.
Pada tengah malam, Alvedo pulang ke rumah dengan kepala menunduk terus-menerus seperti pucuk pohon yang bengkok. Sepanjang perjalanan dari rumah Tuan Tankara, mata Alvedo hanya melihat benda-benda terserak di jalanan: guguran dedaunan, sampah-sampah plastik, bangkai tikus bonyok, dan bayangannya sendiri yang perlahan lenyap. Ia tahu setelah ini semuanya akan berbeda. Rumahnya akan terasa hampa, kosong, dan tak lagi seberisi sebelumnya. Di ruang depan, rak-rak tinggal rangka tanpa daging. Tinggal kekeringan dan keheningan. Tidak ada lagi buku-buku.
“Kau betul-betul ingin menjual seluruh bukumu ini?” Tuan Tankara memastikan seraya menatap lembar katalog yang Alvedo angsurkan padanya. Tercatat ratusan judul buku di sana. Buku-buku milik Alvedo, yang telah dikoleksinya semenjak masa kuliah hingga menikah dan memiliki satu orang anak.
“Aku sedang sangat membutuhkan uang. Anakku sakit parah dan harta paling berharga yang kumiliki hanya buku-buku,” kata Alvedo. Disembunyikannya kesenduan dengan suara ditegas-tegaskan dan ditegar-tegarkan. Matanya membesar dan ia melebarkan senyumnya, hanya untuk menipu dirinya sendiri bahwa dirinya baik-baik saja.
Transaksi itu berlangsung singkat. Tuan Tankara memborong semua buku Alvedo yang berjumlah ratusan dengan harga belasan juta. Ia juga memberikan uang tambahan kepada Alvedo. “Semoga sedikit membantu biaya pengobatan anakmu,” ujar Tuan Tankara ketika menyodorkan tambahan itu. Alvedo berucap terima kasih begitu banyak. Bahkan, ia sampai menunduk-nunduk dan nyaris bersimpuh. “Tak perlu berlebihan seperti itu.” Tuan Tankara meminta Alvedo mengangkat kembali kepalanya.
Alvedo sangat menyukai Tuan Tankara. Ia memanjatkan syukur sungguh-sungguh kepada Tuhan yang telah menciptakan orang sebaik dirinya. Dulu—sebagaimana yang Alvedo dengar sendiri sewaktu percakapan tadi—Tuan Tankara juga pernah menjual buku-buku koleksinya karena utangnya di mana-mana. Jadi, ia tahu betul bagaimana rasanya mesti merelakan benda-benda penuh kenangan dan bagai menyimpan sebagian jiwa itu. Itu dulu, ketika Tuan Tankara masihlah seorang pemuda miskin yang jalan hidupnya begitu terjal. Sekarang ia telah menjadi tengkulak besar. Tiap hari ia membeli berbagai macam barang kepada orang-orang dari berbagai daerah. Biasanya barang-barang itu adalah barang-barang bekas atau tak terpakai. Ia akan menjualnya lagi ke pihak lain dengan harga jauh lebih besar setelah lebih dulu menyortir dan memoles barang-barang itu.
Setibanya di rumah, suara pertama yang Alvedo dengar adalah jeritan tangis anak lelakinya. Suara tangis yang patah-patah seolah memberi jeda pada tiap potongan-potongan rasa sakit. Ia tidak mau berlama-lama mendengar jeritan itu. Alvedo melewati ruang depan. Rak-rak telah kosong. Siang tadi orang suruhan Tuan Tankara telah memboyong buku-bukunya ke atas mobil bak besar. Semacam upacara penyerahan buku-buku dari tangan Alvedo ke tangan Tuan Tankara—yang mungkin tak lama lagi akan berpindah ke tangan lainnya.
Istrinya duduk di tepi tempat tidur anaknya. Anak itu semakin pucat saja, lebih pucat dari saat terakhir kali—siang tadi—Alvedo melihatnya. Ia mendekap anak itu dan menciumnya. “Kita bawa Leno berobat sekarang juga.” Alvedo segera membopong tubuh lungkrah Leno. Bersama istrinya, ia menembus malam menuju rumah sakit terdekat. Ia dan istrinya mencari kendaraan yang melintas untuk meminta tumpangan. Namun, tak ada yang melintas, selain sebuah mobil mewah berwarna terang yang malah melesat semakin kilat ketika Alvedo memberikan isyarat tangan untuk menumpang. Akhirnya ia—dengan Leno di gendongannya—dan istrinya berjalan kaki ke rumah sakit yang jaraknya tidak kurang dari tiga ratus meter.
Beberapa hari sebelumnya Leno sebenarnya telah dirawat di rumah sakit. Namun, karena perkara administrasi tak kunjung lunas, pihak rumah sakit memulangkan paksa Leno. Alvedo dan istrinya sudah memohon-mohon, tetapi pihak rumah sakit tak memberikan kesempatan lagi. Leno terpaksa pulang dengan kondisi jauh dari baik-baik saja. Alvedo tak punya apa-apa, begitu pula istrinya. Menjual buku-buku kesayangan yang telah mengisi rak-rak ruangan rumah maupun ruangan hidupnya adalah jalan terakhir yang mau tidak mau harus Alvedo tempuh. Ia sangat mencintai buku-bukunya itu, tetapi tentu jauh lebih mencintai anak kandungnya.
Di depan gerbang rumah sakit, Leno kian menjerit-jerit keras, seperti mengabarkan rasa sakit yang kian getas. Sesampainya di dalam ruangan rumah sakit, Alvedo berteriak-teriak meminta perawat menangani Leno. Sejumlah perawat merapat. Namun, para perawat itu bergerak teramat lambat. Mereka baru bertindak cepat seusai Alvedo menghadap ke bagian administrasi rumah sakit. Leno lekas dibawa ke ruang unit gawat darurat.
Sementara dokter menangani Leno, Alvedo dan istrinya menanti di ruang tunggu. Keduanya duduk dengan gelisah, dengan pikiran resah dan tubuh lelah. Beberapa menit berlalu, rasa kantuk mengalahkan Alvedo. Sementara istrinya masih duduk di atas bangku dengan mata terbuka. Terbuka dan basah.
Dalam tidurnya, Alvedo memimpikan sebuah rumah dengan ruangan penuh buku-buku. Jenis ruangan yang sangat didamba-dambakannya. Ruang tamu, kamar tidur, bahkan dapur, terpasang rak-rak dan buku-buku dengan susunan artistik. Dulu, ia pernah merencanakan hal yang semacam itu bersama istrinya. “Sayang, suatu saat kita buat rumah dengan ruangan-ruangan penuh buku, yuk!” ajak Alvedo pada istrinya beberapa waktu sebelum mereka menikah.
Alvedo mengelilingi sudut-sudut ruangan rumah dalam mimpinya itu dengan riang. Ia memulainya dari ruangan paling belakang, lalu beralih ke ruangan paling depan, ruangan yang paling sesak dengan buku-buku. Di sofa ruang depan, ia duduk dengan sebuah buku bersampul pelangi di genggaman. Ia akan membacanya dengan dada terubungi sayup-sayup kebahagiaan. Tatkala halaman pertama buku di genggamannya hendak Alvedo sibak dan baca, buku itu perlahan-lahan menghilang bagian demi bagian seperti proses lenyapnya suatu benda dilalap api. Lalu, buku-buku di rak-rak yang ada di sekelilingnya menyusul lenyap, begitu pun seluruh buku yang ada di bagian-bagian lain rumahnya. Semuanya lenyap dan tinggal Alvedo sendirian dalam hening. Ia belum sempat merasakan duka dan kehilangan, sebab sebuah tepukan di bahunya lebih dulu mengeluarkannya dari alam mimpi ke alam kenyataan.
“Pa, Leno, Pa.” Istri Alvedo mengujarkan perkataan itu berkali-kali dengan dahi mengernyit dalam-dalam. Matanya semakin basah. Jantungnya berdebar-debar kencang. Alvedo tergeragap bangun dari tidurnya. Ada apa, Ma? tanya Alvedo yang hanya dijawab istrinya dengan “Pa, Leno, Pa.”
Alvedo bertanya sekali lagi kepada istrinya. Namun, istrinya tetap tak memberikan jawaban jelas. Sang istri justru tiba-tiba menangis, lalu pingsan.
Seorang perawat—perawat yang sama yang turut membawa Leno ke ruang unit gawat darurat—menghampiri Alvedo. Beberapa perawat lain mengurusi istri Alvedo yang pingsan.
“Maaf, Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, sayangnya, nyawa anak Bapak sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”
Perawat menyampaikan kabar itu dengan takut-takut. Ia bahkan tidak berani menatap ke arah wajah Alvedo. Mendengar kabar itu, jantung Alvedo sempat berhenti berdetak. Dadanya seperti kosong. Setelah beberapa saat, ia mengembuskan napas, menatap wajah si perawat, dan berkata pendek, “Ya.” Hanya itu.
Setelah pemakaman Leno, Alvedo dan istrinya kembali ke rumah. Rumah yang terasa begitu kosong, begitu hampa. Sebelumnya, buku-buku yang telah diangkut pergi Tuan Tankara. Kini giliran Leno yang diangkut pergi Tuhan. Setelahnya apa lagi? batin Alvedo sambil mengusap-usap rak dengan potongan selimut bekas anak semata wayangnya.[]
Bandung, September 2018-Januari 2019