Alves menatap kekosongan. Tidak betul-betul kosong. Di hadapannya ada pepohonan dan burung-burung kecil yang sesekali hinggap. Seorang perawat mendorong kursi roda. Rojo yang mengenakan pakaian putih-putih serupa yang dikenakan Alves, tengah menyapu halaman dengan begitu pelan. Begitu lembut hingga rerontokan daun yang disapunya terhuyung seperti orang yang melayang di ruang angkasa. Persis ketika Rojo berhenti menyapu, Alves tampak terisak. Ia menangis seperti anak kecil yang mainannya dicuri. Rojo merasa iba dan menghampiri Alves yang kian tampak tua.

“Sudahlah, tak usah kau menangis. Dia sudah boleh keluar karena sudah sembuh, sedangkan kita ini belum sehingga belum boleh keluar dari tempat mengerikan ini. Hahaha.”

Alves tak memedulikan kehadiran Rojo. Ia pergi dari kursi gading yang sunyi itu menuju kamar nomor 36. Masih dalam keadaan menangis. Rojo kini duduk di kursi yang tadi diduduki Alves. Geguguran daun jatuh ke atas kepalanya yang gundul. Diambilnya sehelai daun warna hijau terang.

Dari dalam kamar nomor 36 terdengar jerit tangis yang menusuk-nusuk telinga siapa saja yang mendengarnya. Mendengar suara tangis itu, Rojo pelan-pelan mulai meraung. Raungan yang diikuti jeritan. Jeritan yang diikuti oleh tangisan panjang. Pakaian putih yang dikenakannya menjadi basah.

Seorang lelaki berambut gondrong meletakkan ransel. Ia sedang duduk di pinggir jalan San Mamos. Kacamata hitam bertengger di atas hidungnya yang mancung. Tadi seorang pemuda menanyainya tentang apa yang sedang dicarinya. “Aku sedang mencari orang yang pantas untuk mati.” Begitu jawab lelaki gondrong yang membuat sang pemuda dengan sigap menjauh dan tak berani berbicara lebih lanjut dengannya.

Seorang lelaki pertengahan umur empat puluh, berjas, berkacamata, membawa koper, melewati lelaki gondrong dan menyapanya. Lelaki gondrong membalasnya dengan tatapan tajam, seolah matanya adalah pisau yang baru diasah. Lelaki berjas hanya tersenyum dan berlalu.

Setelah sekitar tiga puluh enam langkah, lelaki berjas berbelok ke sebuah rumah bergaya klasik. Ketika membuka pintu rumah, lelaki berjas menyadari di sebelahnya ada seseorang yang menguntitnya. Lelaki gondrong berkacamata. Lelaki berjas menutup pintu sambil melemparkan senyum ramah kepada lelaki gondrong. Di balik senyum yang ramah itu tersimpan rasa was-was dan takut. Pintu sudah sempurna tertutup, tapi di celah jendela samping pintu sebuah wajah dengan kacamata hitam memaksa lelaki berjas bersicepat masuk ke dalam kamar.

Keesokkan harinya, lelaki berjas kembali melewati pinggir jalan San Mamos (ya, karena memang di situlah alamat rumahnya). Ia kembali lewat di hadapan lelaki gondrong. Namun, kali ini ada yang berbeda. Saat lelaki berjas lewat, lelaki gondrong mengangkat sebuah papan bertulisan “aku mengagumimu dan aku ingin kau bersamaku di neraka” dan sengaja mempertunjukkannya kepada lelaki berjas. Sama seperti kemarin, lelaki berjas tetap menyapa dan memberikannya senyum ramah. Sore itu lelaki gondrong tak mengikuti lelaki berjas sampai ke rumahnya. Lelaki berjas bersyukur atas hal itu dan merasa hari ini lebih baik daripada kemarin.

Malam hari adalah waktu kegelapan berkuasa. Jalan San Mamos telah sepi. Lampu-lampu jalan menyala samar menyinari beberapa kendaraan yang lewat. Di kursi yang diterangi samar lampu, seorang lelaki mengasah sebuah pisau. Di dalam ranselnya ada bercak merah dan bangkai kelinci dengan leher putus.

Malam hari adalah waktu rasa takut berkuasa. Rumah nomor 36 telah gelap. Semua lampu dimatikan. Tepat pada jam dua belas malam, lelaki penghuni rumah terbangun. Suara pintu diketuk membuat tidurnya terpotong dan mimpinya yang aneh berhenti. Lelaki itu tadi bermimpi tidur bersama kelinci dengan leher terputus di dalam kolam api. Ketika seorang bertopeng hitam dalam mimpinya hendak menikamnya, ia pun terbangun. Terbangun karena suara ketukan pintu.

Lelaki itu menuju ruang depan diselimuti rasa takut akibat mimpi anehnya. Ia memutar kunci. Krek. Ia membuka pintu. Saat pintu terbuka, sebuah pisau teracung dan dengan sangat kilat pisau itu menusuk dada kirinya. Orang yang memegang pisau itu tertawa terbahak-bahak. Sedangkan lelaki penghuni rumah itu, lelaki yang sehari-harinya memakai jas dan tersenyum ramah kepada orang-orang, mengerang tanpa suara. Erangan menuju gerbang kematian. Lelaki itu merasa mimpi anehnya barusan bersambung di dunia nyata.

Pada malam itu, Jalan San Mamos sepi dan gelap sekali. Satu-satunya suara yang ada adalah suara orang terbahak-bahak. Karena suara itulah polisi San Mamos bergerak keluar dari pos.

Pada malam itu polisi menangkap seorang lelaki gondrong berkacamata.

Di Rumah Sakit Jiwa San Mamos, satu hari setelah peristiwa pembunuhan Tuan Ramond (ya, itu nama lelaki berjas), Alves tampak bahagia. Lelaki dengan kepala penuh uban itu sangat bahagia karena sahabat lamanya telah kembali.

“Akhirnya kau kembali juga sahabatku,” ujar Alves.

“Ya, kurasa ini adalah tempat terbaik untukku,” tukas Ramos (ya, itu nama lelaki berambut gondrong).

“Omong-omong, apa yang membuatmu kembali ke tempat ini?”

“Ah, bukan apa-apa. Hanya hal kecil.”

“Hal kecil?”

“Ya, kemarin aku hanya sedang mencoba pisau yang dulu pernah kau berikan kepadaku, tapi entah kenapa polisi menangkapku dan mengirimku ke tempat ini lagi. Hahaha. Sungguh lucu dunia ini.”

“Iya, dunia ini sangat lucu. Hahahahaha.”

Pagi itu di Rumah Sakit Jiwa San Mamos, dua orang lelaki tertawa-tawa panjang seakan tawa mereka tak akan ada habisnya. Di belakang mereka, di atas kursi kayu kecil, Rojo, si lelaki berkepala botak, menangis tanpa suara.[]

Bekasi, 2017-2019