“Ada yang bisa dibantu?” Pegawai Pengadilan menyambut Ristio di pintu masuk.

“Lapor kehadiran sidang hari ini,” jawabnya tegas, percaya diri khas Pengacara muda. Kemeja batik cokelat cerah melekat di tubuhnya. Map kancing biru tembus pandang di tangan kanan menaikkan wibawanya. Siapa pun yang melihatnya, jelas yakin bahwa dia pengacara yang siap berlaga di ruang sidang.

“Perkara nomor berapa, Pak?”

“Nomor tujuh, saya pengacara penggugat.”

Pegawai tadi mengabari Ristio bahwa salah satu pihak tergugat belum hadir. Artinya, Ristio akan mengenyam lebih banyak waktu untuk menanti hingga semua pihak lengkap. Di kepalanya telah otomatis menyasar tempat tujuannya untuk menunggu. Area merokok.

Area ini berupa ruang semi terbuka, serupa joglo dengan bangku berbahan besi panjang tertancap mengelilingi ruangan, beratap galvalum, di tengah-tengahnya berdiri empat tempat sampah alumunium yang bagian atasnya berguna sebagai asbak rokok. Letaknya terpisah dengan ruang tunggu utama, membuat para perokok leluasa mengepulkan asap tembakaunya. Sepoi angin datang dari segala penjuru, menambah nikmat bibir-bibir yang menyesap batang rokoknya sembari berharap nomor perkaranya dipanggil masuk bersidang.

Beberapa orang termasuk Ristio duduk dan mengisap rokoknya. Asap mengapung di ruangan, Ristio termasuk penyumbangnya. Tiap embusan seolah berkisah betapa penat di kepala dan lelah di lehernya tandas usai semalaman otaknya dipaksa lembur demi kelancaran sidang hari ini. Kantuk masih menggerayangi matanya, sebab baru dini hari tadi ia tuntaskan daftar pertanyaan untuk saksi yang akan dihadirkan.

Agenda Pembuktian Saksi begitu vital dalam persidangan. Tidak hanya kecerdasan, namun konsentrasi dan tangguh mental dibutuhkan pengacara untuk membela kliennya. Maka Ristio total menyiapkan segala hal untuk hari ini. Terlebih, Pengacara pihak Tergugat adalah Ramlan, orang yang mendongkolkan baginya. Ristio takkan sudi membiarkan Ramlan menang darinya bagaimanapun itu.

“Kau sudah datang.”

Ristio menengok, di sampingnya berdiri lelaki berkemeja merah marun garis-garis. Ujung bajunya dimasukkan rapi ke celana kain hitam mengilap. Ikat pinggang lebar berkepala warna perak melengkapi balutan busananya.

Wajah lelaki ini terlihat tegas memesona dengan kulit bersih dan senantiasa cerah, bahkan ia seolah tak pernah membiarkan kumis dan janggutnya tumbuh sedikit pun agar selalu tampak muda. Pesonanya tak berarti di mata Ristio. Wajah tersebut justru membuatnya ingin mengepalkan tangan dan menerbangkan tinju.

“Oh, kau, Ramlan.” Ristio mengisap rokoknya yang sudah pendek, mengembuskan asapnya santai. “Panjang umur, kau.” Ristio menekan rokoknya ke asbak tempat sampah di depannya.

“Panjang umur? Kau bicarakan aku dengan siapa?” Ramlan setengah tertawa, pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Memang sekarang hanya ada mereka berdua di sana.

“Diriku sendiri.”

“Hah? Kau memikirkanku? Jangan guguplah sama aku!” Kali ini Ramlan tertawa lepas. Ristio tersenyum tipis, tidak ada hasrat Ristio mengobrol dengan Ramlan. Ini tak ada hubungannya dengan persoalan bahwa Ramlan adalah lawannya pada perkara ini, namun hal yang lebih dalam dan melukai hatinya.

***

Dulunya, Ristio dan Ramlan adalah sobat karib. Bermula dari teman semasa kuliah, keakraban terbangun begitu saja. Selain sesama perantau, mereka satu frekuensi dalam obrolan, selera humor, berpetualang, nongkrong di warung kopi hingga pagi hingga bergabung di organisasi kampus yang sama. Kekompakan itu terjaga hingga ujung masa pendidikan mereka.

“Ayo, sedikit lagi! Masa depan untuk orang yang punya cita-cita macam kita!” Begitu lecutan Ristio kepada Ramlan yang saat itu tinggal menyelesaikan tugas akhir kuliahnya.

Mereka menyudahi perkuliahan usai wisuda di waktu yang sama, sebuah foto di depan gedung wisuda merekam abadi senyum lebar mereka menggunakan toga sambil saling merangkul pundak. Petualangan baru menunggu mereka, meski harus diawali perpisahan yang berat.

“Setelah kita magang di kampung halaman masing-masing, himpun ilmu sebanyak-banyaknya, kita balik ke kota ini! Buka kantor berdua dan guncangkan dunia sebagai duet pengacara paling berbahaya yang pernah ada!” Seru Ramlan berkobar di depan pintu keberangkatan bandara, sebelum melepaskan Ristio yang akan pulang ke kota asalnya. Ristio tertawa, menepuk pundak Ramlan. Tanda setuju dengan isyarat yang hanya dipahami mereka.

“Sampai jumpa dua tahun lagi!” Teriakan perpisahan Ristio dengan lambaian tangan menutup jilid awal kisah mereka di tanah rantau. Kisah yang ditutup dengan mimpi lumrahnya berakhir bahagia layaknya kisah inspiratif orang-orang sukses.

Namun tidak dengan kedua pemuda ini. Mereka memang kembali ke kota perantauan ini usai dua tahun menempa pengalaman di kampung halaman masing-masing dan memulai mimpinya membuat kantor berdua, menjadi duet pengacara muda dengan energi dan kecerdasan mumpuni. Tandem terandal bagi klien-kliennya.

Perlahan Ristio menyadari perubahan yang sesungguhnya tidak pernah ia harapkan ada pada Ramlan. Ramlan terlalu silau dengan uang. Orientasi bekerjanya hanyalah uang, bahkan jika perlu menempuh jalur kotor untuk menghasilkan uang yang jauh berlimpah, Ramlan tanpa ragu melahap jalan tersebut dengan segala risikonya. Ristio tak bisa menerima itu. Tidak pernah bisa.

Keduanya kerap berdebat karena ulah mengesalkan Ramlan yang tak segan mengerjai kliennya sendiri agar mendapat uang tambahan. Itu dilakukannya tanpa sepengetahuan Ristio. Ia tidak tahan, bagi Risto ini bentuk pengkhianatan kepada dirinya, kepada kepercayaan klien-klien mereka, dan kepada mimpi-mimpi mereka sendiri.

Ristio memberontak. Adu emosi menjadi akhir paling buruk bagi persahabatan panjang mereka. Pada akhirnya, Ristio memutuskan keluar dan bergabung dengan kantor pengacara lain.

***

Takdir selalu membingungkan dengan teka-tekinya. Kedua sohib ini dipertemukan kembali dalam satu perkara. Pada dasarnya, tidak peduli sebagai kawan maupun lawan, setiap pengacara hanya akan bertarung di ruang persidangan membela klien masing-masing, namun di luar mereka tetaplah rekan sejawat yang masih bercanda akrab dalam satu meja. Sayangnya bagi Ristio dan Ramlan perasaan keakraban itu telah jauh terkikis, hanya menyisakan kompetisi dan kedongkolan.

“Ris, aku masih menawarimu kerja sama untuk perkara ini mumpung belum sampai putusan. Kalau kau mau, kita untung besar!” Ramlan sudah duduk di sebelah Ristio. Raut wajah Ristio datar, dengan rokok yang masih lekat di bibirnya.

“Sudahlah, Ramlan, aku tahu kau bagaimana. Kau juga jangan pura-pura lupa aku bagaimana.” Ristio mengambil sebatang rokok baru dari kotaknya, lalu menyalakannya. Ramlan menanggapi jawaban Ristio dengan senyum tipis. Kemudian hanya tersisa hening antara mereka.

Sebenarnya pada jalannya perkara ini, posisi Ristio di atas angin. Dirinya cermat dan teliti, kemampuannya berstrategi di persidangan selayak komandan di medan perang. Terukur dengan rencana berlapis. Justru Ramlan yang mulai kehabisan akal. Terlebih bagi Ramlan, menang-kalahnya ia pada perkara ini adalah persoalan harga diri dan tentu saja nominal uang yang besar.

Ristio beranjak dari duduknya, rokoknya yang masih panjang dan masih menyala diletakkan di bibir asbak, kemudian melangkah ke toilet tanpa sedikit pun menengok kepada Ramlan. Ristio membuang isi kantung kemihnya dengan lesu dan geram. Kemudian menuju wastafel dan mencuci mukanya, menyegarkan mata yang layu sekaligus membersihkan matanya yang jemu melihat wajah Ramlan.

Tak lupa telinganya diseka dengan air, hendak mengorek sebersih-bersihnya suara Ramlan yang terlalu menjijikkan untuk hinggap di pendengarannya.

Merasa matanya sudah cukup terang, Ristio mengeset raut wajah untuk terlihat netral, tidak tersenyum namun juga tidak menunjukkan kemuakan jika bertemu lagi dengan Ramlan. Ia pun melenggang kembali ke area merokok.

Sudah tak ada seorang pun di sana, Ristio hanya mendapati batang rokoknya yang memendek karena dibiarkan menyala saat ke toilet. Ia lalu duduk dan melanjutkan sisa-sisa nikmat rokoknya.

“Jangan terlalu banyak merokok, Nak, slogan merokok membunuhmu bisa saja bukan imbauan biasa.” Suara berat sedikit parau membuat Ristio refleks menoleh. Seorang lelaki menghampirinya, mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak warna abu-abu bersanding dengan celana jins biru pudar yang tampak lusuh. Senyum lebar dari wajah bentuk jambu air dengan garis-garis keriput bagai mengukir usianya, mungkin empat puluh tahunan, Ristio tak mengenal orang yang tiba-tiba menasehatinya tanpa basa-basi itu, namun ia paham bersikap sopan, maka dibalaslah senyum lelaki itu.

“Iya, Pak.”

“Paru-parumu mungkin merasa akrab dengan rokok, tapi jangan biarkan dirimu lengah, terlalu percaya pada sesuatu yang kautahu membahayakan siapa pun.” Ristio menyimak saja, sebagai pengacara, ia telah mahfum cara menghadapi karakter lawan bicara.

“Saya juga dulu terlalu percaya dengan orang lain.” Lelaki itu tak berhenti bicara. “Andai dulu tidak terpengaruh pengacara kolot itu, saya bisa hidup tenang!” Ia mendadak emosi. Ristio sedikit tertarik menyimak. “Saya ingat, perkara nomor tujuh.” Kali ini Ristio terhenyak. “Seperti nomor perkaramu,” Keterkejutan Ristio bertambah.

“Perdata, Pak?” Ristio dikalahkan rasa penasarannya.

“Ya, perbuatan melawan hukum. Teman baik saya melakukan perjanjian pengikatan jual beli dengan seseorang yang ingin membeli tanahnya. Pembeli busuk itu baru membayar tanda jadi dan menggantungkan prosesnya bertahun lamanya tanpa kabar lanjutan.”

“Perjanjiannya notaris?” Ristio menyela.

“Bukan, bawah tangan. Teman saya mencari pembeli itu, mencoba menelepon, mendatangi alamatnya, tapi Pembeli itu benar-benar hilang, tak ada kabar atas pembelian tanah teman saya tersebut. Teman saya menganggap si pembeli tidak jadi beli dan tanda jadi otomatis hangus. Teman saya butuh uang hasil penjualan tanahnya itu. Akhirnya dia jual tanahnya kepada orang lain,” lirihnya.

“Saya tebak, si pembeli yang hilang itu menggugat temannya bapak?”

“Betul. Teman saya kalah. Karena saya.”

“Bagaimana bisa?”

“Pengacara teman saya meminta saya menjadi saksi. Saya diminta memberi kesaksian yang malah menguntungkan lawan. Dia main dua kaki! Terus terang, saya tidak paham apa pun, hanya menuruti arahannya sebelum memberi kesaksian.”

Jemari Ristio mengepal geram dengan tingkah sejawat macam itu. Mencoreng label profesi terhormat yang disandang.

“Apa tidak banding pakai pengacara lain? Bukannya yang profesional banyak?”

“Saya tidak sempat tahu lanjutannya. Karena teman saya sudah marah, menyalahkan saya, dan…” tubuh lelaki itu bergetar. “Saya dibunuh oleh suruhan teman baik saya itu!”

Ristio tercekat, “Ma-maksudnya?”

Mendadak lelaki itu membuka kancing-kancing kemejanya, menunjukkan luka-luka mengerikan di tubuhnya. Ristio terkesiap. Pemandangan sungguh mengerikan. Terlebih, ada lubang menganga di dada lelaki itu.”

“Nak, harusnya teman baik saya pintar pilih pengacara yang bisa jaga kepercayaan klien, macam kau! Tapi kau bodoh! Ceroboh! Harusnya kau tidak lengah dengan licik kawanmu itu!” Lelaki itu membentak, wajah murkanya menambah kengerian pemandangan di mata Ristio. Ristio terheran namun tubuhnya kaku.

Di tengah kekakuannya, mata Ristio kabur, jarinya masih menjepit batang rokok gemetar, keringat bercucuran dari rambut ke tengkuknya. Bibirnya kelu, warna merah mudanya memudar. Perutnya terasa mengencang dan mual berputar hingga kerongkongan. Sementara perlahan lelaki itu lenyap.

Dalam kedipan matanya yang kian lamur, ia melihat sosok lelaki lain berdiri di depannya, dingin. Lelaki yang ia yakini teman baiknya dahulu. Tapi ia tak sempat lagi memastikannya.

Tubuhnya tersungkur, ambruk dari bangku dengan bibir membiru.

*) Image by istockphoto.com

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang menarik lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<