image by istockphoto.com

Setelah kuyakini toko listrikku sudah bangkrut, aku mendatangi kakak sulungku di Jakarta. Aku dan Rido, kakak tengahku, biasa memanggilnya Uda. Uda Jef. Memang sudah lama sekali kami tak berjumpa, lebih dari sepuluh tahun. Namun, kedatanganku ke tempat Uda Jef bukanlah untuk melepaskan rindu. Aku ingin menyampaikan keluh-kesahku dalam membuka toko kepadanya, juga meminta modal kepadanya, untuk menghidupi lagi toko listrikku.

            Tak sampai dua tahun aku membuka usaha toko listrik. Dua tahun yang penuh nestapa. Toko terus-menerus sepi. Boleh dibilang, dalam sehari paling banyak 5 orang yang belanja ke toko. Itu sudah rata-rata. Terakhir aku membuka toko, aku berurusan dengan seorang kepala sekolah yang minta nota kosong dan stempel toko untuk LPJ sekolahnya.

Terang saja aku tidak memberinya. Bukan karena aku idealis saja, tapi si kepala sekolah ini dalam dua tahun aku membuka toko baru sekali itu belanja di toko. Padahal aku dan dia satu kampung. Ia kenal dengan seluruh keluargaku. Tapi memang ia tak sekali pun nongol ke tokoku selain saat berbelanja keperluan lampu sekolah dan tiga hari kemudian datang dengan LPJ beserta permintaan nota kosong dan stempel toko.

            Aku dan kepala sekolah itu bertengkar. Pokoknya bertengkar. Dan semenjak itu tokoku benar-benar sepi. Bahkan dalam seminggu, hanya dua orang yang belanja ke toko. Jumlah barang di toko terus menyusut, karena uang berjual-beli terpakai untuk kebutuhan sehari-hari dan rokokku yang putus nyambung.

            Begitulah, barang yang menyusut hebat dan nyaris habis membuatku menutup tokoku. Tujuanku tidaklah menutupnya secara permanen, melainkan istirahat sejenak untuk mencari modal.

           Sebagai anak bungsu akulah yang paling disayang Ibu. Ayah sudah meninggal semenjak aku masih SMA. Sewaktu Ibu meninggal, ia meninggalkan uang sejumlah 60 juta rupiah. Hanya itu harta peninggalannya. Juga rumah, yang merupakan peninggalan Ayah. Tanpa pikir panjang kakak tengahku, Rido, menyerahkan semua uang peninggalan Ibu padaku. Katanya, itu amanat Ibu padanya sebelum meninggal. Sekali lagi aku merasa tersanjung dan disayang. Dengan uang 60 juta rupiah peninggalan Ibu itulah aku membuka toko listrik. Dan sekarang uang itu hampir tamat.

***

Dengan sisa uang berjualan di toko aku datangi Uda Jef di Jakarta. Tak lama memang mencari rumahnya, karena aku memang dulu sewaktu kuliah di Bandung sering ke rumahnya.

            Aku tiba sore hari, pas pula Uda Jef sudah pulang kerja. Mengenai pekerjaan, Uda Jef adalah kakakku yang paling sukses. Kakakku Rido hanya guru honorer di kampung. Sedangkan Uda Jef bekerja di perusahaan multinasional di Jakarta.

            Langsung kukatakan kepada Uda Jef bahwa aku ke Jakarta tidak naik pesawat melainkan naik bus. Untuk menghemat biaya.

            Istri Uda Jef datang dari dapur membawa dua gelas teh dan menghidangkannya di meja dekat kami duduk. Walau lama tak bertemu, lewat HP aku dan Uda Jef masih saling bertanya kabar.

“Sudah lama tak ke Jawa,” kata Uda Jef sambil tersenyum.

            Tentu saja Uda Jef sudah tahu, semenjak aku pulang dari Bandung dulu, kesibukanku di kampung membantu Ibu berjualan pakaian. Lantas Ibu sakit, aku merawat Ibu sampai beliau meningggal. Terakhir kesibukanku, membuka usaha toko listrik tak jauh dari rumah dengan mengontrak sebuah toko.

            Setalah banyak bercerita tentang kampung dan keluh-kesahku membuka toko listrik, sambil sesekali tertawa, aku dan Uda Jef sejenak sama-sama diam.

            “Aku ingin minjam modal, Da,” kataku setelah sejenak sama-sama terdiam.

            Wajar saja aku meminta modal kepada Uda Jef. Bagiku hidupnya di Jakarta sudah mapan. Punya rumah, mobil, dan istrinya bekerja pula sebagai PNS.

            “Modal untuk membuka lagi toko listrikku, Da. Rencana aku ingin melanjutkan usaha toko listrik lagi. Sayang pengalamanku sudah ada di sana,” kataku setelah melihat Uda Jef seperti tak tertarik dengan ucapanku sebelumnya.

            Uda Jef meraih gelas yang berisi teh, menyesapnya sedikit. Lantas memandangku.

            “Dulu kau sudah kubiayai kuliah. Beruntung kau dulu dapat kuliah di Jawa. Tak banyak orang kampung kita bisa kuliah di Jawa, kau dapat kesempatan kuliah di Jawa. Tapi kau menyia-nyiakannya. Kau tidak menyelesaikannya. Padahal semua biaya aku yang tanggung dulu,” kata Uda Jef setelah mendehem.

            Tak kusangka Uda Jef mengeluarkan kata-kata seperti itu. Sebagai anak bungsu aku sudah terbiasa dengan semua kehendakku yang selalu cepat diiyakan. Termasuk juga Uda Rido, walau guru honorer, kalau aku perlu uang ia selalu memberi.

            “Dulu sewaktu kuliah, aku salah pergaulan, Da. Aku keteteran. Hidup boros, kuliah berantakan. Masalah pertemanan, pacar, dan kekurangan uang silih berganti,” kataku sembari kukeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. Lantas gegas membakarnya.

            Sementara dalam pikiran, aku berharap ada kesempatan kedua bagiku. Aku berharap Uda Jef mempercayaiku lagi. Lama Uda Jef tak menyapaku sewaktu aku memutuskan berhenti kuliah dulu, dan sekarang aku berharap Uda Jef memaafkan semua yang lalu-lalu dan bersedia memberiku modal.

            “Bagaimana, Da,” kataku setelah melihat Uda Jef tak begitu antusias melanjutkan obrolan. “Aku butuh uang 70 juta rupiah. Itu sudah termasuk kontrak toko.”

            Uda Jef memandang wajahku. Aku tak balik memandang melainkan menghisap rokokku.

            “Uang 70 juta rupaih itu banyak Adi. Aku tidak punya uang sebanyak itu,” kata Uda Jef sambil terus memandang wajahku.

            Dalam hatiku, tentu saja Uda Jef bohong. Baru kali ini Uda Jef menolak permintaanku. Dulu sewaktu kuliah, Uda Jef memberi saja apa yang kuminta.

            “Kalau begitu Uda sama saja membesarkan kelapa condong. Ibu yang membesarkan Uda, orang lain yang memetik buahnya,” kataku. Aku sendiri tak menduga kata-kataku itu keluar dari mulutku. Sebuah pepatah dari kampung, yang berarti juga kita yang menanam dan membesarkan pohon kelapa orang lain yang memetik hasilnya.

            “Apa kau bilang,” kata Uda Jef. “Kau kira aku sudah lupa dengan kampung. Kau belum tahu saja bagaimana hidup berkeluarga. Biaya rumah tangga dan membiayai sekolah anak.”

            “Ya sudah. Kalau tidak dapat aku langsung pulang kampung saja,” kataku sembari berdiri.

            Muka Uda Jef nampak kaget dan sedih.

            Dalam hatiku aku mulai merasakan betapa susahnya mencari uang. Uang, lagi-lagi itulah masalahnya.

            “Apa kau punya ongkos pulang,” kata Uda Jef meraih tanganku. Dan segera mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya.

            “Aku anak bungsu, Da,” kataku dengan sedikit air mata di sudut mataku.

            “Untuk modal silakan kau cari sendiri. Mulai sekarang usahakan hidup mandiri. Bersusah-susah dulu,” kata Uda Jef sembari menyelipkan uang yang kuduga 2 juta ke kantong depan celana jinsku.