Hari itu (Rabu, 4 Desember), di beranda media sosial saya melintas sejumlah link berita dan status tentang pengumuman Pemenang Sayambara Novel DKJ 2019. Salah satu artikelnya berisi pertanggungjawaban dewan juri atas penentuan para pemenang dalam sayembara bergengsi tersebut. Linda Christanty, Nukila Amal dan Zen Hae adalah nama-nama juri yang terlibat.
Dari 216 naskah yang lolos seleksi, terpilihlah tiga naskah yang menjadi jawara tahun ini. Minanto meraih juara I dengan naskah Aib dan Nasib, juara II diraih naskah Sang Keris karya Panji Sukma Her Asih, dan juara III milik Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga karya Erni Aladjai.
Naskah pemenang pertama ini menurut juri: bercerita tentang kehidupan sejumlah warga desa Tegalurung, Jawa Barat. Naskah ini salah satu dari segelintir yang punya gairah eksperimen: mawas-bentuk, dengan fragmen-fragmen yang ketat, berlapis-lapis dan susul-menyusul. Fragmen-fragmen episodik yang ringkas satu-dua halaman itu tampak disiplin dan konsisten: bergerak beriringan, keluar-masuk, maju-mundur, hingga bagian akhir yang kembali lagi ke awal dalam bentuk sirkuler, dengan peralihan yang cukup mulus.
Penyusunan fragmen yang ketat membuat novel ini terasa padat, dengan akhir menggantung yang penuh kejutan hampir di tiap fragmen. Tokoh utama berjumlah cukup banyak, namun karakterisasi setiapnya bulat dan distingtif, saling menimpakan sebab dan akibat yang kait-mengait dalam aib dan nasib mereka. Meski tidak menggunakan bahasa Indonesia yang berpretensi sastrawi, novel ini dikisahkan dengan bahasa yang relatif baik dan lentur, serta humor khas daerah.
Usai saya membaca berita terkait Sayembara Novel DKJ tersebut, sekonyong-konyong saya mendapat tugas mewawancarai Minanto, pemenang sayembara novel DKJ 2019. Pemred Kurungbuka.com memberikan saya kontak sekaligus akun sosmed Mas Minanto.
Saya langsung mengajukan pertemanan di akun facebook Mas Minanto. Saya memperhatikan profilnya. Ada sesuatu yang langsung menarik perhatian saya di sana. Mas Minanto ternyata memiliki hobi body builder juga. Alih-alih mendapati sosok penulis yang ringkih atau tambun, saya mendapati sosok pemuda dengan otot tubuh bak binaraga. Sebuah fakta yang sangat menarik, sebab teman penulis yang saya kenal umumnya kurus kerontang atau chubby seperti saya.
Mas Minanto dalam pandangan saya telah (tanpa sengaja) mematahkan stereotip seorang penulis (cowok) yang hidup tidak teratur, banyak bergadang karena asyik membaca, menulis, atau sekadar mencari ilham dengan cara menggoda teman perempuan.
Selain menarik sebagai angle tulisan, siapa tahu saya ikut terinspirasi dari Mas Minanto, untuk hidup lebih teratur dan rajin berolah raga, karena misalnya ternyata itu bisa mem-boost kreativitas. Seperti kata pepatah, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa (dan daya pikir) yang kuat. Sayangnya Mas Minanto ternyata cukup pemalu dan menolak membahas seputar hobi selain menulisnya itu (saya curiga ini adalah kunci kesaktiannya dalam menulis hehehe….)
***
Baiklah, mari kita mulai simak hasil wawancara saya dengan Mas Minanto:
- Pertanyaan formal dulu ya, Mas. Saya ingin tahu tempat tanggal lahir dan sedikit cerita tentang seperti apa keluarga Mas?
Saya lahir di Indramayu, 6 Juni 1992. Bisa dibilang saya berasal dari keluarga kecil, anak pertama dari lima bersaudara. Saya menghabiskan masa kecil dan masa sekolah di desa Tegalurung bersama kakek dan mendiang nenek saya, namun sejak lulus kuliah saya tinggal di Singaraja bersama kedua orang tua dan adik-adik saya.
- Boleh ceritakan tentang kota dan desa tempat tinggal Mas Minanto, terkait dengan pengalaman masa kecil dan pandangan Mas saat ini.
Desa Tegalurung dan Singaraja itu bertetangga, namun berbeda kecamatan dalam kabupaten Indramayu. Tidak ada yang istimewa dari kedua desa itu. Saya tumbuh di antara keduanya, bolak-balik antara menjadi seorang anak dan menjadi seorang cucu, belajar nilai-nilai dan tatakrama bermasyarakat, memperoleh pengetahuan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap norma sosial yang ada. Ketika saya masih anak-anak, saya dididik dalam lingungan yang religius oleh nenek saya, namun di saat yang sama, saya juga dididik dalam lingkungan yang tidak-religius-religius-amat oleh ibu saya, sehingga memberikan pemahaman bahwa tidak semua orang memiliki pandangan sama terhadap sesuatu.
- Mas Minanto kenal dan belajar sastra dari mana? Sejak umur berapa mulai membaca karya sastra dan mulai menulis karya kreatif?
Sejak masih sekolah di Indramayu saya senang membaca apa saja karena saya senang dengan pelajaran bahasa Indonesia. Mula-mula dari kesenangan itulah saya mengenal sastra meskipun tidak paham apa itu sastra. Semasa kecil saya menulis buku harian dan menulis cerita pendek untuk dipajang di majalah dinding sekolah. Selepas dari SMK saya memutuskan untuk mengambil jurusan sastra Inggris di UNPAD. Pelan-pelan kemudian saya mengenal sastra dan berusaha untuk mendalaminya, mengenal beberapa penulis Amerika dan Inggris, mempelajari tubuh teks, membedah teks, membongkar pasang teks dalam kuliah penulisan kreatif.
- Adakah penulis dan buku yang Mas Minanto favoritkan?
Jika yang disebut dengan penulis favorit adalah penulis yang dapat membangkitkan gairah saya untuk menulis, saya akan menjawab James Baldwin, karena setelah membaca karya-karyanyalah, saya mulai berpikir untuk menuliskan cerita saya sendiri. Dalam karya-karyanya, terdapat kegelisahan yang sama dengan yang saya rasakan—tentang bagaimana menjadi seorang anak dalam relasi keluarga, tentang bagaimana menjadi seorang laki-laki dalam relasi gender, tentang bagaimana menjadi seorang individu dalam tatanan masyarakat.
- Apa makna sastra buat Mas Minanto? Apakah menjadi seorang penulis merupakan cita-cita, atau sekadar hobi?
Itu pertanyaan yang sulit dan saya merasa belum siap menjawabnya. Saya khawatir jawaban saya justru ngelantur dan malah menjadi ngawur. Begini, sebelumnya saya perlu mengatakan lebih dulu bahwa ketika saya menyebut “sastra”, bolehlah kata itu dimaknai sebagai “menulis”, sebagai kata kerja, sebagai upaya, usaha, ikhtiar. Bagi saya, sastra adalah bentuk halus dalam mengatakan sesuatu, entah itu kemarahan, kegelisahan, kecemasan, ketakutan, protes sekaligus respon kita terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita.
Menjadi seorang penulis bisa dikatakan sebuah cita-cita, bisa juga dikatakan bukan cita-cita. Sejak kecil saya suka seni, gemar dengan macam-macam kesenian. Percayalah, ketika saya masih kelas lima SD, saya dan teman-teman saya membentuk satu kelompok sandiwara keliling. Kami bermodalkan bilah-bilah papan dan kain tapih untuk dijadikan perlengkapan panggung-bongkar-pasang. Kami anak laki-laki semua. Itu kami lakukan atas demi kesenangan. Ketika masuk SMP, saya belajar bermain gamelan. Ketika itu pula, saya memajang cerpen-cerpen saya di majalah dinding sekolah.
- Apa profesi keseharian Mas Minanto?
Saya mengajar bahasa Inggris, tapi itu bukan profesi dan tidak dilakukan keseharian. Jadi boleh dibilang pekerja serabutan.
- Hal menarik lain yang saya dapati dari sosok Mas Minanto ternyata seorang pecinta kebugaran tubuh (hal yang setahu saya jarang didapati pada penulis). Mas Minanto aktif nge-gym dan menjaga kebugaran tubuh, ya? Apakah menurut Mas Minanto ada hubungannya kondisi tubuh yang prima dengan kecakapan menulis? Atau mungkin Mas Minanto punya filosofi sendiri terkait hobi body builder dengan menulis?
Baik berolahraga dan menulis sama-sama memerlukan proses, kesabaran dan ketelatenan. Banyak dari temen saya minta bimbingan olahraga, saran tentang nutrisi, dan bilang pengen membesarkan otot, tapi kalo dia sendiri tekadnya kurang kuat, percuma saja. Mirip dengan menulis. Banyak dari teman saya pengen jadi penulis, tapi duduk manis bikin satu paragraf saja, pantatnya sudah kepanasan hehehe….
- Hahaha, betul juga mas. Oh, iya, balik lagi ke novel, pesan utama apa yang ingin Mas sampaikan dari novel Aib dan Nasib?
Bagaimana jika Aib dan Nasib tidak berusaha menyampaikan satu pesan utama? Tapi, jika mau disederhanakan, dengan mengacu pada judul Aib dan Nasib itu sendiri, saya berusaha mengatakan bahwa semua orang itu pasti ingin berbuat baik tetapi ia juga tidak dapat menghindari sifat buruk. Dan, perihal pemilihan judul Aib dan Nasib, selain karena kedua kata itu memiliki kemiripan pelafalan, saya pun mempertanyakan mengapa kata “aib” dan “nasib” itu cenderung bermakna negatif.
- Apakah Mas sudah membayangkan naskah yang Mas tulis bakal menjadi pemenang lomba?
Tidak sama sekali.
- Bagaimana perasaan Mas Minanto setelah tahu menjadi pemenang pertama Sayembara Novel DKJ 2019?
Senang sekali.
- Apa rencana Mas ke depan? Karya apa yang sedang Mas Minanto persiapkan?
Saya mempunyai rencana yang tidak pasti, tetapi yang pasti dari ketidakpastian itu adalah saya tidak akan berhenti menulis.
- Kalau boleh, saya ingin membaca tiga bab pertama novel Mas Minanto….
Aib dan Nasib memiliki lima bab besar yang di dalamnya terdapat fragmen-fragmen episodik yang menceritakan kesalingterhubungan antar tokoh-tokoh utama. Jadi, jika saya berikan tiga bab Aib dan Nasib, itu sama dengan membeberkan setengah jalan cerita.
- Kalau begitu, saya tunggu terbitnya, Mas. Terima kasih atas waktunya~
***
Selain Aib dan Nasib, Mas Minanto ini juga sudah menulis dua novel lainnya berjudul Semang (Diandra Creative, 2017)—sebelumnya pernah diikutsertakan juga di Sayembara Novel DKJ tahun 2016, dan kalah—dan Dulatip Ingin Membenturkan Kepalanya ke Tembok Setiap Kali Ia Dibertahu Kabar tentang Orang Tua (Indie Book Corner, 2018).
ya, wajar juga jadi juara. Sarjana sastra!!!!