image by istockphoto.com

Sabtu malam, waktu yang tepat untuk para muda-mudi berkumpul dan bercengkerama. Biasanya setiap akhir pekan muda-mudi itu selalu berkumpul di Jalan Simpang Tiga. Kebetulan di tepi jalan memang terdapat beberapa beton yang ditinggikan menyerupai bangku panjang. Di situlah mereka berkumpul, sekadar duduk-duduk, bermain gitar, dan aktivitas lainnya. Kadang mereka di sana hingga lewat tengah malam.

Begitulah kelakuan para muda-mudi itu di setiap akhir pekan. Namun, malam ini lain. Sungguh lain. Mendadak lebih dingin dari biasanya, pun dengan suara lolongan anjing liar yang terdengar mengerikan. Tentu saja, membuat muda-mudi yang tengah bersantai di tepi jalan itu mendadak bergidik ngeri, ditambah udara yang luar biasa dingin, namun, anehnya mereka juga merasa gerah. Seakan-akan ada hawa panas di dekat mereka. Tak lama kemudian, terdengar suara tangis yang memilukan hati. Suara itu terdengar berasal dari jarak yang jauh. Mungkin pemilik suara berada di ujung kampung.

Muda-mudi itu mulai terdiam, masing-masing dari mereka menghentikan kegiatannya. Memasang wajah tegang dan mengaktifkan indra pendengaran.

“Kata nenekku, kalau suara itu terdengar dekat berarti dia jauh dari kita. Tapi kalau suara itu terdengar jauh … berarti … ber–berarti di–di–a dekat,” tutur remaja kurus bernama Okky. Dia mulai mengambil posisi berdiri, bersiap dengan kemungkinan terburuk. Teman-temannya memandang dengan keheranan.

Benar saja tanpa mereka sadari, rupanya di belakang mereka telah lama berdiri sesosok perempuan dengan pakaian serba hitam. Perempuan itu berwajah pucat, dengan mata berwarna hitam sepenuhnya. Perempuan setinggi 155 sentimeter itu mendekatkan badannya pada salah satu dari mereka. Seketika hawa panas pun mengalir ke punggung remaja tanggung bernama Roy. Roy menoleh ke belakang, dan ternganga. Pun dengan teman-temannya yang mendadak kaku.

“Huhuhu.… Tolong aku!” jerit perempuan berkerudung hitam, disertai tangisannya yang terdengar mengerikan. Hanya dalam sekejap saja, muda-mudi itu telah lari tunggang langgang, berpencar ke rumah masing-masing.

Tinggallah sesosok wanita berjubah hitam. Ia duduk di bangku beton yang tadi diduduki para muda-mudi. Malam itu, ia tak melakukan apa-apa. Hanya duduk-duduk saja. Namun, wujudnya yang menyeramkan jelas saja membuat takut para pengguna jalan. Hingga pagi menjelang, sosok berwajah seputih mayat itu telah raib, tepat sebelum azan Subuh berkumandang.

Pagi itu, terjadi kegemparan di tiga kampung sekaligus; Kampung Lalang, Kampung Lalang Tunu, dan Kampung Baru. Ketiga kampung itu dihubungkan langsung oleh jalan yang mereka sebut Jalan Simpang Tiga.

“Hantu Cik Janah semalam meneror berik-berik yang tengah nongkrong di Simpang Tiga,” ujar Cik Ani sembari memotong bato pekempek, sedang di hadapannya berjongkok Cik Mur, tetangganya.

“Tahu dari mana?” Cik Mur bertanya dengan malas. Sedari dulu ia memang tak percaya dengan hal-hal mistis.

“Beritanya sudah tersebar sedari pagi. Kabarnya wanita malang itu mati dibunuh dan sekarang dia tengah berkelana mencari saudaranya untuk melepaskan susuk.” Dengan antusias Cik Ani menjawab, sedang Cik Mur masih tak percaya. Perempuan berusia tiga puluh dua itu kini sibuk mencomot irisan pekempek mentah, lalu mengunyahnya dengan santai.

***

Malam kembali datang. Suara burung hantu mulai terdengar, pun dengan suara binatang malam lainnya. Sementara di atas sana, tampak bulan bersinar terang, tanpa ada awan yang biasanya mengacaukan tampilannya. Di sana, tepat di tepi Jalan Simpang Tiga, duduk sesosok perempuan berwajah pucat. Dialah Cik Janah, hantu yang tiba-tiba datang mengacau ketenteraman di tiga kampung.

Perempuan itu menitikkan air mata. Tetesan berwarna merah mulai membasahi pipi dan sebagian gaun hitamnya. Lirih ia berkata dalam isakan tangisnya.

“Tolong! Tolong …. Huhuhu!” Ia bangkit dari duduknya, lalu mulai berjalan mengambang menuju rumah-rumah warga. Mengetuk satu per satu pintu rumah. Aroma anyir darah menyertainya.

Tok! Tok! Tok!

Penghuni rumah membuka pintu, lalu mendadak kaku tatkala melihat wajah tamu tak diundang.

“Tolong! Tolong …,” lirih perempuan berwajah pucat itu, membuat gagu si pemilik rumah, lalu berujung pingsan.

Perempuan dengan rambut panjang tertutup kerudung hitam itu segera berlalu, menuju rumah berikutnya.

Tok! Tok! Tok!

“Tolong! Tolong ….”

Mengetahui suara si pengetuk pintu terlampau asing, membuat si pemilik rumah enggan membuka pintu.

“Itu pasti hantu Cik Janah. Lebih baik kita mencari aman dalam selimut,” tegas seorang lelaki paruh baya kepada istri dan ketiga anaknya. Jadilah, satu keluarga kecil itu meringkuk bersama dalam selimut bercorak batik. Mereka masih bertahan di sana, hingga bunyi ketukan dan suara menyayat hati nan mengerikan itu pelan-pelan tak terdengar lagi.

Hantu Cik Janah masih mengambang, menyusuri tiga kampung, lalu mengetuk pintu rumah satu persatu hingga menjelang subuh.

***

Sudah hampir satu minggu, setiap malam warga di tiga kampung selalu diteror oleh sosok Cik Janah. Penampakannya yang tiba-tiba itu sungguh meresahkan banyak orang. Selain mereka harus meringkuk ketakutan di rumah, mereka juga harus menahan diri untuk tidak ke luar rumah ataupun pulang terlalu larut. Sebagian malah tak bisa berjualan di malam hari. Karena tak ingin bertatap muka dengan hantu Cik Janah yang menyeramkan itu.

Lama-lama penduduk merasa terganggu. Maka pada suatu hari yang baik, salah satu warga berinisiatif memanggil beberapa orang pintar untuk mengusir hantu perempuan yang jiwanya tak tenteram itu.

“Berat. Sungguh berat nian! Perempuan itu telah bersekutu dengan hantu Mawang untuk menjaganya. Ia juga memakai susuk untuk memikat. Hantu Mawang menagih janji yang diucapkan di awal. Namun, perempuan itu enggan menepati. Maka matilah ia oleh karena keserakahannya,” tutur seorang dukun menjelaskan kejadian yang dialami oleh Cik Janah selama hidupnya.

“Sekarang susuk itu menyulitkan langkahnya untuk menuju alam selanjutnya. Kita harus mencari saudaranya, agar membantu melepaskan susuknya.” Dukun berperawakan tambun itu menyudahi pertemuan dengan beberapa perintah.

“Siapa saudara almarhumah? Adakah yang mengetahui dan merasa masih bersaudara dengan almarhumah?” tanya Mang Rat, ketua RT Kampung Lalang Tunu. Mimik mukanya jelas menyiratkan kecemasan. Ia tak ingin kampungnya dilanda teror sepanjang malam. Namun, tak ada satu pun warganya yang mengaku. Jangankan mengaku, membuka suara pun tidak. Peninglah Mang Rat. Ia memijat-mijat kepalanya.

Sementara itu, di kolong ranjang, terbaring seorang lelaki ketakuan. Wajahnya hampir pucat, badannya menggigil.

“Tidak. Tidak, aku tak mau membantumu. Kau bukan saudaraku. Kita bahkan tak pernah saling bertemu sejak dua puluh tahun yang lalu.” Lelaki bertubuh ringkih itu menjerit. “Dengar, Mak Wo Janah, aku tak berani melakukannya. Kau carilah saudaramu yang lain. Jangan! Jangan aku!” jeritnya sekali lagi. Ia masih bersembunyi di kolong ranjang. Ketakutannya semakin menjadi-jadi. Namun, teriakannya nyaring terdengar hingga ke rumah tetangganya.

***

Malam selanjutnya, bulan tampak bersinar terang. Terdengar pula suara dari berbagai hewan malam yang selalu berhasil membuat ngeri. Di sana, di sebuah lapangan luas telah ramai para warga untuk menyaksikan ritual pelepasan roh Cik Janah menuju alamnya yang baru. Di sana pula berdiri tak berdaya seorang lelaki berbadan ringkih, tetapi bersuara nyaring. Lelaki itu ingin melepaskan diri. Namun, dua orang lelaki paruh baya berbadan tinggi besar segera mencambuk untuk menenangkannya.

Seorang dukun menghampiri lelaki ringkih itu. Segera dukun itu mencipratkan air bunga ke wajah saudara dari hantu Cik Janah. Sementara di atas pohon cempedak, duduk hantu Cik Janah, menyaksikan segala ritual yang dibuat hanya untuk kepergiannya.

“Ikuti aku, ulangi perkataanku !” seru Dukun. “Akulah darahmu. Akulah tulangmu. Akulah penggantimu. Akulah penebusmu. Akulah pengikutnya.”

Lelaki yang diaku saudara oleh hantu Cik Janah itu enggan membuka mulut. Meski dua algojo hampir memenggal kepalanya.

“Tidak. Aku bukan saudaramu. Aku tak ingin jadi penggantimu!” teriaknya histeris.

Seketika awan hitam muncul. Disertai angin kencang, yang kemudian merobohkan Dukun hingga pingsan. Sementara itu dari kejauhan sana, melayang tinggi roh Cik Janah yang kemudian raib bersama kemunculan asap putih.

Hening.

Para warga menarik napas pelan-pelan.

Ketakutan mulai melanda.

Benar saja, sesaat kemudian muncul sosok makhluk gaib, bertubuh tinggi besar dan berbulu dengan kuku-kuku nan panjang. Makhluk itu tertawa keras. Para warga mundur, takut. Dukun terbangun, dan berdiri menyembah.

“Aku abdimu, Tuanku!” Pelan, sungguh pelan suaranya.