Anhar bersiap dengan posisinya untuk melempar tumpukan potongan genting yang ditata menyerupai Menara Pisa itu. Teman-teman yang lain juga telah berancang-ancang untuk berlari lalu bersembunyi di tempat yang sudah mereka rencanakan di kepala masing-masing. Sementara Tarno pun tak kalah siaga menjaga menara gentingnya, tangannya sudah gatal hendak menata potongan genting yang berserakan.
“Hai ayo kita lihat kambing disembelih!” ajak Tumin masih dengan napas terengah-engah. Sepertinya ia tak sabar memberitahukan kabar tersebut kepada teman-temannya.
“Di mana? Di mana?” tanya anak-anak ribut.
“Di rumah Mbah Husni,” tukas Tumin cepat.
“Oh pantas si Samsu tak tampak batang hidungnya,” timpal salah seorang anak.
“Ayo kita kesana,” ujar seorang anak yang lain.
“Bagaimana dengan bancaan-nya?” tanya Anhar dengan nada protes.
“Besok saja lagi, sekarang kita lihat penyembelihan kambing dulu. Belum tentu besok-besok ada lagi,” jawab Tumin.
“Ya, ya, ayo cepat kita kesana!” seru anak-anak itu.
Anhar pun dengan lunglai membuang batu yang masih ada di genggaman tangannya. Ia akhirnya ikut bersama rombongan teman-temannya menuju rumah Mbah Husni, tokoh masyarakat di kampung itu, yang tak lain adalah kakek dari Samsu.
Sampai di kebun belakang rumah Samsu, ternyata kambing sudah disembelih. Kambing jantan yang gagah itu dipancang kedua kakinya di atas pohon. Lalu perlahan-lahan kambing tersebut dikuliti, dibedah isi perutnya dan diambil organ dalamnya. Bapak-bapak yang lain dengan sigap memasukkan organ dalam seperti usus, hati dan sebagainya ke dalam topling. Setelah semua organ dalam selesai dipereteli, dua orang bapak diikuti dua bapak lainnya menggotong topling itu menuju kali. Beberapa orang anak mengintil di belakang sementara Anhar lebih memilih tinggal untuk melihat prosesi berikutnya.
Beberapa bapak yang lain juga tak kalah sibuk merajang bulu kambing menjadi bagian-bagian kecil. Bulu kambing itu katanya akan dibagikan kepada warga sebagai jimat untuk keselamatan. Katanya nanti sore jimat itu akan didoakan terlebih dahulu.
Usai bagian organ dalam dipereteli, kini giliran daging-daging yang menempel pada tulang-tulang diiris-iris dengan telaten. Daging itu dikumpulkan di atas alas bagor yang dibentangkan.
“Le, tolong cari daun jati sebanyak-banyaknya!” perintah Pak Darno, ayah Samsu kepada anak-anak yang berkerumun.
Anhar dan teman-temannya pun dengan bersemangat segera berlarian untuk mencari daun jati. Setelah mendapatkan setumpuk daun jati, mereka kembali ke belakang rumah Samsu.
Pak Darno segera menyambut daun jati dan menatanya berjajar-jajar lalu di atasnya ditaruh beberapa kerat irisan daging. Pak Darno membagi dengan seadil-adilnya irisan daging. Organ dalam yang sudah selesai dicuci dari kali pun ikut serta dibagi. Setelah semuanya dirasa merata, daun-daun itu segera dibungkus. Kemudian bungkusan daging tersebut dimasukkan ke dalam topling untuk dibagikan dari rumah ke rumah kepada seluruh warga kampung. Anak-anak pun tak ketinggalan ikut berpawai mengantarkan daging dari satu rumah ke rumah lain.
“Nanti sore jangan lupa ke perempatan, ada acara yang penting! Rugi kalo kalian tidak lihat!” ucap Samsu kepada teman-temannya.
“Acara apa, Sam?” tanya bocah-bocah serentak.
“Lihat saja nanti sore,” pungkas Samsu, pongah.
Anak-anak kecil itu pun sudah tak sabar menyambut datangnya sore, usai mengantar daging itu mereka tak seperti biasanya langsung mandi dengan tertib. Ternyata benar. Di perempatan kampung, bapak-bapak sudah menggelar tikar. Beberapa ibu berduyun-duyun membawa uba rampe sebagai pelengkap dari acara penting itu.
Ternyata acara itu hanya diikuti oleh para bapak-bapak saja. Mereka duduk mengelilingi sebuah liang yang digali di tengah perempatan. Tampak Mbah Husni duduk bersanding dengan kepala kambing yang diletakkan di atas kain putih. Setelah semua bapak berkumpul, seperti biasanya Mbah Husni berdehem beberapa kali sebelum memulai acara. Deheman itu tentu saja sebagai isyarat agar semua tenang dan diam. Benar saja. Dalam sekejap, suasana menjadi hening. Anhar dan teman-temannya yang biasanya ramai pun ikut terdiam.
Sama seperti teman-temannya yang lain, Anhar sudah sangat tidak sabar untuk melihat prosesi apa yang akan terjadi. Ia tadi sempat dengar dari Samsu bahwa kepala kambing itu akan ditimbun di tengah perempatan desa. Entah bagaimana maksudnya, Anhar sama sekali tidak paham karena ini pertama kalinya ia menyaksikan prosesi itu seumur hidupnya. Maka dengan saksama Anhar mengikuti tahapan acara dengan rasa penuh ingin tahu.
Prosesi penimbunan kepala kambing di tengah desa itu dimulai dengan merapal doa. Entah doa apa saja yang dibaca toh yang terlihat para bapak demikian semangat mengamini setiap lafal doa yang diucapkan Mbah Husni. Sesekali mulut Mbah Husni tampak menceracau tak jelas, kadang lirih dan kadang terdengar garang.
Usai pembacaan doa yang berlangsung sangat lama bagi Anhar dan teman-temannya, kepala kambing lalu dibungkus dengan kain putih. Lagi-lagi, mulut Mbah Husni berkomat-kamit seraya mengelus kepala kambing. Kemudian secara perlahan bak menimbang bayi, kepala itu dimasukkan ke dalam liang. Setelahnya bunga tujuh rupa pun ditaburkan, tak lupa air dalam botol bekas sirop juga dituangkan. Setelah itu, liang ditutup dengan timbunan tanah. Acara disudahi dengan makan-makan berbagai jamuan yang tadi dibawa oleh ibu-ibu.
***
“Anhar, jika kamu ikut kondangan harus diam. Dengarkan dengan baik petuah dari Mbah Husni dan yang paling penting saat doa harus khusyuk. Jangan ikut-ikutan temanmu yang ricuh,” nasihat bapak sepulang dari kondangan.
“Baik, Pak. Tapi Anhar tidak mengerti doa apa yang diucapkan Mbah Husni, Pak,” jawab Anhar, polos.
“Semua doa itu baik Anhar. Setiap doa adalah permintaan kepada Gusti Allah agar diberi keselamatan, keamanan, kesehatan serta kesejahteraan. Kita mengamini saja sudah dapat pahala,” jelas bapak. Anhar mengangguk-angguk.
“Sekarang bantu bapak pasang bulu kambing ini di atas pintu. Tolong kamu pegangi kursinya erat-erat agar tidak goyang,” perintah bapak. Dengan patuh Anhar melaksanakan perintah bapaknya.
Besok paginya, ritual penimbunan kepala kambing di tengah desa masih menjadi topik hangat yang dibicarakan di sekolah. Anak-anak terlihat bersemangat tiap kali berbincang mengenai topik tersebut. Dan yang sudah pasti menjadi pembicara utama adalah Samsu. Dia paling banyak tahu tentang ritual yang kemarin dipimpin oleh kakeknya.
“Kata kakekku, desa kita sudah aman, tak perlu ada ronda segala macam karena tak akan ada maling yang mampu menembus desa. Di segala penjuru desa telah ditanam kaki kambing lalu di tengah desa ditanam kepala kambing, ini akan membuat maling kebingungan,” ucap Samsu, congak.
“Hebat!” seru anak-anak.
“Sekarang aku bisa tidur tenang, tak takut lagi ada maling,” seru yang lain.
“Tenang saja, tak akan ada maling yang berani masuk ke rumah kita karena bulu kambing yang dipasang di atas pintu akan menahan maling masuk,” jelas Samsu, yakin.
“Oh begitu ya, hebat sekali,” celetuk Anhar, takjub.
“Tapi jangan sampai bulu kambing itu jatuh ke tanah karena khasiatnya akan hilang,” imbuh Samsu. Anhar memperhatikan benar-benar setiap penjelasan yang dijabarkan oleh Samsu.
***
Suatu siang sepulang dari sekolah, Anhar segera berganti baju. Siang ini ia dan kawan-kawannya akan main bola kasti. Anhar pun segera mengambil bola kasti dari bawah tempat tidurnya.
Dengan girang ia melambung-lambungkan bola kasti itu sebagai pemanasan sebelum permainan dimulai. Naas bagi Anhar, bola itu melambung tinggi hingga terpental pada pintu. Anhar panik ketika bola kastinya menghantam jimat bulu kambing dan akhirnya menjatuhkannya. Jantung Anhar berdesir hebat. Dengan sigap ia segera mengambil bulu kambing itu lalu menarik sebuah meja guna memasang bulu kambing. Susah payah Anhar memaku bulu kambing itu kembali. Untungnya bapak dan ibunya belum pulang dari sawah.
Sungguh sisa hari itu Anhar tak dapat berkegiatan dengan tenang. Ia bermain kasti dengan tidak semangat. Pulang dari bermain kasti, pikirannya semakin kalut tiap mengingat bulu kambing yang telah dijatuhkannya. Terngiang-ngiang kembali ucapan Samsu tempo hari bahwa bulu kambing yang telah jatuh ke tanah tidak dapat berfungsi menahan maling. Padahal sekarang ini banyak desa yang sudah kemalingan.
Anhar tak dapat tidur tenang malam itu. Pikiran waswas membayangkan maling dengan mudah masuk ke rumahnya dan membawa harta benda terutama dua ekor kambing miliknya. Cicit tikus serta gedebak misterius terdengar dari salah satu penjuru rumahnya. Kadang hening, kadang suara itu muncul kembali.
Jantung Anhar berpacu makin cepat tiap kali ia mendengar suara gaduh. Anhar bangun dari tempat tidurnya, sebuah kasur tipis peninggalan almarhum kakeknya. Berjinjit Anhar menuju kandang kambing. Lalu ia menyenteri seisi kandang. Tak lupa ia tadi sempat menyerobot sapu lidi, senjatanya jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk menghantam maling.
“Sedang apa kau Anhar?” tanya sebuah suara.
“A-aku… aku sedang memeriksa, Pak. Aku tadi mendengar suara gaduh dari sini,” ucap Anhar, tergagap.
“Sudah tidur sana! Besok kan kamu harus sekolah,” kata bapak. Anhar menurut.
Tak sepicing pun Anhar dapat memejamkan matanya. Ia benar-benar khawatir dan cemas. Jika maling itu berhasil masuk ke rumahnya, itu karena kesalahannya. Ia menyesal karena telah ceroboh menjatuhkan jimat bulu kambing.
Ketika mendapati suara azan Subuh, Anhar sedikit merasa tenang.
“Aku harus terus-terang kepada Samsu lalu bertanya tentang cara mengembalikan fungsi jimat bulu kambing,” batin Anhar.
Suara gaduh di kelas menyambut kedatangan Anhar. Ia sudah tak sabar ingin berbicara empat mata dengan Samsu tetapi malah Samsu tak tampak batang hidungnya.
“Apa rumah Samsu kemalingan?” pekik Anhar tak percaya ketika ia mendengar kabar itu dari teman-temannya.“Apakah bulu kambing di rumah Samsu telah jatuh?” pikir Anhar.
Kedatangan Pak Husain, Guru Agama Islam mengakhiri kegaduhan yang terjadi di kelas. Seketika itu juga suasana kelas menjadi tenang. Hari itu Pak Husain menyampaikan materi tentang syirik. Tidak seperti anak-anak lain yang ribut sendiri, Anhar mendengarkan dengan cermat penjelasan yang disampaikan oleh gurunya. Namun semakin lama mendengar penjelasan, Anhar makin bingung.
Pak Husain menjelaskan bahwa manusia yang beriman hanya boleh beriman kepada Allah saja. Percaya kepada selain Allah adalah syirik. Pak Husain juga menjelaskan bahwa percaya pada keris, batu, jimat dan beda-beda yang dianggap sakti juga merupakan syirik. Batin Anhar makin berkecamuk.
“Jadi kalau begitu memasang bulu kambing juga syirik. Berarti ia, ayahnya, juga seluruh warga kampung telah melakukan syirik yang amat sangat dilarang oleh Allah,” simpul Anhar cemas dalam benaknya yang makin berkecamuk.
Catatan:
Bancaan : Nama permainan tradisional seperti hide and see
Topling : Kerajang untuk memikul barang
Bagor : Alas seperti tikar
*) Image by istockphoto.com