Mungkin lewat hujan, Tuhan mencoba menghibur duka kami. Di bawah rintik air hujan yang bercampur air mata, kami berdoa agar Dia berkenan menyembuhkan derita. Walau kami sering khawatir hujan deras akan membanjiri tempat pengungsian kami bahkan meresap hingga ke dalam tenda di musim dingin seperti ini, namun air itu juga akan tertampung di atas tenda kami yang terbuat dari terpal tipis dan kemudian bisa kami gunakan untuk keperluan sehari-hari.
Kami suka membuat teh dan mungkin rasanya lebih nikmat dari teh mana pun yang ada di dunia ini, setidaknya itulah yang kami yakini untuk menghibur hati.Kami harus mengungsi dan tinggal di tenda dengan kondisi serba kekurangan, bahkan setetes air hujan akan terasa sangat enak. Tidak ada air keran, mungkin untuk manusia di belahan bumi yang lain ini akan terdengar berlebihan karena untuk mendapatkan air dalam botol kemasan harus kami dapatkan dengan mengorbankan nyawa.
Hari ini, untuk kesekian kalinya, ribuan selebaran yang dijatuhkan dari pesawat tempur penjajah, melayang-layang di udara hingga akhirnya menyentuh tanah. Beberapa orang memungutnya untuk kemudian diinjak setelah tahu apa yang tertulis di sana. Sebagian orang ada yang tidak membacanya sama sekali, mungkin karena sudah tahu apa yang diumumkan. Sedangkan aku ada di golongan berikutnya yang mengumpulkan kertas-kertas itu sebanyak yang bisa aku bawa. Jangan pikir aku tertarik dengan tulisan yang ada di kertas itu. Aku membutuhkannya hanya untuk dijadikan sebagai pengganti kayu bakar.
“Tempat yang aman? Sudah berapa kali mereka membohongi kita?”
“Aku mengungsi dari Utara dan sekarang sudah sampai ke Khan Younis. Dari Selatan ini, mau ke mana lagi kita?”
Beberapa keluhan orang-orang dewasa di sekitarku cukup mewakili perasaan kami semua. Benar. Kalau aku ingat, tiga ratus hari belakangan ini sudah tujuh kali aku dan keluargaku mengungsi, tepatnya hanya ayah dan aku, karena ibu, kakak, dan dua adikku masih berada di rumah kami di Utara, tertimbun di bawah reruntuhan tanpa bisa kami evakuasi.
“Apakah truk bantuan akan masuk hari ini?”
Sebenarnya aku penasaran dengan pembicaraan truk bantuan itu, tapi lebih baik aku tidak terlalu berharap. Karena terakhir kali menunggu truk di tepi pantai, ayahku terkena tembakan dari senapan penjajah yang tepat melukai kakinya.
Sudah banyak kertas yang aku kumpulkan, mungkin cukup untuk menghangatkan badan kami untuk beberapa saat sebelum aku bisa menemukan potongan kayu seperti biasanya.
“Saeed! Aku mencarimu dari tadi.”
Seorang anak laki-laki yang usianya setahun lebih tua dariku datang dengan membawa sebotol air minum. Senyum di wajahnya terukir dengan jelas, begitulah bahagianya kami ketika bisa mendapatkan air atau makanan.
“Di mana kau mendapatkan ini Hamza?”
“Ada truk yang baru masuk, beberapa orang naik ke atasnya dan membagi-bagikan minuman ini sambil kami mengikuti truk yang tetap berjalan.”
Aku bisa membayangkan betapa riuhnya saat pembagian minuman dengan cara seperti itu, kami tidak menyalahkan supir truk yang membawa bantuan dengan kesan tergesa- gesa karena memang begitulah keadaannya. Mereka juga diburu waktu dan diburu maut. Jika truk bantuan berhenti dalam waktu lama maka pasukan penjajah akan menargetkan mereka dengan senjatanya.
Hamza memberi sebotol air minum itu kepadaku, aku sempat terdiam tapi dia tetap menyodorkan botol itu sampai aku mengambilnya.
“Untukmu dan ayahmu.”
“Kenapa? Bukankah kau juga harus minum air ini?”
“Sebotol lagi sudah aku titipkan dengan adikku di tenda kami. Aku tahu kau masih belum melupakan kejadian waktu itu.”
Mataku terasa sedikit memanas. Perih. Mungkin karena debu yang beterbangan mengenai mataku. Lalu aku memberi kertas yang aku kumpulkan tadi kepada Hamza, namun dia menolaknya.
“Aku bisa mengumpulkannya lagi.”
“Tidak perlu, aku juga sudah mengumpulkannya.”
Kemudian kami tertawa, saking banyaknya kertas itu ditumpahkan dari atas pesawat penjajah, hingga kami semua bisa mengumpulkannya, lebih mudah dari kami mendapatkan sebotol air minum.
Aku kembali ke tenda di mana ayah sudah menunggu di sana. Aku berjanji hanya pergi sebentar untuk mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk kehidupan kami dalam pengungsian ini. Di samping tenda kecil itu ayah dengan langkahnya yang diseret karena kakinya masih terluka memperbaiki atap tenda kami yang semalam terkena angin saat hujan dengan deras mengguyur.
“Terberkatilah air hujan ini, Saeed.” Ayah menyambutku sambil memperlihatkan hasil tampungan air hujan dari atap tenda kami di dalam sebuah wadah alumunium.
“Dan terberkatilah sebotol air pemberian Hamza ini, Ayah.” Aku mengacungkan sebotol air minum tadi.
“Berikan air botol itu pada ibu di tenda sebelah yang merawat bayinya, cukuplah untuk kita air hujan ini.”
Tanpa banyak bertanya, aku melangkah mengikuti permintaan ayahku. Walaupun sudah lama rasanya aku belum meminum air mineral dari botol seperti ini, tapi di tenda tetangga kami ada seorang bayi berusia tiga bulan yang sering menangis kelaparan. Semoga sebotol air minum ini bisa membantu ibu dan bayi itu.
“Aku tidak tahu harus berterima kasih dengan apa, tapi semoga kebaikan selalu menyertaimu dan ayahmu.” Begitulah ibu itu menerima sebotol air minum yang sangat berarti untuk siapa pun di sini.
Sore harinya, momen yang paling aku tunggu adalah saat ayah bersiap-siap merebus air hujan yang tertampung tadi, aku duduk di depan tungku kecil setelah memasukkan banyak kertas dan juga sedikit ranting pohon yang aku kumpulkan hari ini. Saat teko sudah pada posisinya di atas api yang tidak terlalu besar namun cukup untuk mendidihkan air, ayah menyiapkan gelas kaca kecil untuk kami.
“Coba lihat gula dari kantong sembako itu Saeed, semoga cukup untuk teh kita sore ini.”
Plastik sembako yang beberapa pekan lalu dibagi-bagikan relawan tersimpan di dalam tenda kami. Tulisan yang menempel pada plastiknya masih ada, di sana bendera merah putih tercetak dan tulisan dalam bahasa yang tidak aku mengerti tapi kata ayahku bantuan ini dari saudara-saudara kami yang jauh di Timur sana, namun selalu setia dengan perjuangan kami. Hadiah ini dari masyarakat Indonesia yang di antarkan lewat kembaga kemanusiaan yang mendampingi kami di sini.
“Kalau segini cukup atau tidak, Ayah?”
Gula itu kurang dari seperempat kilo, sebenarnya cukup jika teh yang sedang dibuat ayah hanya untuk kami berdua. Tapi, setiap kali membuat teh,ayah selalu membuat porsi untuk banyak orang dengan air hampir memenuhi teko itu.
“Hari ini cukup bagikan ke tenda para paman jurnalis, mereka sudah cukup lelah meliput berita hari ini. Kau sudah dengar berita tentang Abu Ali?”
Paman jurnalis yang dimaksud ayah itu pingsan saat sedang melaporkan liputan berita penargetan sebuah rumah, ternyata paman itu belum makan berhari-hari. Bagiku para jurnalis itu pahlawan kami, mereka dengan gagah berani mengabarkan pada dunia luar tentang kondisi kami setiap harinya walaupun banyak ancaman dari penjajah baik di lapangan atau lewat pesan yang mereka terima.
Teh sudah siap, teh spesial dari air hujan yang belum tentu akan ditemukan di tempat lain, begitulah kata ayah, membujukku saat pertama aku menolak untuk minum air hujan yang direbus itu. Aku masih anak-anak, bahkan usiaku belum genap sepuluh tahun tapi rasanya hidup di situasi seperti ini membuatku harus lebih banyak berlapang dada, termasuk saat aku menolak untuk mengungsi karena masih ada keluargaku yang tertimbun di bawah reruntuhan rumah kami.
“Saeed, adakah yang membebankan hatimu sampai saat ini?” Tanya ayah di sela menikmati tehnya yang masih mengepulkan uap panas.
“Aku hanya ingin pulang ke rumah kita di Utara.”
Ayah diam saja mendengar jawabanku, setelah tehku habis tak tersisa dan tubuhku terasa lebih hangat, ayah memintaku membawa teko berisi teh dan beberapa gelas kertas ke tenda seberang tempat para jurnalis berkumpul. Baru selangkah, aku membalikkan badan, kembali menghadap ayah yang masih memegang gelas tehnya.
“Adakah yang membebankan hati ayah saat ini?” Tanyaku dan membuat ayah tersenyum.
“Tidak ada yang membebaniku lebih dari harus melihatmu bersedih mengingat ibu dan saudaramu. Ikhlaskanlah mereka. Inna lillahi wa innailaihi roji’un.”
Tanganku menggenggam pegangan teko lebih erat, kembali aku melangkah meninggalkan tenda kami untuk menemui orang-orang di dalam tenda yang tidak lebih jauh dari mata memandang, tempat para penyiar kabar sedang beristirahat.
“Saeed, kau membawa teh untuk kami?” Mereka selalu menyambutku dengan hangat,selalu memakai rompi biru bertuliskan ‘Press’di dada mereka. Katanya, seragam itu untuk melindungi dari tembakan senjata penjajah. Namun tetap saja sudah banyak jurnalis yang gugur.
“Di mana Abu Ali?”
“Kau juga mengkhawatirkannya? Dia sedang di klinik untuk diberi perawatan.”
Aku menuang teh dari teko itu pada setiap gelas kertas yang bertumpuk di tanganku, lalu satu per satu aku datangi para jurnalis yang tidak bisa menyembunyikan betapa lelahnya mereka menjalankan tugasnya hari ini. Namun mereka tetap bertahan untuk selalu meliput berita setiap waktu.
Booom! Duaaar!
Suara ledakan rudal yang sudah sangat familiar kami dengar selama hampir setahun belakangan muncul. Namun kali ini sangat dekat sampai terasa guncangan yang hebat dan telingaku berdengung cukup lama. Orang-orang berlari keluar dari tenda ini. Aku menyusul tidak lama setelah berani membuka mata dan pendengaranku kembali normal.
Tepat di seberang sana, lokasi tenda pengungsianku rata bahkan masuk ke dalam tanah yang membentuk kawah. Beberapa tenda terbakar dan teriakan-teriakan terdengar di mana-mana. Aku berlari, hendak menuju tempat di mana tenda kami, namun seorang paman jurnalis menahanku.
“Ayahku! Ayahku masih di dalam tenda! Ayahku masih meminum tehnya.”
“Sabarlah Saeed, sabarlah. Kita harus menunggu api itu hingga bisa kita tembus.”
“Bagaimana dengan ayahku? Dia ada di dalam api itu.”
Malam itu aku tidak mampu mengingat kejadian setelahnya karena aku tidak sadarkan diri. Kata orang-orang aku menangis sambil meronta-ronta agar dilepaskan menuju lokasi tenda-tenda pengungsian yang menjadi target serangan udara penjajah. Saat aku terbangun, tim medis berhasil mengumpulkan potongan tubuh ayah yang kemudian dimakamkan secara serderhana di daerah lahan yang masih tersedia untuk memakamkan para korban malam itu, termasuk ibu dan bayi tetangga tenda kami.
Hamza datang menjengukku, lalu dia mengajakku tinggal bersamanya dan keluarganya di sebuah sekolah yang dijadikan tempat pengungsian. Aku memutuskan untuk ikut bersamanya karena tidak ada satu pun anggota keluargaku yang tersisa. Kata ayah sore itu, aku harus ikhlas, semua akan kembali pada tempat yang abadi, tempat di mana tidak akan kami rasakan lagi semua derita ini.
Aku tidak mengerti, begitu mudahnya mereka menjatuhkan bom sebesar itu di tanah kelahiran yang kami perjuangkan ini. Tidakkah mereka melihat ada begitu banyak nyawa di dalam tenda-tenda pengungsian? Ayahku, anak bayi dan ibunya itu, tidak ada harganya nyawa mereka di mata pasukan penjajah.
“Ini pengungsianku yang kedelapan.” Kataku pada Hamza saat perjalanan menuju sekolah, tempat tinggalku yang baru.
“Semoga tidak ada yang kesembilan.” Jawab Hamza dan benar itulah harapan kami.
Berapa kali lagi kami harus mengungsi? Berapa orang lagi yang akan hilang dari hidup kami? Berapa lama lagi kami harus merasakan semua penderitaan ini? Berapa tetes air hujan lagi yang harus kami tampung? Tenang pertanyaan itu tidak ditunjukkan untukmu, aku hanya sering bertanya-tanya pada diri sendiri sambil sesekali menatap langit kami yang diawasi roket-roket penjajah. Percayalah, aku tidak takut dengan pengintai itu karena tatapanku tertuju pada langit yang jauh lebih tinggi, tempat di mana mungkin orang-orang yang aku cintai sudah menikmati minuman tanpa harus menampung air hujan.
*) Image by istockphoto.com
Such a warm story. Tetaplah jadi pahlawan yang terus mengabarkan berita mereka untuk kami yang belum mampu, My Dearest Friend 🫶🏻
Makasih my editor-nim 🫶🏻
Sederhana tapi menyentuh. Keren bgt kakaaa, terus menulis ya kaaa!