Image by: @_zukkk
Sebagaimana hari-hari lain yang berlalu seperti putaran kehidupan yang tidak menunjukkan tanda-tanda ingin memberontak, azan masjid Al-Barokah berdiri tertatih bersama waktu yang mulai retak. Subuh berganti Zuhur, Zuhur berganti Asar, dan begitu seterusnya sampai Isya datang, kumandang parau menyerukan pentingnya ibadah seakan besok matahari akan terbit dari arah barat.
Orang-orang jelas tidak mempunyai masalah apa pun dengan kumandang parau itu. Toh, jika mereka ingin mencari masalah, mereka hanya perlu meneruskan hidup masing-masing. Satu-satunya yang terus menggugat kumandang lingsir itu adalah Ustaz Baroto, seorang tokoh masyarakat yang juga menjabat sebagai ketua DKM Al-Barokah.
“Lho Mbah, masih azan? Apa nggak capek? Kemarin saya sudah bilang bukan, digantikan sama Mabrur saja? Gantian dong Mbah, sama anak-anak muda. Supaya mereka juga bisa jadi generasi yang cinta masjid seperti Mbah,” ucap Ustaz Baroto sore itu sambil sembari menyalami para jemaah. Yang dituju beliau adalah marbut Al-Barokah, dipanggil orang-orang kampung sebagai Si Mbah. Kakek renta itu hanya termangu mendengar ucapan Ustaz Baroto, yang sebenarnya sudah dilayangkan berkali-kali.
Sebenarnya, jika harus memilih di antara Si Mbah dan Mabrur atau teman-temannya sesama santri pondok tahfiz binaan Ustaz Baroto yang bernama Ashabul Ilmi itu, jelas jemaah memilih yang pertama. Memang, Mabrur dan teman-temannya memiliki suara yang bagus dan sangat tartil setiap kali mereka tilawah, tetapi di balik status mereka sebagai santri, mereka adalah berandalan kelas paus biru. Mabuk-mabukkan di kampung sebelah, balap-balapan liar di Jalan Raya Legok, bahkan berdua-duaan dengan lawan jenis. Banyak saksi mata terhadap kebuasan mereka, tetapi lantaran status mereka sebagai santri Ustaz Baroto, semua kunci mulut. Takut lantaran dianggap memfitnah santri-santri beliau yang fasih bacaannya dan mumpuni hafalannya.
Memang, di antara beberapa tokoh masyarakat di kampung, Ustaz Baroto adalah yang paling disegani dan ditakuti. Konon, jin yang sedang mabuk pun akan sadar seketika tahu bahwa dirinya berurusan dengan beliau. Hal itu boleh jadi dikarenakan hampir semua penduduk kampung awalnya adalah murid mengaji beliau, dan tidak ada seorang pun yang lupa bagaimana bengisnya beliau dalam mengajar. Selain itu, dari segi harta, Ustaz Baroto adalah salah satu penyumbang terbesar baik itu untuk masjid maupun masyarakat kampung. Apalagi pengunci mulut paling paten, jika bukan uang?
Di lain sisi, Si Mbah adalah kehidupan yang memiliki ruangnya tersendiri. Konon, dia sudah jadi marbut Al-Barokah bahkan sejak Ustaz Baroto masih santri, dan boleh jadi itu alasan mengapa beliau tidak bisa terlalu tegas dengan Si Mbah. Setiap hari, dia akan bangun lebih awal dari siapa pun di kampung dan langsung menuju masjid. Setelah bersih-bersih dan mengaji sedikit, dia kumandangkan azan Subuh dengan tertatih dan tepat waktu, lalu menghabiskan waktunya di masjid sampai Isya. Hanya setelah Isya dia pulang, dan rutinitasnya berputar kembali keesokannya.
Merasa bahwa Si Mbah sudah tidak paripurna lagi kemampuannya dalam menjalankan tugas-tugas sebagai marbut, berkali-kali sudah Ustaz Baroto membujuknya pensiun dan tinggal di rumah saja. Meskipun beliau tahu, bahwa santri-santrinya mungkin masih sulit untuk disiplin dan istikamah sebagaimana Si Mbah, tetapi dengan pengalaman dan bimbingan yang tegas, seharusnya anak-anak muda itu bisa digembleng untuk menjadi lebih paten dibandingkan kakek renta itu.
Pada suatu kesempatan, Ustaz Baroto mengarahkan beberapa santri Ashabul Ilmi menginap di Al-Barokah semalaman penuh sambil mengawasi siapa pun yang masuk masjid. Jika Si Mbah masuk, izinkan saja, tetapi pastikan jangan ke podium. Kumandangkan azan Subuh tepat pada waktunya, bahkan kalau bisa tilawahlah semalam suntuk untuk menjaga tidak tertidur saat waktu azan sudah masuk. Arahan itu dijalankan, tetapi entah kegaiban apa yang menyelinap dalam waktu-waktu kritis untuk mengumandangkan azan, santri-santri yang saat menginap di Al-Barokah tidak menyadari sama sekali kehadiran Si Mbah. Pada titik ketika mereka sedang lengah, di dekat mereka sudah berdiri Si Mbah yang bersiap mengumandangkan azan.
“Demi Allah, Staz! Saya dan Salim itu benar-benar di samping kiri dan kanan podium. Sementara Mabrur berjaga-jaga di pintu. Kalau mau disuruh sumpah pocong pun, mau kita, Staz! Berani sumpah waktu itu tidak ada yang masuk ke masjid,” tegas Burhan ketika Ustaz Baroto mendatangi mereka di waktu Dhuha pada hari itu.
“Burhan benar, Ustaz. Saya kan di pintu, dan kami sama sekali tidak tidur,” tandas Mabrur dengan suara seperti tong kosong.
“Terus kalian pikir Si Mbah itu apa, Ifrit yang tiba-tiba bisa pindahkan istana Balqis? Nggak waras, kalian! Ingat, aku mau kalian yang azan dan berkegiatan di masjid ini juga supaya pondok tahfiz kalian itu ramai! Bahkan tujuanku, pondok tahfiz ini bisa menguasai segala kegiatan keislaman sampai ke kampung sebelah. Kalau sudah begitu siapa yang untung? Kalian juga, bukan? Makanya, kalau aku bilang kalian harus berjaga-jaga sama si tua bangka itu, ya jaga-jaga!”
Setelah menempeleng ketiga santri itu, Ustaz Baroto pun berniat pergi ke rumah Si Mbah yang berada jauh di pelosok kampung untuk membuat peringatan yang lebih tegas. Tetapi nasib, baru saja beliau ingin menyalakan motor, petugas di Ashabul Ilmi meneleponnya atas sebuah perkara yang tidak bisa ditangguhkan.
Perihal ini sebenarnya sempat membuat tokoh masyarakat itu bertanya-tanya: upayanya untuk menggantikan marbut masjid yang sudah hampir kedaluwarsa itu bukan satu dua kali. Cara yang lembut dan yang sedikit licik seperti yang sudah dilakukannya, tetapi marbut itu tetap pada putaran kehidupannya yang tidak menunjukkan tanda-tanda ingin memberontak. Tidak bisa tidak, jika beliau ingin membawa pembaruan di kampung yang dangkal ilmunya itu, beliau harus bertindak tegas. Besok, beliau akan mendatangi rumah Si Mbah bersama beberapa santri untuk menegaskan maksud hatinya.
***
Rombongan Ustaz Baroto hanya terdiri dari tiga santri yang ditempelengnya kemarin dan seorang santri senior. Walau bagaimanapun, sebagai seorang tokoh masyarakat, beliau tidak mungkin menggunakan cara berlebihan dalam menegaskan keinginannya. Apalagi Si Mbah hampir dua kali lipat umurnya sendiri, akan merusak citra beliau jika bertindak yang macam-macam kepada orang sesepuh itu. Hanya untuk kali itu, Ustaz Baroto tidak berkata apa-apa ketika mendengar kumandang azan parau Si Mbah pada saat Subuh dan Zuhur. Tetapi setelah Zuhur, beliau dan rombongannya langsung bergerak.
Perjalanan berlangsung cukup lama karena Si Mbah tinggal di pelosok kampung. Ustaz Baroto sempat pula bertanya-tanya pada diri sendiri, pukul berapa Si Mbah bangun sehingga bisa azan Subuh. Tetapi sesampainya beliau dan rombongan di tujuan, pertanyaan-pertanyaan itu disimpannya dulu. Waktu itu, Asar tinggal sebentar lagi.
Sesampainya di rumah Si Mbah, Ustaz Baroto dibingungkan dengan keramaian yang serba hitam, bersila di sebuah ruangan tamu yang lapang. Tokoh masyarakat itu kaget bukan main ketika dihampiri dan ditanyai oleh Manaf, anak lelaki Si Mbah yang sudah hampir seumur dengan beliau.
“Maaf Ustaz, tahlilan bukannya nanti setelah Asar ya?”
“Tahlilan untuk apa, Manaf?”
“Untuk meninggalnya Ayah, kan Ustaz? Ini sudah hari ketiga Ayah meninggal.”
“Si Mbah? Meninggal? Kamu bicara apa, Manaf?!”
“Iya Ustaz. Bukankah Ustaz sendiri yang mengimami salat jenazah waktu itu?”
Ustaz Baroto pucat wajahnya, ditanyainya satu demi satu santrinya apakah beliau ada mengimami salat jenazah pekan ini. Semua santrinya bingung, sama sekali tidak tahu apa masalah sebenarnya.
“Kamu main-main, Manaf! Baru Zuhur tadi ayahmu azan di Al-Barokah!”
Manaf bingung dengan ucapan yang dilontarkan Ustaz Baroto. Baik dia maupun tokoh masyarakat itu sama-sama dirundung pertanyaan. Lalu bangkit sembari tertatih di kala segala carut-marut bergegar di semesta alam, azan Asar berkumandang, membawa desir yang bukan main dinginnya ke tengkuk Ustaz Baroto.
Kumandang parau azan terdengar dari arah Al-Barokah. Tidak salah lagi, itu adalah suara azan Si Mbah. Lalu tidak lama kemudian, musala dekat rumah Manaf turut mengumandangkan azan Asar dengan suara parau yang sama. Lalu diikuti dengan kumandang parau yang terdengar dari kampung sebelah. Tak lama kemudian, suara azan Si Mbah yang parau dan tertatih terdengar dari segala penjuru mata angin.
Orang-orang jelas tidak mempunyai masalah apa pun dengan kumandang parau itu. Toh, jika mereka ingin mencari masalah, mereka hanya perlu meneruskan hidup masing-masing. Akan tetapi Ustaz Baroto semakin pucat dan kering air mukanya. Kepalanya dikelilingi oleh kumandang azan parau Si Mbah, dan tidak ada satu perihal pun yang bisa dilakukannya terhadap semua itu.
Tangerang, Juni 2022