Aku, akulah Jante Arkidam
Penggalan puisi Jante Arkidam karya Ajip Rosidi
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya
Batang pisang,
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat rujibesi’
***
Iman Soleh, seniman asal Bandung, membaca puisi “Jante Arkidam” dalam versi Bahasa Indonesia di Rumah Dunia. Beberapa kali Kang Iman datang ke Rumah Dunia dan selalu memberi kado membaca sajak tentang “penjahat baik hati” yang dipuja wanita itu. Setiap tiba pada bait di atas, dadaku bergemuruh. Tentu aku selalu teringat kepada penulisnya: Ajip Rosidi. Dia adalah “ayahku yang lain” di imajinasi liarku. Dia seolah menasihatiku, bahwa kesuksesan bisa juga diraih dengan membaca buku.
Sajak “Jante Arkidam” itu ditulis Ajip Rosidi dalam bahasa Sunda sekitar tahun 1967. Aku sering menebak-nebak itu tentang Kusni Kasdut, perampok yang fenomenal dengan kisah pelariannya. Seperti “Jante Arkidam” yang membagikan hasil rampokannya kepada orang miskin, Kusni Kasdut pun begitu. Barangkali dugaanku ini bisa saja salah. Ada manuskripku yang belum selesai hingga sekarang, yang teknik menulisnya terilhami “Jante Arkidam”, yaitu prosa lirik berjudul “Jawara Terakhir”. Dengan kepergiannya, aku bersemangat menyelesaikannya.
Di status FB Iman Soleh pula aku membaca kabar Ajip Rosidi wafat di Rumah Sakit Tidar Magelang, Rabu 29 Juli 2020 pukul 22.30. Nani Wijaya, yang dinikahi pada 2017, menguburkannya Kamis 30 Juli, pukul 11.00 WIB di halaman depan rumahnya di Perpustakaan Jati Niskala, Desa Pabelan 1, Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Jasadnya tidak ingin jauh dari buku-buku, yang membuatnya harum ke seluruh sudut dunia.
Aku membayangkan Ajip Rosidi ketika remaja di momen heroik itu, pada tahun 1956. Barangkali dia sedang mengayuh sepeda ontel dengan perasaan marah. Rambutnya tergerai tertiup angin kota Jakarta. Sekolahnya setingkat SMA di Taman Madya, Taman Siswa ditinggalkannya, membayang samar di belakangnya. Begitu juga teman-temannya yang membeli bocoran soal ujian akhir. Itu dua hari menjelang ujian akhir, tercatat dalam sejarah hidupnya. Bagi dia ijasah jadi tidak penting lagi. Tujuh tahun kemudian pada 1963, setelah Ajip Rosidi meninggalkan sekolahnya di SMA, aku lahir di Purwakarta. Pada 1965 Bapak mengajak Emak pulang ke Serang, Banten; mereka jadi guru. Kakek Emak dari Caringin, Pandeglang. Pendidikan di Banten pada masa itu dianggap tertinggal. Banyak guru dikirim ke Banten. Ketika SMA (1980-an) aku mulai mencatat nama-nama orang hebat yang secara pendidikan formal tidak berhasil. Kunci sukses mereka adalah membaca buku. Ajip Rosidi mencuri perhatianku. Tapi aku tidak berani meninggalkan bangku SMA seperti Ajip. Aku merasa wawasanku sebagai wong Banten sangat tertinggal. Jarak kota Serang dengan Jakarta yang hanya sepelemparan batu, tidak membuatku maju. Aku memilih kuliah di Fakultas Sastra UNPAD Bandung (1982-85) walaupun lebih senang “kuliah” di Rumentang Siang, Palasari, Cikapundung, Naripan, dan Braga. Pada 1985 aku mengundurkan diri dari UNPAD.
Sebetulnya sulit mengingat-ingat Ajip Rosidi setelah aku mendengar kabar kepulangannya. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Tapi kisah heroiknya, tidak mengambil ijasah SMA, menghantui. Itu ibarat Musashi, yang menganggap semua kawan-kawannya di sebuah SMA di Jakarta tidak setara dengan visi hidupnya. Dia tinggalkan sekolahnya dan kawan-kawannya. Dia mencari lawan yang seimbang untuk bertarung, yaitu “buku”. Belum hilang dari ingatan, Sapardi Djoko Damono baru saja berpulang pada 19 Juli 2020. Orang-orang terbaik di dunia sastra satu per satu kembali ke asal. Mereka abadi dikenang seperti selarik puisi Chairil Anwar: Aku ingin hidup seribu tahun lagi!
Barangkali nanti giliranku. Pertanyaannya, bagaimana nanti orang-orang mengenangku? Lewat buku yang kutulis dengan melewati proses berdarah-darah seperti novel “Balada Si Roy” yang akan difilmkan Fajar Nugros awal tahun 2021 nanti? Atau Rumah Dunia, yang disusun dengan kata-kata? Anak-anak muda sekarang tampaknya tidak memikirkan itu. Semuanya ingin diraih serba instan. Kesuksesan ingin segera datang, terutama kepopuleran. Jika ada kritik, mereka tidak menelaahnya dengan ilmu pengetahuan, tetapi dengan emosinya. Jagat maya mereka hiasi dengan kebencian kepada orang yang mengkritiknya. Mereka menganggap setiap kritik adalah duri yang mengganggu jalan sukses mereka. Karya mereka kemudian tidak diisi dengan “personality” atau kepribadian yang bisa kita teladani. Padahal itu sangatlah penting untuk meninggikan derajat karya kita. Itu sebab Toto ST Radik menulis, “Simpan golokmu, asah penamu,” dan saya dengan “saatnya otak, bukan otot.”*)
Rumah Dunia, 31 Juli 2020
*) Jejak digital di https://bit.ly/GolAGongTV dan www.golagongkreatif.com