Kerabat, tetangga, bahkhan hampir semua warga Dusun Kobung mengkhawatirkan pohon mangga besar yang miring ke arah rumah Masiha. Dahan-dahan yang membelukar dan daunnya yang lebat tepat merimba di atas atap rumah kecil dan reyot yang terbuat dari bambu itu. Tak usah roboh, jika satu dahannya saja jatuh, bisa dipastikan rumah Masiha akan hancur.

Kepala desa dan tokoh masyarakat sudah berkali-kali membujuk Masiha agar mengizinkan warga untuk menebang pohon itu. Tapi Masiha selalu menolak. Tubuh tuanya yang ringkih dengan bantuan sebatang tongkat kerap berdiri tegak di hadapan warga sambil bicara panjang lebar meski suaranya serak dan terputus-putus karena sesak, gemetar, dan kadang berseling batuk kering.

            “Ini demi keselamatan nenek. Mohon izinkan kami menebang pohon itu, Nek.”

            “Justru pohon itu yang menyelamatkan dan melindungiku,” sergah Masiha dengan kedua mata yang dipaksa menyala karena pandangannya sudah terlalu rabun.

            “Jika dahannya saja yang jatuh, rumah nenek bisa rusak berat dan nenek bisa-bisa celaka.”

            “Rumahku tidak akan rusak dan aku tidak akan celaka selama pohon mangga besar itu dibiarkan hidup dan menjulurkan dahan dan daunnya di atas rumah reyotku ini,” bela Masiha masih dalam prinsip yang juga sekokoh pohon itu.

            “Jika kami memaksa menebang?”

            “Itu artinya Bapak-bapak ini memaksa menebang hidup kami.”

#

Masiha tak perlu menyapu daun dan ranting-ranting yang jatuh dari pohon mangga terbesar di desa itu. Daun dan ranting yang berjatuhan lenyap dengan sendirinya seolah hanya sedetik setelah jatuh, bumi akan menyerapnya, sehingga halaman dan atap rumah Masiha selalu bersih seperti tak ada pohon besar di dekatnya.

Nyaris setiap waktu Masiha hanya duduk santai di datar bangku kayu lusuh yang ada di bawahnya, menatap lebat daunnya dengan untaian senyum tak henti-henti, seakan selalu ada sapa manis atau tingkah lucu dari dahan dan daun sehingga membuatnya semringah.

Selain khawatir, sebenarnya warga menatap Masiha, rumah kecilnya, dan pohon mangga besar itu dengan perasaan yang takjub. Sebab meski ada angin kencang dan hujan lebat sekalipun, pohon itu terlihat hanya bergerak pelan dan tak menggugurkan daun yang banyak, selain hanya satu-satu, jatuhnya pun seperti tak sampai ke tanah, hilang dibawa angin entah ke arah mana.

Beberapa spesies burung nyaman bermukim di lebat daun pohon itu. Berkicau merdu. Melonpat dan berkejaran dari satu ranting ke ranting lain. Bercinta dan kawin, membuat sarang, lalu beranak pinak. Meski dari jenis yang berbeda, tapi tak pernah bertarung. Setiap pagi dan menjelang magrib, beberapa burung selalu pulang dengan membawa ikan di paruhnya. Ikan-ikan itu dijatuhkan tepat ketika Masiha berada di bawahnya saat sedang siaga memegang keranjang kecil yang mulutnya diarahkan ke atas, sehingga ikan-ikan berjatuhan ke dalam keranjang itu. Setelah itu, Masiha langsung menikmati ikan-ikan itu tanpa harus dimasak karena ikan-ikan tersebut sudah berlumur bumbu yang menguar bau harum, bahkan kadang masih dengan sisa asap tipis pertanda baru dimasak.

Melihat kenyataan itu, warga semakin takjub, adakalanya ketakjuban itu mengurangi sedikit kekhawatirannya. Tapi, pemandangan seperti itu tetap saja lebih banyak menimbulkan rasa khawatir, warga iba pada Masiha jika suatu saat pohon itu menghancurkan rumahnya. Berkali-kali warga datang silih berganti untuk membujuk agar pohon itu dizinkan untuk ditebang, tapi berkali-kali pula Masiha menolak.

#

            Sepengetahuan warga, pohon mangga besar itu memang ada sejak dulu, bahkan menurut tetua dusun yang masih hidup, saat mereka masih anak-anak, mangga itu memang sudah tegak berdiri di tempat itu dan memayungi rumah kecil yang juga ada sejak entah—tetua juga hanya mendengar kisah-kisahnya dari tetua sebelumnya. Warga yakin pohon mangga besar itu usianya pasti sudah ribuan tahun.

            Madruki, suami Masiha yang sudah meninggal, dulu mendapat warisan pohon mangga itu dari ayahnya dan hanya pohon itu satu-satunya harta warisan yang ia dapatkan, bahkan hanya pohon mangga besar itu satu-satunya harta kekayaan yang ia miliki. Kala itu ia baru menikah dengan Masiha. Sebagai seorang istri, mulanya Masiha diam-diam kecewa karena suaminya hanya punya harta sebatang pohon mangga besar, itu pun tumbuh merimba di atas rumahnya yang kecil.

“Lantas apa yang bisa kita dapatkan dari pohon ini selain hanya guguran ranting dan daun yang merusak dan mengotori rumah ini,” protes Masiha tiga bulan setelah menikah, saat ia mulai sedikit berani untuk mengutarakan isi dadanya atas kenyataan hidup yang ia jalani dengan Madruki.

“Hehehe. Mungkin kamu masih belum tahu manfaat pohon raksasa ini. Ini adalah pohon kehidupan yang sesungguhnya,” jelas Madruki dengan wajah yang santai.

“Aku rasa sama sekali tak ada manfaatnya, malah sebaliknya yang ada hanya madaratnya.” Wajah Masiha sedikit kesal.

Madruki hanya tersenyum, bibirnya tak mencuatkan kata-kata lagi. ia belai lembut rambut istrinya itu dengan penuh kasih. Keduanya disergap keheningan.

“Lihatlah besok apa yang akan terjadi,” ucap Madruki kemudian.

#

Malam teramat sepi, hanya menyisakan bulan separuh yang separuhnya lagi dihadang awan. Angin sekadar bertiup menggerakkan ujung daun, dan belasan kelelawar bercericit sambil beterbangan dari dahan ke dahan.

Masiha tak percaya dan beberapa kali mengucek-ngucek matanya untuk memastikan yang ia lihat. Kadang ia bahkan mencubit kulitnya sendiri untuk membuatnya yakin bahwa dirinya sedang tidak bermimpi.

“Oh, sakit. Berarti aku tidak sedang tidur. Berarti apa yang kulihat adalah nyata,” gumamnya, masih mengucek-ngcek matanya lagi, dan apa yang ia lihat masih tak berubah; daun-daun mangga yang jatuh dari pohon raksasa itu berubah uang. Tangan Madruki sibuk menumpuknya ke dalam wadah plastik warna hitam yang ditaruh agak terbuka di sisi lincak.”

“Rumah ini akan kita rehab jadi rumah megah, Kanda,” usul Masiha dengan senyum yang lebar.

“Tidak. Rumah ini tidak boleh megah meski kita berlimpah uang. Rumah ini harus tetap seperti ini agar pohon mangga raksasa ini tetap mau menjatuhkan daunnya yang bisa berubah uang,” timpal Madruki tanpa menoleh, masih sibuk menyatukan lembar-lembar uang.

“Oke, tidak apa-apa. Yang penting kita kaya raya, Kanda.”

“Tidak. Kita tidak boleh kaya raya meski selalu berlimpah uang.”

Masiha terdiam mematung dan tidak mengerti pada perkataan suaminya. Malam terus menghidang kesunyian.

“Lantas apa gunanya kita punya banyak uang?”

“Gunanya, kita gunakan uang ini untuk pesta pora.”

“Apa bisa untuk membeli perhiasan?”

Madruki sebentar menghentikan gerak tangannya. Ia menoleh ke arah Masiha. Tak menyahut iya atau tidak. Hanya seperti berpikir. Butiran keringat melumasi nyaris seluruh wajahnya.

“Bisa. Asal tidak dipakai di hadapan orang banyak.”

“Ha?”

#

            Meski uang dari daun mangga raksasa itu tak bisa digunakan merehab rumah, tapi Masiha tetap merasakan nikmatnya keajaiban pohon itu. Setiap hari ia selalu keluar rumah untuk membeli makanan lezat kesukaannya dengan sepuas-puasnya. Pergi ke tempat rekreasi dan menonton semua jenis pertunjukan bertiket yang ada saat itu. Membeli banyak perhiasan meski pada akhirnya hanya dipakai di dalam rumahnya, dan yang tak kalah membuat ia bahagia; ia membeli rumah mewah jauh dari desa itu dan sesekali tinggal di rumah itu dengan segala kemewahannya, meski pada akhirnya rumah itu dijual karena Masiha selalu bermimpi buruk setiap kali ia tidur. Dalam mimpinya; pohon mangga raksasa itu punya mulut yang selalu membentak dan menyuruh Masiha untuk menjual rumah mewahnya.

            Hal yang paling berharga dari pohon mangga raksasa itu bagi Masiha—yang mengalahkan keistimewaan lainnya—adalah saat dirinya duduk di bawahnya pada malam atau pagi hari. Ranting-rantingnya yang menjulur ke arah tenggara selalu menari dengan beragam gerakan yang mampu membuat Masiha tersenyum, merasa terhibur dan mabuk kepayang. Ranting-ranting itu bukan hanya menari, tapi juga bernyanyi, berpantun, dan bercerita tentang kehidupan masa lampau. Jika tiba musim buah, ranting itu tak perlu berbunga, tapi langsung berbuah, dan buahnya beraneka rasa sesuai keinginan Masiha.

            Masiha sering menceritakan keajaiaban itu kepada tetangga-tetangganya, tapi tetangganya tidak percaya, bahkan malah menyebut Masiha sudah gila. Membuat Masiha kadang bertanya pada dirinya sendiri, “Apa aku gila?”

            Ketika suaminya meninggal, hanya itu warisan satu-satunya yang ia dapatkan. Tapi Masiha sangat bahagia.

            “Pohon mangga itu bagiku melebihi mobil dan pesawat,” ucap Masiha suatu hari.

            “Gila kau!”

#

            Malam Sabtu yang tak diduga, letusan Gunung Salu menimbulkan banyak korban dan kerusakan di daerah sekitar. Tapi semua warga Dusun Kobung tak merasakan adanya letusan itu, mereka tetap tidur nyenyak hingga pagi hari. Saat bangun, tak sedikit pun mereka melihat hempasan material dari letusan itu. Meski subuh sudah lama berlalu, tapi matahari tak kunjung terbit, padahal sebenarnya hari sudah siang, hanya saja mereka tidak sadar jika udara sedang tertutup abu vulkanik sehingga keadaan terus gelap seolah malam sangat panjang. Sebagian mereka malah menyalahkan waktu yang ditunjukan jam. Mereka baru sadar bahwa semalam telah terjadi letusan gunung setelah mendapat informasi di HP.

            Setelah semua sadar, mereka panik. Melihat warga yang panik, Masiha langsung memanggil mereka untuk mendekat ke pohon mangga raksasa miliknya. Masiha menunjuk ke atas; pada dahan-dahan yang membelukar dan seperti menghampar itu. Di atas dahan dan daun itu ada timbunan abu vulkanik dan lahar yang masih membara bersusun vertikal ke atas, menjulang seperti menyentuh gumpalan awan.

            “Pohon inilah yang menangkis semua material yang dimuntahkan gunung sehingga kita aman,” jelas Masiha dengan wajah semringah.

            Warga hanya saling tatap. Semua masih tak bisa mengangguk, tapi juga tak menggeleng; antara percaya dan tidak.

Gapura, 2023

Image by istockphoto.com