1 Januari 2030
New year, new me. Karirku telah jatuh belakangan ini, dan aku berniat untuk menjadi lebih produktif. Malam tahun baru tak kuhabiskan di luar rumah untuk meniup terompet dengan bekas mulut si tukang terompet sebelum ia menjualnya. Bahkan tiada yang mengundangku minum-minum di pesta. Sebab, siapa pula yang mau bergaul dengan Oliver Guerra? Pemuda omega ramping yang memiliki ayah imigran, mencoba mengganjal perut melalui karir sebagai penulis lepas yang bangkrut, tak punya duit atau apa pun yang menarik, dan kini hidup sendirian di flat murah dengan lingkungan tetangga yang rata-rata adalah pemabuk dan gangster. Tentu mereka tak ingin datang ke rumah dan mendengar jeritan mencekam dari tetangga sebelah.
Jadi, aku berkutat dengan cahaya laptop di tengah kamar yang gelap. Pertama, karena aku mulai benci cahaya. Kedua, tagihan listrikku lumayan memprihatinkan. Untungnya aku suka dingin sementara musim ini belum juga berakhir. Angin beku kosmogiral yang menjalar melalui celah pakaianku terasa memuaskan, satu-satunya yang sudi memeluk kesepianku dari belakang seperti seorang kekasih. Makin larut, buaian malam semakin menyentakku dengan pikiran yang seakan tak pernah kosong.
Ada banyak sensasi yang terjadi belakangan. Seorang gubernur negara bagian di pesisir timur melakukan dua skandal sekaligus: menyimpan hubungan gelap dengan Yazmin Jimenez, seorang supermodel yang tiba-tiba didapuk menjadi duta Healthcarr, dan subsidi kesehatan nasional yang digunakan sebagai instrumen pencitraan sang gubernur. Douglas Carr—pria itu—kini menikmati nama baik yang sebentar lagi akan tercoreng oleh revisionis media sepertiku.
Aku menulis tentang Carr dalam sebuah reportase sepanjang dua ribu kata, lalu mengirimnya ke harian Daily Discourse. Ada dua peruntungan yang telah kupertimbangkan secara optimis. Pertama, orang-orang akan mendapatkan kebenaran. Kedua, mereka akan membayarku cukup banyak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
***
19 Januari 2030
Belum kuterima sepatah kata pun jawaban dari Daily Discourse. Namun, aku tak menyerah. Kutunggu selama beberapa saat. Jika mereka menolaknya, aku akan mengalihkan artikel itu ke The Enlightenment. Lalu aku memperoleh berita baru. Kali ini dari seorang figur Silicon Valley.
Pria muda yang belum genap 35 tahun itu dikenal sebagai Elijah McGraw, dikagumi anak muda di seluruh dunia karena berasal dari pedesaan di Dixie, Alabama, dikeluarkan dari salah satu kampus Ivy League karena tak mampu membayar tunggakan uang kuliah, lalu belajar pemrograman secara autodidak. Fenomena semacam ini berikutnya memotivasi anak-anak yang senasib dengannya, meyakinkan mereka soal masa depan yang ada.
Tahun ini ia merilis MyBrain, sebuah teknologi cip yang menyambungkan otak dengan segala peralatan elektronik dari mulai ponsel hingga pendingin ruangan. Sistemnya mirip Alexa. Bedanya, MyBrain tak memerlukan perintah suara karena alat itu mendeteksi pikiran penggunanya.
Setelah beredarnya data yang menguak isi pikiran paling pribadi beberapa klien MyBrain secara acak, orang-orang kritis sepertiku punya cukup bukti untuk mengklaim bahwa Elijah McGraw telah menciptakan senjata berbahaya yang menyerang privasi manusia. Data-data acak tersebut diambil dari pengguna dengan latar belakang yang bervariasi.
Orang-orang yang malang itu adalah Tyler Dickinson, seorang anak SMA putus sekolah dari Brooklyn. Alat itu rupanya merekam keinginannya untuk mengirim foto vulgar pada salah seorang cewek di sekolah lamanya, dan bahwa ia tengah memesan ganja yang seharusnya diantar hari itu. Dengar, siapa yang tidak kehilangan harga diri dengan penguakan semacam ini? Aku tahu ia butuh rehabilitasi dan semacamnya, tapi ia hanya anak dibawah umur yang memerlukan kesempatan yang ramah untuk merancang masa depannya.
Korban selanjutnya ialah Isaiah Ward, pria lima puluh delapan tahun yang menggunakan alat itu karena kemampuan bicaranya mulai lumpuh. Ia tak memiliki anak cucu, sebatang kara setelah sang istri meninggalkannya ke dimensi berikutnya.
Dan, salah seorang yang lain adalah Claudia Liu, wanita dua puluh tujuh tahun, seorang wartawan produktif dari Toronto yang meliput sendiri kerugian yang diperolehnya setelah membuang lima ribu dolar AS untuk mencelakai privasinya sendiri. Tak kuperhatikan secara teliti bagaimana Liu yang seorang wartawan kawakan memilih untuk tak menerbitkan esainya di media arus utama. Setidaknya belum sekarang.
Artikelku selesai dalam waktu kurang dari satu jam, dengan keyakinan yang menjejali kepalaku dengan optimisme buta.
“Bagus. Aku yakin Daily Discourse akan menerbitkannya dalam waktu dekat.”
***
6 Februari 2030
Baik artikel pertama maupun keduaku belum diterbitkan. Namun, aku tak menyerah. Toh aku masih bisa hidup dengan sederhana, makan telur mata sapi tiap pagi dan piza berumur seminggu di kala petang. Aku memperoleh uang dari menjadi penulis konten untuk pebisnis yang ingin situs mereka mendapat pengiklanan yang ideal. Aku melakukannya hampir tiap hari. Pendapatanku tak seberapa, tapi aku masih bisa bertahan hidup dan tersenyum.
Bagaimanapun, mulai kupertanyakan alasan kenapa mereka tampak tak tertarik dengan karyaku. Kukira berita ini segar, beda, dan belum pernah dipublikasi di media-media arus utama. Mestinya mereka memperhatikan hal-hal kecil seperti ini, sesuatu yang butuh diketahui orang-orang.
Kadang kala diriku dirundung disforia tatkala membayangkan seluruh kerja keras yang tertolak. Kekecewaan itu tak berlangsung lama. Kembali kucoba mencari topik baru untuk dibicarakan. Dunia ini selalu terlalu besar untuk tak mendapat ilham. Tak sanggup kuhitung seberapa panjang antrean hal-hal menarik yang menyeruak masuk dalam pikiranku, misalnya bagaimana sebuah restoran di Miami—yang dikunjungi banyak turis mancanegara—menggunakan embel-embel yang menipu untuk menarik pembeli.
Namanya The Greens. Mereka mengumumkan diri sebagai restoran yang hanya menyajikan apa-apa yang sehat dan segar. Kenyataannya, The Greens mendapat suplai utama mereka dari Harvesentura, perusahaan agrikultur yang menjalankan praktik modifikasi genetik, sesuatu yang dianggap berbahaya oleh ilmuwan-ilmuwan yang waras yang rela digorok untuk memberitahukan kebenaran.
The Greens menelan korban. Beberapa orang tiba-tiba terserang kelumpuhan otak hingga serangan jantung. Sebagian meninggal. Yang janggal adalah fakta bahwa tak ada media arus utama yang mengangkat beritanya untuk dibaca banyak orang.
Aku menuliskan kembali berita itu dengan perspektifku, lalu mengirimnya untuk North Carolina Reviews. Masih tergugah dalam-dalam oleh meliorisme sehingga tak hentinya menulis jenis berita yang sama.
Ngomong-ngomong, aku masih harus makan santapan berumur seminggu malam ini. Kuharap naskah kali ini diterima.
***
13 Juni 2030
Tak satu pun artikel-artikel itu muncul di media. Bahkan hingga dunia melupakan dan semakin tak acuh pada kenyataan, kisah-kisah itu masih belum bisa dibaca publik. Kedua target awalku gagal. Pertama, orang-orang tak menerima berita faktualnya. Kedua, aku belum bisa makan enak dan menghabiskan musim panasku di Panama.
Semacam anagapesis mendadak menyergap dengan ganas. Seperti halnya kejenuhan pada umumnya, ia dapat menimbulkan gagasan yang memaksa agar aku tak berhenti di titik yang sama.
Namun, pagi ini, anak tetangga di flatku yang bernama Maisie mengantarkan panekuk blueberry yang masih hangat.
“Terima kasih, Maisie,” kataku pada gadis kecil itu, sebelum aku bersimpuh di depan altar mini dan berterima kasih pada Bapa di langit sana. Ibu Maisie memberiku sarapan kadang-kadang, semuanya enak-enak. Tiap itu juga aku selalu bersimpuh di altar yang kuinstal di sudut ruangan dekat dapur, mengagungkan Bapa yang tak pernah tidur, memberkatiku melalui wanita paruh baya itu.
Panekuk itu kusantap sambil menonton televisi. Aku tak bertahan lama ketika duduk di sofa yang menelan nyaris seluruh tubuh rampingku di tengah rongga koyak yang terbentuk setelah penggunaan bertahun-tahun. Lantas, kusorotkan perhatianku pada media-media daring yang selama ini menjadi titik tertinggi ekspektasi hidupku. Kupindai judul-judul yang dimuat dengan saksama.
Aktivis Lingkungan Berusia Belia yang Membawa Perubahan dengan tagar #PikirkanMasaDepan.
Penyanyi RnB Gianni B. Menjalani Operasi Pembesaran Bokong.
Presiden Faulkner Akan Menggratiskan Universitas Negeri Mulai 2031.
“Omong kosong. Omong kosong. Omong kosong.” Begitu gumamku.
Sebuah tagar tak berarti apa pun ketika tiada seorang pun yang bergerak untuk benar-benar menyelamatkan lingkungan. Selain ironi bahwa orang-orang mulai mencetak dan menempelkan foto gadis belia itu menggunakan kertas yang berarti membabat habis ribuan pohon di dunia, terdapat fakta lain bahwa gadis itu tak melakukan apa pun selain mengkritik pemerintah di podium, meluapkan amarah terhadap seantero generasi tanpa menyebutkan solusi yang bisa dilakukan semua orang. Berita ini omong kosong, seratus persen sampah.
Hei, maksudku, kenapa mereka justru tak mengangkat soal pemuda-pemuda lain yang berhasil menciptakan bakteri pemakan plastik atau perusahaan pengolahan listrik ramah lingkungan? Kupikir segalanya akan menjadi lebih relevan.
Berita berikutnya membuatku semakin jijik. Begini ya, rupanya orang lebih peduli pada bokong seorang pesohor ketimbang hal-hal lain yang lebih penting. Lalu tentang Presiden Faulkner? Ia telah menjanjikan hal tersebut sejak periode pertama, dan mahasiswa-mahasiwa yang tinggal di lantai dasar flatku masih menderita, menggerutu siang malam soal uang kuliah yang meroket dengan gaji kerja sampingan mereka yang merosot. Mereka bekerja di McDonald dan Taco Bell hingga tengah malam, tapi rasanya tak membantu apa pun hingga rasanya lebih baik putus kuliah saja.
Semuanya omong kosong. Tepat sekali, Presiden Faulkner adalah penyair omong kosong yang begitu mahir. Semua omong kosongnya dan dustanya begitu sastrawi untuk dibacakan di atas pementasan para bajingan.
Namun, setidaknya ada sesuatu yang kuketahui. Fakta yang membuatku meringis, mengoyak kelaparan di lambungku dengan keinginan untuk menyingkirkan idealismeku dan mulai menghadapi kenyataan.
Ternyata, orang-orang suka berita omong kosong. Orang-orang suka berita dusta.
***
12 Agustus 2030
Tidak, Neil Freeman Sang Peniup Peluit bukanlah pendusta. Pun, ia bukan orang tidak waras yang memiliki riwayat penyakit mental maupun manipulasi dalam pelbagai bentuk. Freeman juga tidak berbohong soal pemerintah, maupun kartel-kartel bank yang sengaja mendorong orang untuk berhutang, memperbudak mereka secara halus. Tubuhnya kini terkurung dalam sebuah jeruji tahanan politik di Bolivia karena para elit membenci kenyataan yang ia paparkan, tapi ia sejatinya seorang Freeman—pria bebas yang tak membiarkan orang-orang memperbudak pikirannya. Ia tahu kebenaran, aku tahu ia benar.
Namun, kali ini, kutulis sesuatu yang tak biasa. Kubiarkan luka di lambungku yang menganga, kantung mataku yang menggelayut hitam seperti mata bulldog, dan rasa jenuhku yang menggebu-gebu berkata bahwa Neil Freeman punya riwayat penyakit mental dan halusinasi. Aku sendirilah yang memalsukan dokumen-dokumen itu, selain memuat foto yang kusunting dengan teliti di Photoshop, menampakkan Freeman tengah bersandar di kursi di sebuah kasino dan klub, tertawa lepas dengan tiga penari striptis di depannya.
Berikutnya, orang-orang akan mempertanyakan nilai moralitas Freeman, konservativitas orang beriman yang digadang-gadangnya di media independen yang ia perjuangkan.
Kutulis bahwa Freeman sengaja menuduh pemerintah sebagai dendam bahwa mereka telah memecatnya karena melakukan penggelapan uang. Kenyataannya? Ia sama sekali tak mengambil keterlibatan dalam pekerjaan kotor tersebut.
Itu bukan satu-satunya kisah fiktif yang kutulis. Tak ketinggalan, aku mengirim tiga naskah sekaligus ke Daily Discourse. Sisanya adalah artikel promosi untuk sepuluh merk kecantikan yang perlu kaucoba (aku tahu mereka menggunakan merkuri dan hidrokuinon, jangan lupakan steroid. Ketiga bahan yang membahayakan nyawamu, dan bayimu kalau ia ada dalam perutmu). Yang terakhir, gosip tanpa bukti tentang pengamat politik bernama pena Ash Burner.
***
13 Agustus 2030
Aku terbangun pukul satu dini hari, saat burung hantu bersumpah serapah terhadap kerasnya malam, dan beberapa pria mabuk meraung-raung seperti sirene mobil polisi yang datang di saat yang sama, hendak membawanya pergi. Hal seperti ini sudah biasa. Yang tak biasa adalah, aku mendapat tiga surel sekaligus yang mengabari bahwa ketiga artikelku akan dipublikasi lusa di Daily Discourse.
Mimpikah aku? Enam ribu dolar siap mengalir secara deras ke rekening bank-ku. Sesuatu yang kedengaran fana. Kenyataannya, skeptisme itu dilawan oleh kenyataan yang menggembirakan.
Ketika uang itu akhirnya sampai ke tabunganku, aku segera mengundang kawan-kawanku yang telah lama meninggalkanku karena melihat betapa buruk dan miskin aku terlihat. Kuundang mereka ke rumah untuk minum berbotol-botol vodka yang kutuang dalam sebuah barel. Sebelum membawa mereka ke flatku, aku telah terlebih dahulu mentraktir mereka di sebuah restoran Spanyol mewah di tengah kota. Kunikmati sebuah ataraksia supertemporal, berwujud pertemanan dengan teman-teman palsu yang berakhir mengendus aroma dolar di sekitarku.
Malam ini setelah pesta, aku tak akan tidur. Yang akan kulakukan adalah menulis lebih banyak lagi berita dusta.
Sistemnya sangat sederhana, sepuluh berita dusta lagi yang kutulis, dan sepuluh akhir pekan mewah akan kulalui. Jangan kuatir, sisa uangnya masih banyak, dan aku berniat menggunakannya sebagai tisu toilet, tisu dapur, dan kipas angin selama musim panas.[]
Awesome. 👍
Thank you Omid! 🙂
Nice story😍😍
Good job Alifiaa! Sukses teruss😁🙌
Kerreennn bangets… Alifia…
Keerreenn bangets…. Alifia… Sukses selalu ya