KURUNGBUKA.com – (23/01/2024) Pada awalnya adalah kekacauan. Orang yang menulis esai dihadapkan kebingungan dalam menghasilkan kalimat-kalimat. Ia sadar kekacauan bahasa, yang nanti diolah dan digerakkan lincah agar tersaji sederhana. Yang ingin ditulis macam-macam tapi kematangan dalam membuat kalimat harus mengalahkan kekacauan.
Tulisan bukan untuk mengumbar kalimat-kalimat, yang kadang malah “menyiksa” dan “membunuh” pembaca. Yang membuat kalimat-kalimat semestinya bertanggung jawab, sebelum semuanya sampai mata pembaca. Tulisan yang diberikan jangan menjadi “dosa” yang berlipat ganda.
“Kekacauan bahasa adalah penyakit,” peringatan dari William Zinsser (2015). Ia mengetahuinya dari beragam tulisan yang dihasilkan orang-orang, yang ingin dimengerti tapi ditinggalkan pembacanya. Konklusi yang dibuat cukup mencengangkan: “Kita adalah masyarakat yang terombang-ambing dalam kata-kata tak perlu, susunan kalimat melingkar-lingkar, slogan-slogan tak bermakna dan embel-embel sombong.”
Kalimat yang “memukul” kesadaran orang jika ingin menjadi penulis bermartabat. Yang mula-mula harus diperhatikan: melawan atau menghentikan kekacauan bahasa.
Belajar menjadi penulis diwajibkan menjadi pemihak kesederhanaan. Yang diraih bukan kementerengan, apalagi kemonceran dan pengultusan. Sederhana itu bahasa. Sederhana dalam pembuatan kalimat, yang menjadikan maksud-maksud tak berlarian atau berjatuhan. Sederhana yang memberikan terang dan jernih.
Pesan yang jelas: “Tetapi, rahasia tulisan yang baik adalah meluruskan setiap kalimat dengan komponen bahasa dan kalimat yang paling jernih.” Yang menulis dapat membedakan kegunaan kata, ketepatan susunan kata, dan kemungkinan pengertian yang bermunculan. Kemampuan membuat kalimat yang sederhana itu kesungguhan sekaligus kebaikan.
(William Zinsser, 2015. On Writing Well, Kiblat)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<