Nabila Nurkhalishah Harris, mahasiswi ilmu komunikasi Sun Yat-sen University, Guangzhou, Cina itu bercerita banyak hal tentang beragam perbedaan yang ditemuinya di negeri tempatnya menimba ilmu. Perbedaan budaya dalam keseharian teman-teman di lingkungannya, membuat putri pertama pasangan Gol A Gong dan Tias Tatanka itu mengaku sempat mengalami culture shock.
Ditemui kurungbuka.com di Rumah Dunia, Minggu (3/2), perempuan yang akrab disapa Bela itu baru menerbitkan novel berjudul, Rinjani (Pastel Books, 2019). Saat diminta bercerita tentang kehidupan perkuliahannya di Cina, Bela tampak malu-malu. Namun berkat rayuan maut dan pesona sang wartawan yang kagak nahan, perempuan kelahiran 6 Februari 1998 itu pun bersedia ngoceh sambil sesekali menerima tamu undangan acara launching bukunya. “Ya, waktu awal-awal, sih, sempat kaget dengan perilaku teman-teman dari negera lain di sana (Cina-red),” katanya.
Dijelaskan Bela, saat ini ia menginjak perkuliahan semester dua. Satu tahun setengah menjadi mahasiswi muslim minoritas di kampusnya, tentu bukan waktu yang singkat bagi Bela untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Pengalaman serta pelajaran berharga banyak didapatnya. Terlebih, Bela mengaku jika dari sekian ratus pelajar di kelasnya, hanya ada dua mahasiswi yang mengenakan kerudung termasuk dirinya.
Bela pun bercerita, suatu hari, saat pelajaran Anthropologi yang berisi ratusan mahasiswa dalam satu kelas di Guangzhou, sang dosen bertanya, jika lelaki dengan lelaki menikah bagaimana? Lalu sebagian besar mahasiswa di kelas itu menjawab serentak dan tegas mengatakan jika hal itu tidak apa-apa. Sebagai seorang muslimah, tentu Bela tersentak dengan jawaban mereka. Sang dosen bertanya lagi untuk kedua kalinya, kalau wanita dengan wanita? Mereka pun menjawab, tidak apa-apa lagi. Bela semakin bergidik ketika sebagian besar teman di kelasnya mengatakan jika tidak menikah pun hal itu dianggap sah-sah saja.
“Parahnya, pas aku tanya sama teman muslim yang menjalin hubungan pacaran terkait berpegangan tangan dan ciuman, mereka menjawab hal itu sudah biasa,” akunya.
Kejadian itu membuat Bela sadar jika di Guangzhou dan Indonesia memiliki norma yang berbeda. Terkait hal itu, Bela memiliki cara tersendiri agar perbedaan norma di tempatnya menuntut ilmu tidak sampai mempengaruhi sikap dan diri pribadinya sebagai wanita muslim Indonesia. Katanya, Bela mendapat nasihat dari guru dan para ustadz di Indonesia agar selalu menjalin komunikasi dan keterbukaan kepada orangtua. “Selama masih sering komunikasi sama mama dan papa, Insya Allah Bela bakal tetap kuat memegang amanah dan kepercayaan orang-orang tersayang, terutama keluarga,” ungkap wanita berkacamata itu.
Bela betul-betul bisa memanfaatkan waktunya dengan baik. Di sela-sela kesibukannya kuliah, ia juga menjadi relawan di sebuah masjid di Cina. Ia mengajarkan hal-hal sederhana seperti belajar bahasa inggris, doa-doa harian, membaca Alquran dan ilmu agama kepada anak-anak muslim di sana.
“Jiwa kerelawanan ini aku dapat dari Rumah Dunia, secara tidak langsung papa dan mama yang mengajari aku untuk berbagi apa yang aku miliki. Meski pada kenyataannya, aku yang banyak belajar dari anak-anak di sana. Ya, sambil pelan-pelan melancarkan berbicara dalam bahasa Cina saja,” tutur Bela dengan bahagia. “Oh, iya, cerita soal kerelawanan aku ini juga sudah kutulis dalam novel Rinjani, jadi buat yang penasaran, bisa segera dapatin bukunya,” tawa Bela yang malu-malu mempromosikan novelnya yang ia tulis kurang-lebih satu tahun itu. Wawancara terpaksa berhenti di sana karena Bela mesti segera naik panggung untuk acara launching buku terbarunya. (Rhu/red)