Oleh Rizal Sofyan

KURUNGBUKA.com, KAB. PANDEGLANG – Jum’at malam (27/01/2023) saya menghadiri pertunjukan teater berjudul Alengka Yuda di Gedung Serba Guna SMK 1 Pandeglang. Tepat pukul 20.00 WIB pertunjukan dimulai dengan masuknya sekelompok orang dengan menggunakan kostum tim sepak bola. Mereka masuk dari pintu masuk dan berbaris di depan penonton diiringi musik FIFA Anthem. Pemimpin barisan meniup peluit dan mereka kemudian melompat dan memekikan ”SIUUUU!” sambil berpose seperti selebrasi Christiano Ronaldo. Tepuk tangan menyambut aksi tersebut, kemudian mereka duduk dan mengambil alat bertempur mereka yaitu alat musik.

Tim sepak bola itu kemudian membuka pertunjukan dengan tabuhan musik kolaborasi. Gamelan, drum elektrik, bass, dan keyboard bermain dengan komposisi yang pas. Musik pembuka terasa begitu gebyar dan bersemangat. Seiring dengan musik pembuka, secara bersamaan aktor-aktor dari arah kanan dan kiri panggung masuk dan menyebrang. Beberapa aktor perempuan berhenti di bagian tengah panggung dan berpose centil ke arah penonton. Hingga akhirnya semua aktor belia itu keluar dan hadir dua aktor laki-laki berpakaian tokoh wayang menyambut penonton dengan memberi salam dan banyolan.

Mereka berdua adalah anak dari Rahwana bernama Petantang dan Petenteng. Petantang bertubuh tinggi dan gagah, sementara Petenteng bertubuh gempal. Mereka melemparkan banyolan-banyolan yang kerap hadir di media sosial Tik Tok maupun Instagram hingga akhirnya dihentikan oleh Dalang. Sang Dalang yang berpakaian seperti Pak Lurah kemudian memberikan sinopsis dan secara resmi lakon Alengka Yuda dibuka.

Pertunjukan menceritakan kisah penyelamatan Dewi Sintha oleh Rama. Kisah dimulai saat Rahwana marah saat mendengar Rama akan menyelamatkan Sintha. Ia kemudian mengerahkan Petantang Petenteng dan prajuritnya untuk menghentikan Rama. Sementara itu Rama dibantu dengan Akil dan Oman, dua monyet berwarna hitam dan putih untuk mengalahkan Rahwana. Namun, di akhir cerita Dewi Sintha masuk ke dalam panggung dan menghentikan mereka berdua. Rama dan Rahwana malah tidak percaya ia adalah Sintha karena di KTP dan aslinya tidak sama.

Akhirnya Sintha tidak diakui oleh siapa-siapa, tetapi hal itu jauh lebih baik karena Sintha berhasil menciptakan perdamaian antara Rama dan Rahwana.

Pertunjukannya berbentuk seperti pertunjukan Ubrug modern hanya saja gestur dan pakaian menggunakan konsep Wayang Wong. Aktor berakting layaknya aktor di Wayang Wong, begitu gagah, lincah, dan perkasa. Namun, seringkali mereka hancurkan sendiri penampilan itu untuk menimbulkan efek komedi. ”Rahwana kok ngondek?” salah satu dialog yang merespons bagaimana penampilan stereotipe Rahwana ialah seorang raja yang gagah dan bengis, tetapi di satu adegan berbanding terbalik menjadi pribadi yang feminim.

Berbanding dengan Rama yang terlihat sebagai karakter “tulang lunak”, sama sekali kurang gagah dan malah menimbulkan rasa khawatir dia akan kalah dengan sekali smack down oleh Rahwana. Penampilan dan pembawaan Rama ini pun malah tidak memperlihatkan niatnya untuk menyelamatkan Sintha. Di sisi lain, Rama lebih cocok sebagai konten kreator joget pargoy atau roasting Chuaks di Tik Tok—bahkan lebih jago dari Rahwana. Hal ini memang terlihat ketika adegan musik jedag-jedug khas Tik Tok hadir pada saat adegan pertarungan. Rama dengan semangat dan lihai dalam memperagakan joget-joget viral di Tik Tok.

Pertunjukan berdurasi kurang lebih 1 jam 40 menit ini menghibur penontonnya malam itu. Suara tertawa penonton menjadi riuh suara malam itu disamping musik yang rata-rata enerjik. Banyolan aktor-aktor berhasil membuat malam itu penuh tawa dan senyum sumringah dari beberapa penonton yang aku lihat saat lampu auditorium dinyalakan. Banyolan dan joget menjadi hal yang dominan dalam pertunjukan ini.

Namun di sisi lain, dominasi banyolan dan joget-joget ini sungguh sangat mengganggu pada struktur dramatik dan pesan yang ingin disampaikan. Dalam durasi selama itu saya hanya melihat setiap aktor berlomba-lomba untuk menjadi lucu dan ditertawakan. Padahal materi komedinya sudah terlalu banyak digunakan seperti “pinjam dulu seratus”, “komedi seksis”, hingga “komedi politik”, hampir tidak ada orisinalitas dalam komedi yang dilontarkan oleh aktor. Mereka hanya membawa banyolan internet ke panggung.

Semuanya ingin terlihat memukau, sama halnya seperti fenomena FYP (For Your Page) di media sosial. Gempuran konten-konten viral dan menyandang predikat FYP justru merusak esensi etika bermedia sosial. Tak heran jika ada sebutan ”kebelet viral”, ”kebelet FYP”, “tukang cari sensasi”, hingga ”main character syndrome” ketika seseorang diberi akses untuk mengekspresikan dirinya, namun yang hadir adalah disorientasi. Namun keviralan hanya bertahan sementara, seseorang itu diperbudak untuk membuat spectacle agar dirinya tetap viral. Viral adalah sebuah prestasi untuk era ini – agak menyedihkan.

Setiap adegan ingin dibuat extraordinary, tetapi jatuhnya malah membuat dramatik kendor. Kesamaan bentuk dan pola pada adegan menambah sisi monoton, misalnya kuis berhadiah mobil untuk pasukan Rahwana dengan debat strategi pasukan Rama. Belum lagi repetisi adegan joget yang karakter musik dan jogetnya rata-rata mirip. Bagi saya pertunjukan ini terlalu banyak konten dan terlalu banyak pengulangan yang kemudian saya merasa jenuh dalam menonton dan menangkap banyolan aktor-aktor.

Terlebih yang membuat pertunjukan ini kurang epik ialah adegan akhir yang terasa dipaksakan dan menjadi plot hole terbesar. Kok tiba-tiba ya Rahwana dan Rama menolak Sintha? Hanya karena foto beda dengan di KTP doang? Padahal adegan ini menjadi kunci untuk masuknya pesan; ”pentingnya untuk cinta pada perdamaian”. Musik dan koreografi aktor yang sudah memukau pun tiba-tiba dirusak kembali oleh monolog candaan Sintha ditambah Dalang yang masuk dan kemudian menawarkan Sintha untuk jadi pasangannya – sungguh saya sangat menyayangkan.

Jika saya boleh padatkan, pertunjukan ini cukup berdurasi 1 jam saja dengan asas pengolahan yang taktis dan berkecupan – banyak konten bukan berarti makin bagus.

Pertunjukan ini menunjukan era Tik Tok dengan hadirnya gestur, lawakan, dan joget-joget yang khas ditemukan dari media sosial tersebut. Nampak estetika pertunjukan ini terinspirasi dari platform Tik Tok, Instagram, dan hal yang viral selain dari bentuk Ubrug dan Wayang Wong. Estetika ini berlaku hingga saat menontonnya.

Bagi saya pertunjukan ini meriah tapi ke mana-mana, enerjik tapi repetisi, dan banyak yang lucu sampai bingung harus menertawakan yang mana. Entah saya pun memang sudah terpapar kultur era Tik Tok di mana setiap konten hanya “berdurasi singkat”, saya tertawa lalu beberapa jam kemudian saya lupa.

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang menarik lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<