Apa yang akan dikatakan seluruh orang Samarinda jika tahu hari itu aku, pada akhirnya, memutuskan untuk mandi?

            Aku enggan menebak-nebak. Meski tahu saja kalau yang akan keluar dari mulut orang-orang itu adalah aku tak mencintai kota buruk ini, atau lebih-lebih lagi, dengan sengaja membuat kota yang di ambang karam ini makin tenggelam. Sebab bagi mereka, aku tak lebih dari seorang pengendali cuaca, dan mandi adalah caraku memanggil awan hitam yang sejenak kemudian memantik badai. Atau, setidaknya, itu yang mereka percayai.

            Sudah dua tahun terakhir aku dipaksa untuk tak mandi. Semuanya dimulai dari sebuah mimpi konyol yang kuceritakan pada Fardan.

            “Aku bermimpi,” kataku.

            “Mimpi apa?”

            Sejujurnya saat itu aku ragu untuk mengatakannya, tapi aku tetap menyelesaikan ceritaku. “Aku bermimpi hujan turun begitu lebat saat aku mengguyur kepalaku dengan gayung, dan ketika aku bangun, gang rumahku sudah digenangi air setinggi paha orang dewasa.”

            Mendengar penjelasanku, ia mengangguk kemudian mengajakku untuk bertemu pamannya yang menjabat sebagai kepala BMKG. Paman Fardan terkejut bukan main ketika mendengar mimpiku. Ia kemudian mengajakku bekerja di BMKG agar cuaca di Samarinda lebih mudah diprediksi.

“Belakangan, BMKG sudah tak bisa lagi memprakirakan cuaca, terlebih di Samarinda. Pagi bisa hujan, siang panas terik. Lalu besok sebaliknya,” ujarnya membuka obrolan di perjalanan. “Kalau kau bekerja di sini, tugasmu hanya satu.”

“Apa?” tanyaku.

“Tolong kendalikan cuaca di Samarinda dengan kekuatanmu. Paling tidak, pastikan hujan tak turun kelewat lebat.”

            Saat kukatakan aku tak punya kekuatan untuk mengendalikan hujan apa lagi cuaca, lelaki dengan rambut kepala hampir habis itu hanya mengangkat bahu dan menjawab bahwa aku hanya tak sadar dengan itu.

***

            Pada akhirnya aku memutuskan untuk mandi setelah dua tahun membiarkan daki dan keringat membalut tubuhku. Membiarkan tubuhku yang sebelumnya segar jadi kusam, dan tak terawat.

            Hari itu, ketika aku pergi untuk mengambil tiket konser musik, seorang wanita juga ikut berdiri di baris antrian yang sama denganku. Ia tak cantik, tapi cukup manis dengan rambut yang diikat bak ekor kuda, serta kacamata berbingkai tebal. Usai mengambil tiket, aku sengaja menunggu wanita itu di depan pintu penukaran tiket dengan harapan bisa mencegatnya.

Butuh waktu bagi wanita itu untuk sampai pada gilirannya, dan aku memutuskan menunggunya sambil duduk meleseh di lantai, persis di samping pintu utama kantor pengambilan tiket konser musik itu. Sambil menunggunya, aku membayangkan banyak hari-hari baik yang bisa kami lakukan berdua.

Tapi hari itu tak datang, dan memang tak akan datang. Sebab yang terjadi setelahnya adalah hal yang bahkan tak kuduga.

Secara teknis, tak ada pintu lain untuk keluar dari kantor itu selain melalui pintu utama yang bersebelahan dengan tempat aku duduk meleseh di lantai. Dan wanita itu tak mungkin melesat dari jangkauanku. Atau, kalaupun ia melesat pergi dari pandanganku, itu sudah pasti adalah akibat dari kecerobohanku.

Setelah melihatnya berdiri di ambang pintu secara tiba-tiba, aku segera menyodorkan tanganku untuk mengajaknya berkenalan. Dan ia tersenyum ke arahku—tapi bukan senyum yang kuharapkan. Senyum yang kecut, seperti wajah yang baru saja mencicipi jeruk yang terlampau asam.

“Maaf, aku tak punya uang kecil,” ujarnya.

Aku tersentak, tentu saja. Aku tak berharap bahwa tubuhku yang dekil, dan pakaianku yang butek bisa membuatnya berasumsi bahwa aku adalah seorang pengemis, maksudku, apakah ia tak melihatku yang turut mengantre tiket sebelumnya? Tapi begitulah yang terjadi.

            Tanganku yang menggantung di udara segera kutarik.

            Sesaat ia mengira aku tak jadi mengemis padanya. Wajahnya segera berubah, lalu seperti mencari seseorang tatapan matanya dengan cepat menghadap ke kiri atau ke kanan. Dan dari belakangnya, seorang lelaki dengan pakaian yang terlampau ketat datang.

            Aku masih di posisi yang sama. Duduk. Membeku. Lalu lelaki itu—yang datang menghampiri wanita itu, segera merogoh kantong celananya yang sama ketatnya dengan bajunya, lalu mengeluarkan uang dengan pecahan sepuluh ribu kepadaku.

            Wanita itu pulang, dengan lelaki berpakaian ketat itu. Sedangkan aku menciumi ketiakku sendiri, dan sesekali menggores jari di kulitku. Memastikan kembali kebersihan tubuhku.

***

Sehari sebelum konser musik itu, aku sengaja mendatangi Fardan di malam hari, dan memberikan tiketku padanya. Ia berterima kasih, dan bertanya mengapa aku memutuskan memberikan tiketku, kukatakan bahwa aku tak ingin datang.

“Kau jangan mandi, Ry,” ucap Fardan.

“Besok? Tentu saja,” jawabku.

Ia kemudian membuka aplikasi cuaca di ponselnya. Bibirnya tersenyum setelah melihat prakiraan cuaca untuk hari esok adalah cerah.

“Aku senang kau paham,” ujarnya. “Orang-orang di kota membosankan ini butuh hiburan, dan konser yang baik mestinya tidak diganggu cuaca.”

Mendengar ucapannya, aku mengangguk. “Lagi pula, aku bisa dipecat pamanmu kalau aku memaksa mandi di luar intruksinya.”

Dan segera setelahnya aku berpamitan untuk pulang.

Malam itu suasana Samarinda memang sangat panas, tubuhku yang biasanya tak cerewet akhirnya merasakan kegerahan juga. Barangkali, sebenarnya aku lebih merasa gerah akibat sikap wanita itu ketimbang cuaca, oleh sebab itu aku tak menghiraukan tubuhku. Tapi aku justru tak bisa tidur.

Mataku masih terjaga ketika di luar terdengar suara azan tubuh. Dan sebagaimana firman Tuhan, sebaik-baiknya seorang hamba, adalah hamba yang membersihkan dirinya sendiri. Maka aku mencuri-curi kesempatan pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahku.

Betapa menyegarkan, ternyata, bersentuhan lagi dengan air. Kulit wajahku terasa ringan, dan mataku terasa lebih ringan dan santai. Di luar, terdengar rintik-rintik air saat aku jatuh terlelap.

Aku terbangun ketika sore hari tiba. Di ponselku sebuah pesan gambar masuk dari Fardan. Seorang wanita dengan pasangannya, berpagutan melengkapi tubuh satu sama lain di tempat konser. Wanita yang sama yang beberapa hari lalu mengira aku seorang pengemis.

Kegerahanku makin tak tertahankan. Asumsi bahwa kegerahanku adalah karena sikap wanita itu berusaha kuenyahkan.

“Ini karena cuaca Samarinda,” batinku.

Maka aku segera berlari ke kamar mandi tanpa membuka baju sama sekali mengguyur habis tubuhku, memasuki bak mandi, dan menyalakan kran air tepat di atas kepala.

Badai dengan angin kencang datang entah dari mana—mematahkan prakiraan cuaca di ponsel Fardan, saat aku menikmati air menyentuh kulitku.

Aku sudah tak peduli jika besok aku tak bekerja lagi, Samarinda karam lebih dini, Fardan datang memaki, atau wanita itu dengan pasangannya justru bercumbu hingga pagi hari.

*) Image by istockphoto.com

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang menarik lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<