KURUNGBUKA.com – (14/07/2024) Para pembaca novel bisa terdiam lama saat menyelesaikan kalimat-kalimat yang dianggapnya sangat mengesankan sebagai pertanyaan atau pemicu renungan. Maka, hening atau diam sejenak sebenarnya bukan memutuskan keinginan melanjutkan cerita tapi ada “panggilan” untuk “memahami” dan “memiliki” kalimat-kalimat yang terkandung dalam novel.
Pengarang bisa saja sengaja membuat pertanyaan-pertanyaan (filosofis) yang mengikat para pembacanya dalam renungan yang selaras. Artinya, pembaca tidak sekadar dituntut dalam tafsir atas cerita.
Kita kadang menganggap segala pertanyaan atau renungan dalam novel bersumber penulisnya. Padahal, penulis bisa mengelak saat tokoh-tokohnya adalah suara-suara yang mempertanyakan. Pembaca semestinya memberi perhatian kepada tokoh-tokoh, bukannya terpusat kepada pengarang.
Nadine Gordimer mengingatkan: “Namun, karena seorang novelis tidak memberikan jawaban, tetapi memberi pertanyaan, adakah sebuah pertanyaan yang dimasukkan di sini? Sebuah pertanyaan bagi kita untuk ditanyakan kepada diri kita sendiri…” Kutipan itu dipicu gairah membaca novel-novel dari Asia dan Afrika, yang ramai pertanyaan.
Pengalaman dan pengamatan Nadine Gordime atas beberapa novel memungkinkan munculnya pertanyaan, yang memuliakan pengarangnya atau dipanen oleh para pembacanya. Jadi, membaca novel kadang mementingkan penemuan pertanyaan. Pembaca yang merasa berjalan di renungan selama menikmati cerita.
Maka, pembaca yang terlibat dengan suntuk memikirkan pertanyaan sebenarnya “memiliki” novel. Ia yang berhak membuat garis bawah atau membuat catatan pinggir. Di hadapan novel, kita adalah penemu pertanyaan sekalingus bertanya untuk ditaruh dalam novel. Artinya, novel boleh kumpulan pertanyaan yang membentuk orbit renungan bagi pembacanya.
(Nadine Gordimer, 2004, Writing and Being, Jalasutra)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<