Aku tidak menemukan kebahagiaan di rumah siapa pun, kecuali di rumah yang berisik itu. Sepulang sekolah, aku yang masih kecil mendatangi rumah itu menemui tanteku. Aku yang mengintip dari bibir pintu, belum mencopot seragam sekolah. Aku melihat tanteku yang berpakaian menyerupai telanjang tertawa-tawa sambil menghisap sebatang rokok. Sepertinya ia tak peduli lagi pada dunia ini. Tubuhnya yang menjijikkan seolah berada di surga. Ia diremas-remas seorang lelaki yang berwajah cekung, dan jelas saja lelaki itu pernah aku lihat melintas di depan rumahku. Aku kenal dengan wajahnya, tapi tidak dengan kepribadiannya.
Tanteku tidak melakukan perlawanan ketika ia disentuh lelaki itu, seperti menepis tangannya. Apakah itu suaminya, suami simpanan maksudku, aku tak tahu. Aku mengejar tanteku ke sini karena aku tahu ia sering bermain di tempat ini, aku tak tahu tempat apa ini. Aku hanya melihat, orang-orang sering keluar masuk dari sini. Dan banyak laki-laki yang berdatangan dan wanita-wanita yang berseliweran, tertawa-tawa, sepertinya mereka tidak pernah menangis ketika berada di tempat ini.
Tempat aneh ini berjarak dekat dari rumahku. Buka 24 jam seperti SPBU Pertamina. Mungkin mereka para tokoh-tokoh utama di sini mengenal wajahku, walaupun tak tahu siapa namaku. Buktinya aku yang masih memakai seragam sekolah hari Jumat itu tak ada yang berani mengusirku.
“Kau cari siapa, Sintia? Tantemu?” Perempuan yang baru datang mengelus-elus rambutku itu namanya Resti. Aku tak tahu apa pekerjaannya. Aku tak pernah melihat ia bertani, aku tak pernah melihat ia memakai seragam seperti mereka yang kerja kantoran. Aku juga tak tahu siapa suaminya. Tapi anehnya ia punya mobil mewah, rumahnya lumayan besar.
Anak perempuannya yang satu kelas denganku sering memberiku uang jajan, seolah ia kelebihan duit. Ketika aku tanya, kenapa kau memberiku uang jajan. Ia menjawab, ibuku bilang anak yatim sepertimu wajib disayangi. Emangnya dia bukan anak yatim, aku tak mengenal ayahnya. Aku tak begitu peduli dengan kata-katanya.
“Tante aku minta uang jajan,” dari jauh aku menjulurkan tangan memanggil perempuan itu, suaraku menyerupai teriakan. Ia dan seorang lelaki yang meremas-remasnya tadi datang menghampiriku.
“Ini anakmu?” Lelaki itu memasukkan tangan ke dalam kantong celananya, mengeluarkan dompet, menjulurkan uang 50 ribuan untukku. Aku menerimanya dengan tatapan terheran-heran.
“Dia bukan anakku, tapi aku menyayanginya seperti anakku sendiri,” jawab tanteku, lalu memelukku. “Aku bekerja keras untuk dia, dan aku menjadi seorang pelacur juga untuk kehidupannya.”
Aku baru tahu tanteku ternyata seorang pelacur, tapi aku belum mengerti waktu itu pelacur adalah pekerjaan paling rendah yang dimiliki perempuan.
“Namamu siapa anak cantik?” Lelaki itu memegang tanganku lembut, aku menatap wajah tanteku seolah minta pendapat, apakah aku pantas menyebut namaku pada lelaki itu.
Melihat tanteku tersenyum, aku menggigit bibir, kemudian berkata, “Namaku Sintia, Om.” lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu memeluk dan menciumku. Ia juga menggendongku. “Ayo, kita ke Lia Garden.”
Dibawanya aku keluar. Masuk ke dalam mobilnya diikuti tanteku dari belakang. “Kita mau ke mana, Tante?”
Perempuan yang berbau parfum menyengat itu menjawabku, “Om Bakti mau membawa Sintia makan.” Tanteku menyandarkan tubuh dan meluruskan kakinya dalam mobil.
“Kenapa, Sintia enggak mau Om Bakti bawa makan, Sintia takut ya sama Om?” Aku menggelengkan kepala, uang 50 ribuan masih aku pegang erat-erat. “Sintia nanti setelah besar cita-citanya apa?” Mungkin lelaki itu biasa bermain dengan anak kecil sepertiku, dan ia bisa menyentuh hati mereka. Buktinya aku merasa senang ia memperlakukan aku seperti ini. Ia pintar mengobrol denganku. Pokoknya aku senang melihat perlakuannya terhadapku, walaupun aku masih merasa malu-malu.
Menurutku itu hal yang wajar, baru kenal, selama ini aku hanya mengenal wajahnya, setelah itu aku tak tahu apa-apa lagi tentang lelaki itu. Aku yakin seorang perempuan dewasa pun ia pasti merasa malu pada lelaki yang menurutnya baik dan baru ia kenal hanya lewat wajah.
“Aku ingin seperti Tanteku ,Om.” Mereka menatapku bersamaan.
“Kok ingin seperti Tantemu, kenapa?”
Mobil terus melaju.
“Tanteku baik, Om, sering ngasih uang jajan, aku ingin sepertinya jadi orang baik, Om.” Aku melihat tanteku menelan ludah. Aku ingin berterima kasih padanya, tapi aku tak tahu caranya seperti apa.
“Oh, begitu. Maksud Om, setelah besar nanti, apakah Sintia ingin jadi dokter, polwan, atau yang lainnya, misalnya pramugari?”
Aku begitu mudah akrab dengan seseorang yang memperlakukanku dengan baik, apalagi jika itu terjadi di depan tanteku. “Tidak Om, aku hanya ingin jadi seperti tanteku, seorang pelacur,” keduanya menatapku kaget.
Tanteku bertanya dengan suara keras, “Kenapa kau ingin sepertiku Sintia, kau tahu pelacur itu apa?”
Aku terdiam sesaat.
“Tahu Tante, seperti Tante. Perempuan pelacur, kan, bebas. Kerjaannya tertawa terus bersama laki-laki dan teman-temannya. Asyiknya mereka juga boleh merokok, tidak seperti perempuan lain. Karena itu aku ingin jadi pelacur, Tante.”
Mobil pun berhenti, kami turun memasuki sebuah rumah makan.
“Sintia kamu tidak boleh bercita-cita seperti Tante!” Aku tahu ia sedang marah kepadaku. “Karena itu aku bekerja keras untuk menyekolahkanmu setinggi mungkin, agar kau jangan seperti Tantemu ini lagi, seorang lonte!” aku tak tahu apa yang disebutnya itu, setahuku tanteku seorang pelacur, tapi ia sebut dirinya seorang lonte, aku tak mengerti lonte itu apa, bagiku itu kata-kata yang menjijikkan.
Dua orang pelayan mendatangi kami. Om Bakti memesan makanan untuknya sesuai seleranya, tante juga menyebut pesanannya, ia juga memesan makanan untukku. Ia tahu aku suka ikan goreng.
“Emangnya kalau Sintia sudah sekolah tinggi-tinggi enggak boleh ya bercita-cita jadi pelacur?” Aku melihat ada wajah kebingunan pada tanteku. “Memangnya kenapa enggak boleh, Tante? Sintia bercita-cita jadi pelacur, seperti Tante. Tante ‘kan banyak duitnya.” Aku menemukan wajah kebingungan pada kedua orang itu. Mereka saling tatap. Aku yang tak tahu apa-apa terus berkoar, “Bukankah Tante sendiri yang pernah bilang padaku, sekolah tinggi-tinggi, biar bisa cari duit banyak.”
Pelayan sudah datang meletakkan makanan yang dipesan di atas meja. Tanteku yang tidak bergeming belum menyentuhnya. “Ya, tapi tidak harus jadi seorang lonte.”
“Aku tidak mau jadi seorang lonte, Tante! Aku mau jadi pelacur!”
“Sama saja! Kalau hanya jadi perempuan pelacur untuk apa sekolah tinggi-tinggi, tidak membutuhkan ijazah atau pendidikan apa pun. Cukup paras yang cantik.”
“Sintia cantik kok, Tante,” aku memotong pembicaraannya. Tanteku tak menggubris.
“Beberapa tahun kemudian, setelah usiamu lanjut, wajah pun mulai keriputan, saat itu kau tersingkir. Jangankan orang muda. Orang tua renta saja tidak sudi memetikmu lagi.” Ia menyuguhkan makanan di depanku, kemudian menyuapi aku. Benar-benar membuatku bingung, aku tak mengerti kata-katanya.
Image by istockphoto.com