Pagi itu Manu bangun dengan tubuh segar bugar. Ia berencana mengunjungi kawasan cagar alam Nusa Permai untuk melihat harimau yang dikabarkan baru saja melahirkan. Bersama Herman, kawan lamanya, Manu sedang menyiapkan film dokumenter tentang cagar alam itu. Harimau yang baru melahirkan bisa membuat film mereka kian menarik; para pecinta satwa bakal bungah hatinya, dan mereka bakal memberi pujian bagi siapa saja yang berhasil merekam bagaimana hewan buas itu merawat anaknya. Di samping itu, sebuah lembaga dana yang memusatkan perhatian pada isu lingkungan dan keberlanjutan hidup bakal siap membiayai proyek mereka.
Cagar alam Nusa Permai terletak di dataran tinggi; bisa dicapai setelah menempuh perjalanan selama lima jam ke arah utara kotamadya. Orang harus melintasi jalan menanjak dan menurun serta berkelok-kelok dengan bukit-bukit di sebelah kanan dan jurang di sebelah kiri, sebelum sampai ke daerah permukiman. Setelah itu mereka harus melewati dua desa sebelum masuk ke kawasan cagar alam.
Hari itu, tidak ada halangan berarti bagi Manu dan Herman. Sejak awal semuanya memang tampak mudah. Seorang kawan bersedia meminjamkan mobilnya; mereka juga sudah mendapat izin masuk kawasan dan mengambil gambar. Seorang petugas menemani mereka, meski mereka tahu bahwa petugas itu sebetulnya bukan menemani, melainkan mengawasi mereka. Meski begitu, petugas itu bersikap ramah dan banyak membantu.
Sebelum kembali ke kotamadya, Manu dan Herman mampir ke pondok si petugas. Di pondok itu mereka disuguhkan daging bakar. Petugas itu berkata bahwa daging itu adalah daging menjangan.
“Menjangan yang masih muda. Tapi ia sekarat. Mungkin karena berkelahi dengan menjangan lain atau, entah bagaimana, lolos dari pemangsa meski sudah terluka. Daripada mati sia-sia kami menyembelihnya. Kami tidak menyangka ternyata menjangan itu sedang mengandung,” ucap si petugas seraya terbahak-bahak. “Tapi, daripada dimakan kuntilanak?” tambahnya.
Baik Manu maupun Herman tidak tertarik dengan pembicaraan perihal segala macam setan atau hantu. Namun, si petugas terus bercerita. Ia bilang, Desa Loke, yang terletak paling dekat dengan cagar alam, sebetulnya dihuni segala macam setan. Manu dan Herman menanggapi cerita si petugas lebih karena mereka sedang girang disebabkan angan-angan akan rencana mereka yang berjalan lancar. Pendeknya, hari itu akan jadi hari yang menyenangkan, seandainya pada malam harinya Manu tidak menerima telepon dari Weni.
“Kamu yakin?” tanya Manu. Ia bisa merasakan jantungnya berdenyut lebih cepat.
“Seratus persen,” jawab Weni.
“Kita harus membicarakannya. Besok, pagi-pagi sekali, di Utero.”
Setelah menutup telepon, seluruh kegembiraan Manu yang tadi berpendar-pendar, kini tinggal rasa pegal di badan. Berbagai bayangan muncul di benaknya dan semua bayangan itu mencemaskan.
Keesokan paginya, di kedai Utero, Manu berkata: “Mustahil. Aku tidak siap. Semua rencanaku bisa berantakan. Kenapa kau tidak bilang kalau kau sedang tidak aman?”
Weni menatap Manu dengan bimbang seraya tangannya menggerakkan garpu di atas piring berisi roti bakar. Manu ingin keputusan diambil hari itu juga, dan ia berharap Weni akan sepakat.
“Saya juga tidak tahu,” jawab Weni.
“Tidak tahu? Apakah kau tidak berhitung? Biasanya kau sangat teliti dalam soal itu. Bukankah kau juga tidak mau semua rencanamu berantakan? Kau bisa diberhentikan dari kantormu.” Manu mendesakkan kata-katanya seakan kata-kata itu adalah makanan yang hendak dijejalkan ke mulut orang yang sedang sakit.
Weni menggeleng dan bertanya: “Sekarang bagaimana?”
“Bagaimana apanya? Sudah jelas ini tidak bisa dibiarkan. Seharusnya hari ini aku mengurus pekerjaanku, bukan berada di tempat ini.”
“Saya juga tidak menginginkannya. Tapi semua sudah terjadi. Tidak mungkin ditolak.”
“Terus bagaimana? Apakah kau setuju kalau ini tidak bisa dibiarkan?”
Mata Weni memicing. Ia baru saja hendak memasukkan sepotong roti ke mulutnya. Tangannya tertahan di udara, beberapa senti di atas meja.
“Maksudmu, kamu memintaku untuk…”
Beberapa orang masuk kedai sambil tertawa-tawa, menimbulkan suasana yang tidak mengenakkan. Mata Weni mengikuti mereka sampai mereka berdiri di depan konter pemesanan. Mungkin mereka pasangan-pasangan muda yang sedang berbulan madu.
“Dengar,” kata Manu sembari mendekatkan tubuhnya ke arah Weni. “Kalau kau tidak setuju, aku terpaksa bertindak. Terpaksa, aku bilang. Kau harus mengerti bahwa saat ini kita sama-sama belum siap.”
“Jadi kamu benar-benar memintaku untuk..”
“Iya. Apakah ada jalan lain?”
“Tidak. Aku tidak mau.” Weni terkesima oleh pertanyaan Manu. Kata-kata Manu selanjutnya bahkan terasa tidak nyata baginya.
“Lakukan, atau aku akan menyebarkan video yang kubuat!”
Weni ternganga. Bukan cuma karena ancaman itu nyata, melainkan juga karena ia tak menduga bahwa Manu telah merekam perbuatan mereka; perbuatan yang mereka lakukan berdasarkan cinta dan kasih sayang. Sungguh ajaib, bagaimana mungkin perbuatan yang dilakukan dengan cinta dan kasih sayang bisa jadi begitu mengancam?
Weni mendorong kursi ke belakang, berdiri, lalu meluncur bagai tak menjejak lantai, ke pintu keluar.
***
Mendengar cerita Manu, Herman terbahak-bahak. Manu tidak bisa meraba apa yang menyebabkan kawannya itu terbahak. Cerita yang disampaikannya tadi sama sekali tidak lucu. Saat itu hampir tiga minggu setelah pertemuannya dengan Weni di kedai Utero. Selama itu Manu benar-benar risau. Ia belum yakin Weni akan melaksanakan permintaanya. Sementara itu, Weni tidak bisa dihubungi. Ia sempat sekali mencari Weni di kantor serta kamar kontrakannya, tapi Weni tidak ada. Sekarang Manu bingung apa yang harus dilakukan. Maka, ia berkunjung ke rumah Herman untuk meminta saran.
“Kau betul-betul keji, kawan,” ujar Herman. “Tapi, terus terang saja, aku ada di pihakmu. Kalau masalah itu kau biarkan, semua proyek yang sudah susah payah kita rencanakan akan berantakan. Bagaimana nasibku nanti? Aku sudah muak bekerja di perusahaan media yang memberiku gaji luar biasa sedikit tapi tugas yang luar biasa banyak ini. Aku sedang jadi budak, dan aku tidak mau jadi budak selamanya. Kau lihatlah ini, bayangkan, tugasku membuat konten tentang kuntilanak! Apa orang-orang ini tidak punya otak?”
Herman menggeser laptopnya sedikit supaya Manu dapat melihat apa yang sedang dibuatnya. Manu melirik laptop itu tanpa minat. “Seperti cerita petugas cagar itu,” ucapnya lirih.
“Iya. Dan kejadiannya juga di desa Loke Timur. Memang bukan desa Loke yang disebut petugas itu sebagai desa yang dihuni setan-setan. Tapi tetap dekat dari sana, desa tetangganya.”
Di layar laptop terlihat seorang laki-laki yang bercerita bahwa ia telah melihat kuntilanak berkeliaran di desa mereka. Laki-laki itu yakin bahwa kuntilanak mengincar janin hewan ternak untuk disantap. Ia membuktikan perkataannya dengan menunjukkan bukti seekor kambing yang bersimbah darah. Kambing itu sedang mengandung, meski masih jauh dari saat melahirkan. Kambing itu belum mati saat ditemukan, tapi konon janinnya menghilang. Si pemilik kemudian membiarkan kambing itu mati. Kabarnya, para warga bergidik setelah melihat video rekaman kemunculan kuntilanak itu.
“Di tempat itu banyak anjing liar. Dengan otak yang sehat seseorang pasti tahu bahwa itu perbuatan anjing liar yang sedang lapar,” ucap Herman, “Atau mungkin juga harimau,” tambahnya.
“Video kuntilanak itu benar-benar ada?” tanya Manu seakan tertarik.
“Ada,” jawab Herman. “Tapi seperti biasa, gambarnya tidak jelas dan berdurasi sangat pendek. Seperti yang kita lihat di akun-akun sampah itu.”
Herman menutup laptopnya, lalu bertanya: “Omong-omong, Weni berasal dari Desa Loke, kan?”
“Bukan,” jawab Manu. “Keluarga ibunya yang, kalau tidak salah, berasal dari sana.”
“Oh. Mungkin dia pulang ke rumah keluarganya. Jadi, bagaimana sekarang?”
“Aku belum memutuskan apa yang harus kulakukan.”
“Kau mau menyebar video itu?”
Manu diam sesaat, sebelum menjawab: “Sebenarnya tidak ada video…”
***
Tiga hari setelah Manu bercerita kepada Herman, Weni tiba-tiba muncul. Manu sedang membolak-balik badannya, dan belum juga bisa tidur, ketika bel pintu berdenting. Di dekat pintu Manu bertanya siapa di luar dan terdengarlah suara yang dikenalnya.
Mereka duduk di sofa tua yang diletakkan di satu ruang yang merupakan satu-satunya ruangan selain kamar tidur. Di mata Manu, paras Weni tampak pucat. Ia mengenakan daster putih serta jaket jins lengan panjang di bagian luar. Di tangan kanannya tergenggam selembar tas dari bahan kain.
“Kenapa kau tidak bisa dihubungi? Aku sudah hampir menyebarkan video itu,” ucap Manu. Weni tak menanggapi.
“Sudah kau lakukan?” tanya Manu kembali. Weni tetap tak menanggapi. Manu menjulurkan tangannya, menyentuh bahu Weni. “Sudah kau lakukan?” ulangnya.
“Belum,” ucap Weni lirih. Manu langsung menarik tangannya. “Baik. Kau akan melihat sendiri bagaimana aku menyebar video itu.” Manu bangkit hendak mengambil telepon genggamnya. Namun, didengarnya Weni berseru: “Kamu akan menghapus video itu kalau aku melakukannya?”
Manu mengangguk. “Tentu. Aku sungguh tidak punya niat menyebarkannya kalau saja situasi ini tidak terjadi.”
Tiba-tiba Weni melempar tas yang sedari tadi ada dalam genggamannya ke meja di hadapan Manu. “Apa ini?” tanya Manu. Weni diam. Manu kembali duduk. Tangannya pelan-pelan membuka tas. Bau amis terhidu. Mata Manu terbelalak melihat segumpal kecil daging terbungkus kain di dalam tas itu.
“Itu anakmu,” kata Weni.
Entah kenapa, sekonyong-konyong Manu teringat cerita kuntilanak itu.
Kekalik, Januari 2024
*) Image by istockphoto.com
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang seru dan menarik lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<







