OBITUARI SETENGAH JADI
sunyi itu berulang
memanggilmu,
ibu yang jauh
ibu yang luruh
dalam sedu-sedan seluruh
seseorang datang
diantar hujan dinihari
menuang kisah
secawan obituari
sebelum berpagut matahari
menguak duri-duri
di lanskap khayali
ia bertanya
perihal asmara
yang mengirim badai
searah doa
aku pun menjawab sekadarnya
cinta adalah bangkai
sengaja kau tanam
pada berhektar-hektar
kesunyianku.
banjarbaru, 041325
***
SEMESTA KUNDANG
sungai masa kecilnya sering datang ke dalam mimpi
meminta ia kembali sebagai kenangan yang bercerita
berayun-ayun antara dongeng dan kenyataan
“tapi, aku bukan Malin si pengembara, yang lama hilang
sekaligus terbuang dari tanah kelahiran,
aku hanya penuntun kata, kerap dirajam hujan
dari setiap puisi yang meminta pelukan”
sungai masa kecil tak peduli,
menculik sebagian dari dirinya
lalu membawa ke alam antah-berantah,
di sana ia bermandi khayalan
bayang ibu yang terhempas dari lingkar zaman,
dipanggilnya ibu, tapi ibu memilih gagu,
menutup rindu, tenggelam ke jantung masa silam
(ia merasa dipermainkan ilusi)
mencoba memanggil hujan, yang kerap datang minta pelukan,
tapi hujan sudah tak ada, barangkali terhapus dari cinta
atau diculik kemarau dalam lagu-lagu penuh bencana
sungai masa kecil
membawanya jauh ke lubuk dalam
tempat semayam kampung halaman,
segala ingatan yang pernah ada
membisik ke semesta igauannya,
“kau masih disini, Malin,
bersama kutukan yang tak bernama
bersama segenap rajam yang akan terus berulang,
bangkai-bangkai batu, sekaligus serapah ibu
menguburmu jauh di kedalaman tak berbayang”
banjarbaru, 130224/080525
*) Image by istockphoto.com