Bagian Satu: Pilihan

“Aku butuh seseorang.” 

“Apakah aku bukan orang?” Ada yang hendak melonjak dalam dada dan akan tumpah sebagai makian, tapi kutelan.

“Hubungan jarak jauh ini tidak berhasil.” 

“Kita menjalaninya sejak lama dan tahu konsekuensi, itu mengapa kita sepakat melanjutkan.” 

“Ini pernikahan, Mina,” potongnya dengan nada yang mulai naik. 

Mengapa bukan dari sebelum pernikahan ini dimulai kau berpikir demikian? Bukankah kau yang lebih yakin bahwa jarak bukan apa-apa? Harusnya jarak lebih nyata untuk kupertimbangkan daripada perasaan. Sejak lama kami jarang bersama. Kau mempertahankan kekayaan, aku membangun kehidupan. Kami tak membicarakan siapa yang ikut ke mana. Hubungan ini berjalan entah bagaimana hingga kami yakin menikah. Setahun bersama, kami kembali berjarak, tuan tanah yang tak bisa berjauhan dari miliknya. Tak apa, kami terbiasa. Hingga, Niana hadir. Semuanya berjalan sebagaimana adanya. Kau datang sebulan sekali, sesekali dua-tiga kali. Kau mengirim uang lebih besar dari sebelumnya. Tapi ada sesuatu yang asing dan salah. Anak perempuan ini tumbuh tanpa kehadiran bapak. 

“Aku menyayangimu dan memikirkan Niana.”

Pendusta. Kau tak benar-benar memedulikan anakmu. Kau bahkan tak hadir saat gigi pertamanya tumbuh. Ke mana kau saat dia bisa berdiri? Apa kau yang mengantarnya pada hari pertama masuk SD? Jika benar-benar menyayangiku, kau akan selalu pulang padaku, bukan mengetuk pintu lain.  

“Maka dari itu, ikutlah.” 

Aku mengetahui yang kau kira bisa disembunyikan. Terlalu banyak burung yang bercuit di luar rumah ini tentangmu dan sebelum kau datang hari ini aku telah menghitung untung-rugi pilihan-pilihan yang tersedia. Jika aku tetap di sini, kehidupan yang sama akan bertahan—kecuali kau—dan kau akan tetap menikahinya. Jika aku ikut, Naina akan dekat dengan bapaknya, aku melepas pekerjaan, bergantung padamu, dan kau akan tetap menikahinya. Tiap pilihan memberikan kepastian kehilanganmu akan tetap ada di dalamnya. 

Keinginan bersama ini timpang dan bersyarat. Dan sebab syarat dari masing-masing tak bisa dipenuhi, aku menjanda atas pilihan sadar. Paham betul setelah melepas tanda tangan di surat perceraian, aku menutup segala kemungkinan tentangnya di masa depan. Meski ranjang bertahun-tahun tak dihangatkan dan rumah telah lama kau tinggalkan, di malam pertama status ini kudapatkan, aku tetap merasa linglung. Bagaimana menjelaskan ini pada Niana, bagaimana mengabarkan pada keluarga, bagaimana membuat listrik dan kompor tetap menyala, bagaimana aku akan hidup jika kau yang tadinya menjadi poros dan aku keluar dari garis edarmu.  

Pintu diketuk, kepala Niana menyembul dari celah pintu. Tak dibiarkan badannya berpindah masuk. Gadis itu tersenyum singkat, yang pasti entah mengapa kuyakini kalau senyum itu tak akan lagi sama di hari-hari ke depan, sebelum bertanya, “Bapak tidak menginap, Bu?” 

Bagian Dua: Pelajaran Bertahan Ibu

Kali itu menjadi terakhir aku melihat Bapak. Meski aku tetap menunggunya di gerbang depan setiap tanggal yang sama di pembuka bulan, Ibu tidak melarang atau berkomentar. Ibu tidak pernah memberi penjelasan. Meski ingin, aku tidak bernyali menanyai Ibu setelah siang itu Bapak hanya datang membawa kertas-kertas yang diapit di antara lengan dan badannya tanpa menginap. Begitu pergi pun, Bapak tidak menyelipkan uang saat aku menyalaminya. Aku tidak bisa menanyai Bapak, langkahku kalah saat mengejarnya. Dan sepertinya suaraku tidak sampai di telinganya. Maka tujuanku adalah Ibu. 

Tanpa menunggu setelah mengetuk dua kali aku membuka pintu. Ibu duduk di ranjang. Kelopak matanya menebal, hidungnya merah muda, bibirnya bergetar. Aku menarik kembali senyumku, urung masuk, tapi desakan bertanya tidak bisa kutahan.

“Bapak tidak menginap, Bu?” 

Ibu tidak menjawab. Dia memaksakan senyum dan membuka tangan menyambutku. Mungkin Ibulah yang justru ingin dipeluk hari itu. 

Ibu membiarkanku menyadari sendiri bahwa Bapak tidak akan datang lagi. Aku membangun penjelasan yang kemudian kurubuhkan lagi. Banyak hal yang berubah setelah ketidakhadiran Bapak. Tidak ada lagi tumpukan karung hasil kebunnya di halaman belakang, uang jajan tambahan yang diam-diam, Bapak yang menyerbu dengan pelukan erat, dan aroma kreteknya yang tegas. Mungkin karena terbiasa dengan kehadirannya yang terbatas, aku bisa dengan mudah menyesuaikan ketidakhadirannya yang paripurna kali ini. Tapi sulit untuk menyesuaikan Ibu. Ibu masih Ibu yang serupa, hanya lebih sulit menyoal uang. 

“Lain kali ya.” adalah jawaban lazim atas permintaanku yang tidak seharusnya. 

“Coba Ibu lihat mungkin masih bisa diperbaiki.” menjadi respons umum saat barangku rusak. 

“Jangan ke sana ya, main di rumah saja,” balas Ibu setiap kali aku ingin bermain ke tempat temanku.

Sayangnya, hidup harus berjalan seperti ini, seperti Ibu yang mengurusi segalanya sendiri, seperti aku yang dipaksa memahami tanpa penjelasan mumpuni.  

Hingga segalanya terjelaskan dengan sendirinya. Umurku 14 lebih sehari ketika Bapak datang suatu pagi. Tapi tidak sendiri. Ada anak perempuan lain yang tidak kukenali menempeli. Kutaksir usianya 4 atau 5 tahun. Pagi itu, aku berdoa agar anak perempuan dan ibunya merasakan hal yang sama. Pagi itu pula, untuk melanjutkan hidup, kunyatakan laki-laki itu telah mati, aku menguburnya tanpa pemakaman, tanpa ada kewajiban untuk kuziarahi.  

Meski bertahun kemudian aku sendiri yang menggali makamnya. Mau tak mau kubangkitkan untuk menikahkanku. Belasan tahun tidak bertemu membuatku hampir melupakan wajahnya. Bagaimana mungkin dia tetap baik-baik saja setelah mengabaikan anaknya sekian lama dan datang dengan sumringah.  

Ibu tetaplah ibu yang sulit untuk kupahami. Dia tetap bersedia menemaniku di pelaminan dengan Bapak, laki-laki yang kini menjadi orang asing bagi kami, dan membiarkan istri Bapak membaur di keramaian seolah menjadi bagian dari kami. Ibu tetaplah ibu yang tak pernah mau mengungkapkan isi kepalanya dengan kata-kata, bahkan ketika Bapak mencoba membuka pembicaraan selesai pesta. Ibu tetap diam meski dihajar habis-habisan oleh pandangan orang.  

Aku mulai bisa memahami Ibu ketika peran itu kulakoni. Aku menjaga diam, tidak peduli ketidaknyamanan yang harus kutelan. Seolah diam menjadi pelajaran utama menyoal bertahan yang Ibu ajarkan. Tapi aku tak bisa mengadopsi seluruh pelajaran bertahan Ibu, hanya bisa memodifikasinya. Merasakan hidup tanpa Bapak, aku tak ingin Kinara, putri semata wayangku, merasakan getir yang demikian. Maka hubungan yang tidak berjalan ini tidak ada artinya asal Kinara punya tempat yang di dalamnya ada manusia yang dia bisa panggil Ibu dan Bapak dengan riang. 

Seperti malam itu. Lepas adu bentak, setelah mengurung diri di kamar mandi, aku mendengar suara pintu depan yang dibuka dan ditutup. Terburu kuairi wajah, segera keluar. Tidak hanya pintu kamar mandi yang kututup rapat, lainnya juga aku rapatkan dalam diam.  

Aku melihat jam tangan dan hendak bertanya tetapi kalah cepat dengan Kinara yang menjelaskan, “Di kursusan ada teacher baru, aku keasikan ngobrol.” kemudian tersenyum dengan semua deret gigi depannya terlihat, meminta permakluman. Senyum itu yang membuatku bisa menyempurnakan modifikasi pelajaran bertahan Ibu. Aku membalas senyum Kinara dan menyambutnya dengan pelukan. 

“Ayo makan. Mama mau dengar soal teacher baru.” 

Kinara menahan langkahnya, mendorong pelan badanku menjauh, dan memandang lekat.  

“Mama oke?”  

Bagian Tiga: Bahasa Cinta

“Mama oke.” 

Aku mendengus panjang. Mama mengangkat badannya hendak duduk di ranjang tapi urung setelah menangkap ekspresi tidak setujuku. Ketika Mama merebahkan kembali kepalanya, aku turut naik ke ranjang, duduk di sampingnya, menghadapnya, dan mulai mengompresi tulang pipinya yang membiru.  

Umurku 14 tahun saat pertama kali kudapati pasangan idaman hanya citraan. Mama-Papa tidak pernah menjadi suami-istri yang bahagia, seperti yang selalu mereka tampilkan di depanku, di luar rumah ini. Malam itu, aku yang masih terjaga mendengar sayup suara dari lantai satu. Rasa penasaran membawaku menyaksikan mereka tengah baku tunjuk. Baru kali ini kulihat pertengkaran tapi meredam teriakan, beradu dalam bisikan. Mereka pasti sangat tersiksa. 

Aku tidak mendengar jelas apa yang disampaikan Papa hingga Mama berlutut, memegang tangan Papa, tapi diabaikan, ditinggalkan. Mama membekap mulutnya, pundaknya naik-turun. Kemudian berjalan cepat menuju kamar mandi. Lain malam aku menyaksikan tangan Papa mendarat di wajah Mama. Keduanya membeku seketika, hingga Papa cepat memeluk Mama yang kemudian sekeras usaha melepaskan diri. Dan tentu menuju kamar mandi, meninggalkan Papa yang mengempaskan tubuh ke sofa, mengistirahatkan kepalanya di kedua tangan dan sikunya bertumpu di paha. Sejak itu, setiap kali Mama berada di kamar mandi dengan suara keran air menyertai, aku memberikannya waktu. Hal lain bisa menunggu. 

Tidak peduli sehebat apa perang di malam hari, mereka menjadi orang tua harmonis di makan pagi. Aku percaya cinta yang mereka tumpahkan padaku sempurna, aku memahami bahasa cinta yang mereka pakai. Tapi tidak antarmereka sendiri. Apa mereka saling benci, apa tidak ada rasa lagi, apa perang juga bagian dari bahasa cinta yang belum dipatenkan? 

“Kamu sendiri?” Mama mungkin sedang berusaha mencairkan ekspresiku.  

“Aku minta Rio pulang,” kuperas handuk kecil yang tadi kurendam dan kembali menempelkannya di pipi Mama.  

Aku minta diantar pulang di tengah perbincangan serius ketika mendapat kabar tentang Mama. Perang kali ini tidak mereka sembunyikan hingga pekerja di rumah tidak bisa tidak mengabariku. Meski aku dekat dengan Mama-Papa, mereka tidak pernah bercerita padaku apa yang sebenarnya mereka lalui. Mereka menyakiti diri dengan siksa diam dan terus hidup dalam citraan pasangan harmonis. Aku pada akhirnya tak pernah mencari tahu. Sebab begitu mereka tahu aku telah melihat yang nyata di balik citraan mereka, tidak akan ada lagi pasangan yang dicemburui orang sekitar kami. Jadi kubiarkan mereka bermain dalam peran dan kubangan siksa yang mereka buat sendiri.

Hubunganku dengan Rio juga rumit. Aku tepatnya yang menganggapnya sulit. Setahun terakhir secara konsisten muncul kalimat, “Kalau kita nikah nanti…” diikuti dengan gambaran tertentu tentang sesuatu. Ini mendebarkanku. Bukan girang, melainkan takut. Kami tumbuh bersama sejak remaja, apa pun soal dia, aku tahu. Sebaliknya demikian. Tapi kecuali yang nyata dari orang tuaku. Hubungan yang panjang dengannya justru membuatku khawatir, kami benar-benar ingin bersama karena rasa atau terbiasa.

Beranjak dewasa, bahasa cinta membuatku kebingungan. Aku tahu cara mereka menyampaikan, aku menerima, tapi tidak benar-benar merasakan. Aku sering kali ragu, apa caraku mereka terima dan sungguh dirasakan. Tapi sisi kecil diriku menjadikan semuanya terasa palsu. Ada tapi serupa citraan semata. Dan aku yang dewasa berlelah-lelah menerjemahkan pada sisi kecil itu. 

“Papa tidak sengaja.” 

“Aku tahu semuanya, Ma.” 

Mama mengambil handuk dan mengompres sendiri memarnya. 

“Aku hanya tidak ingin mencampuri urusan kalian. Mama-Papa manusia dewasa. Sekarang aku juga. Apa pun keputusan kalian.” Kami terdiam lama hingga aku melanjutkan pernyataan yang aku sendiri tidak tahu kelanjutannya, “Rio melamarku.” 

Wajah Mama merekah. Aku salah.  

Papa masuk ke kamar dengan ekspresi yang tidak kukenali. Saling lihat. Dua manusia yang makin lelah dengan wajah yang dilihatnya.  

“Ayo bercerai,” kata Mama penuh keyakinan dan kelegaan. Mama yang masih sumringah melempar kata-kata yang membuat ekspresi Papa kembali bisa kukenali. Seolah itulah yang mereka nanti selama ini. Secara natural, aku mendapati diriku tersenyum, juga Papa, pun Mama. 

Ponselku bergetar. Muncul satu pesan. Rio. 

Mama Papa ok?  

Mereka terlalu lama menderita untuk aku tetap memiliki orang tua dalam satu rumah. Hingga mengabaikan bahwa mereka juga punya bahagia yang tidak harus dijalani di bawah atap yang sama. Satu pelajaran bertahan yang mereka berikan membuatku merasa penting dan takut di waktu yang bersamaan. Apa untuk memastikan seseorang merasa dicintai aku harus melakukan segala cara? Apa Rio dan aku akan begitu? 

Are you ok? 

Bagaimana aku akan menjawabnya? Jika kuiyakan, aku takut berakhir seperti orang tuaku. Jika kutolak, aku melepas dua hal dalam satu waktu.  

Aku ke sana ya. 

Iya. Bantu aku mengurai sesuatu.

Terkirim. 

*) Image by istockphoto.com