. Ia mulai membayangkan bagaimana jawabannya ketika ditanya oleh para malaikat mengapa memilih mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Ia jadi mengingat temannya Luis yang lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan menjatuhkan diri di gedung lantai 5 Fakultas Kedokteran karena putus asa menggarap skripsi. Ia mulai membayangkan, bagaimana sakitnya hati ayah dan ibunya kalau ia memilih sama dengan temannya.

 Seketika itu pun Misnan berlari keluar kamar. Pergi mencari ibu, memeluk ibu dan ayahnya, bersimpuh mencium kedua kaki ibu. Selepas kembali ke dalam kamarnya, ia dapati kakek  berwajah itu sudah tak ada di dalam kamar.

*) Image by istockphoto.com