Presiden Rumah Dunia Abdul Salam HS tahun 2018-2024 (sebelah kiri) telah berpulang pada akhir Desember 2024 di usianya yang masih begitu muda. Ini adalah sekelumit kisah perjumpaan saya dengannya.
Salam
Sudah cukup lama saya mengenal Abdul Salam HS yang biasa kami di Rumah Dunia memanggilnya Salam. Saya ingat, perjumpaan pertama saya adalah ketika Rahmat Heldy HS, kakak kandung Salam, menitipkan Salam untuk belajar menulis di Rumah Dunia dan menjadi relawan di sana. Kebetulan, saat itu saya sudah menjadi relawan Rumah Dunia.
Saat itu, Salam masih sekolah, sementara saya sedang kuliah. Meski masih pelajar, namun Salam sangat tertarik pada puisi. Kelak, puisi akan menjadi “jalan ninja”-nya.
Setelah pertemuan itu, tidak ada yang terkenang dalam ingatan saya tentang Salam. Sebab tak lama setelah itu saya memutuskan fokus bekerja dan meninggalkan status sebagai relawan Rumah Dunia yang tinggal menetap di sana. Sejak itu saya jarang berinteraksi dengan Salam.
Yang saya tahu kemudian Salam begitu setia pada jalur puisi hingga akhirnya orang-orang mengenal dan mengakui kepenyairannya.
Akhirnya, Salam pun banyak diundang oleh sekolah dan instansi pemerintah untuk menyampaikan materi tentang puisi atau menjadi juri lomba baca puisi.
Begitulah sekilas perjalanan saya mengenal Salam.
Kopi
Kesukaan saya pada kopi membuka kembali jalan pertemuan saya dengan Salam. Salam yang mengelola café Rendez-vous, sebuah kafe di Rumah Dunia, cukup sering nyolek saya untuk datang dan ngopi di sana.
Karena ajakan itu, beberapa kali memang saya sempatkan untuk mampir dan ngopi di sana.
Yang membuat kangen untuk datang ke cafe Rendez-vous bukan hanya kopi yang dijual Salam, melainkan juga diskusi kecil dengannya. Banyak hal yang kami diskusikan mulai dari tentang persoalan sosial hingga soal film tentang Banten (tentang ini nanti akan dibahas dalam tulisan berikutnya).
Momen seperti itulah yang saat ini tidak akan bisa saya dapatkan lagi setelah Salam berpulang. Ah, terlalu cepat kau pergi, Lam.
Esai
Selain diskusi kecil tentang banyak hal, yang juga kerap dibahas Salam dengan saya adalah soal esai. Salam tahu sewaktu masih kuliah saya suka menulis esai. Banyak tema esai yang pernah saya buat yang kemudian saya upload ke Facebook, mulai dari tema pendidikan, kemiskinan, hingga agama.
Saat kuliah, entah bagaimana, begitu mudah esai saya buat. Namun setelah bekerja dan berumah tangga saya lebih banyak disibukkan menulis berita. Esai seolah-olah lenyap dari kehidupan saya.
Saat bertemu dan diskusi kecil di Rendez-vous itulah Salam selalu memotivasi saya untuk kembali menulis esai. Dia bilang ingin membaca lagi esai yang saya buat.
“Nulis esai lagi, Kang Tohir,” pinta Salam saat itu.
Beberapa kali Salam mengatakannya.
Saya meresponsnya hanya dengan senyum, meski diam-diam dalam hati saya merasa tergugah juga untuk kembali menulis esai.
Beberapa pertemuan dengan Salam, diskusi dan ngopi bareng dengannya di Rendez-vous nyatanya belum juga mampu menggerakkan jari-jemari saya untuk menulis esai seperti yang diharapkan Salam.
Sampai akhirnya Salam berpulang dan esai ini sudah tak mungkin akan dibaca olehnya. ***
Kota Serang, 6 Januari 2025