Seperti biasanya, setiap pukul setengah enam pagi, alarm tak bosan berdering untuk membangunkan Sarah dari tidurnya yang nyenyak.

“Nak, ayo bangun! Cepat bersiap, nanti terlambat loh!” teriak ayahnya dari lantai bawah.

“Iya, Ayah. Aku akan segera mandi dan bersiap-siap pergi sekolah,” jawab Sarah yang masih duduk di atas kasur empuknya sambil mengumpulkan nyawa untuk segera mandi. Lalu ia mengambil handuk kuningnya untuk mandi.

Setelah selesai mandi dan memakai seragam, tak lupa ia memakai sepatu berwarna ungu, yang kemarin baru saja diberikan ayahnya sebagai hadiah ulang tahunnya. Sarah senang sekali. Sambil membawa tas ranselnya dengan ceria, Sarah berlari turun dari kamarnya.

“Sarah…, jangan lari-lari nanti kamu jatuh!” Ayah memarahi Sarah yang menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.

“Maaf Ayah, aku sangat bahagia mendapatkan sepatu baru ini!” seru Sarah sambil menunjuk sepatu ungunya itu.

“Ya sudah, ayo duduk. Kita sarapan nasi goreng buatan Ayah.”

Tiba-tiba wajah Sarah berubah menjadi muram.

“Nasi goreng lagi…, nasi goreng lagi. Tidak ada menu lain ya, Yah? Setiap hari aku hanya makan nasi goreng. Mulai dari sarapan, makan siang, sampai makan malam, hanya makan nasi goreng!” Sarah tampak kesal kepada ayahnya.

“Maafkan Ayah ya, Sarah. Ayah tidak bisa memasak yang lain. Ayah hanya mampu memasak nasi goreng, telur, dan air panas,” jawab Ayah dengan wajah kecewa.

“Kalau kamu tidak menyukai masakan Ayah, tidak apa-apa. Nanti Ayah belikan makanan cepat saji untuk Sarah,” tambah ayahnya dengan lembut. Lagi-lagi rasa kecewa yang dirasakannya terselip dalam setiap kata-katanya.

“Ya sudah, tidak usah, Yah. Aku berangkat saja!” Tanpa pamitan dengan ayahnya, Sarah bergegas pergi ke sekolah.

Bel masuk berbunyi. Bu Irma mengawali hari dengan belajar PKN di kelas 5. Murid-murid sangat senang dan memperhatikan dengan fokus setiap pembelajaran yang diberikan Bu Irma. Kali ini ia menjelaskan tentang betapa pentingnya menghormati orang tua.

Begitu istirahat, semua murid keluar dari kelasnya masing-masing untuk pergi ke kantin. Ada juga yang hanya memilih bermain-main.

Sarah pergi ke kantin bersama Kayla, sahabatnya, sambil membawa bekal yang dimasukan ayahnya ke tas.Wajahnya masih tampak muram dan kesal.

“Wah, kamu enak sekali ya, setiap hari dibawakan bekal sama ayahmu,” ucap Kayla.

“Apanya yang enak? Semenjak ibuku meninggal dunia satu bulan yang lalu, aku harus makan nasi goreng buatan Ayah setiap hari. Bosan aku harus makan nasi goreng tiga kali dalam sehari,” timpal Sarah, kesal.

“Sarah, kamu harus bersyukur. Kamu masih memiliki ayah yang sayang sekali padamu. Ia tidak mau kamu merasa kesepian karena ditinggal ibumu. Ia sekarang satu-satunya keluarga yang kamu miliki. Lihat aku. Aku sekarang sudah tidak memiliki orang tua. Yang bisa aku lakukan ya hanya mendoakan orang tuaku supaya tenang dan mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.”

Suasana berubah haru setelah Kayla bercerita tentang hidupnya.

“Maafkan aku, Kayla. Sekarang aku mengerti. Ayah sangat menyayangiku. Ia berusaha untuk menjadi ayah sekaligus ibu bagiku. Walaupun nasi goreng buatannya sangat membosankan dan rasanya tidak seenak buatan Ibu, tapi rasa cintanya yang tulus kepadaku sangat terasa.” Airmata Sarah jatuh membasahi pipinya.

“Mulai sekarang kamu harus mensyukuri hidupmu, Sarah. Sayangi ayahmu seperti ia menyanyangimu.”

“Terima kasih, Kayla. Aku akan meminta maaf pada ayahku sepulang sekolah nanti.”

* * *

Begitu pulang sekolah, Sarah mendapati meja makan telah dipenuhi makanan cepat saji. Ada ayam goreng, mie goreng, sop ayam, dan ikan goreng.

“Ayo duduk, Sarah. Ayah sudah tidak sabar untuk makan siang bersamamu!” pinta Ayah sambil menunjuk kursi yang selalu diduduki Sarah setiap makan bersama.

“Untuk apa semua makanan ini, Ayah?”

“Katanya kamu bosan dengan nasi goreng buatan Ayah. Jadi, Ayah sengaja membelikan semua ini spesial untuk Sarah.”

“Maafkan Sarah, Yah. Tadi pagi Sarah sudah kesal dan marah-marah pada Ayah. Mulai sekarang Sarah akan selalu makan semua yang Ayah masak karena Sarah tahu Ayah pasti memasaknya dengan kasih sayang, ‘kan?” Sarah menangis di pelukan ayahnya.

“Terima kasih, Nak. Ayah sangat bangga padamu. Ayah akan selalu menyayangimu. Ayah akan berusaha mempelajari resep makanan lain untuk Sarah.” Ayah mengusap airmata Sarah dan merapikan rambutnya yang acak-acakan.

“Tidak perlu, Ayah. Aku sangat suka dengan nasi goreng Ayah!” seru Sarah sambil tersenyum pada ayahnya.

Sejak itu Sarah selalu memakan nasi goreng buatan ayahnya. Ia tidak pernah mengeluh dan bosan dengan masakannya lagi. Ia semakin sayang kepada ayahnya. Begitu pula sebaliknya.[]