KURUNGBUKA.com – Hidup di daratan tidak selamanya menyenangangkan. Kita kadang bosan. Yang dicari adalah tantanga. Laut adalah tujuan. Bertamasya ke laut dapat memberikan bandingan selama hidup di daratan. Laut yang memberi gejolak dan keajaiban. Mereka yang berada di laut adalah pembuat biografi yang berombak dan berbadai, selain keindahan dan ketakjuban.

Edith Unnerstad dalam novel berjudul Tamasya Laut (1988) mengisahkan keluarga yang berhitung pengalaman dengan laut. Anak-anak yang menginginkan tamasya di laut, yang membutuhkan restu dan petunjuk orangtua. Laut bukan sekadar pemandangan yang biru. Laut kadang memberi keganasan yang membuat dunia berubah, termasuk menentukan nasib umat manusia.

Yang disampaikan orangtua kepada anak-anak: “Kami wajib selalu mengirim kabar ke rumah. Setiap hari kami wajib mencatat pengalaman dalam buku laporan perjalanan.” Selama tamasya laut diusahakan segalanya bermakna. Ingatan anak-anak terbatas. Maka, mereka dianjurkan rutin menulisnya. Apa-apa yang dialami mungki berulang tapi tulisan yang akan dapat menyingkap hal-hal yang (tak) tersadari.

Kita ingat para petualang masa silam. Mereka yang pergi jauh dengan naik kapal, mendatangi benua atau negeri. Ynng dilakukan adalah membuat tulisan, lukisan, dan lagu, Mereka yang mewariskan segala pengalaman tertulis memberi hikmah bagi generasi setelahnya dalam mengetahui sejarah peradaban dunia.

Namun, yang diceritakan oleh Edith Unnerstad adalah anak-anak yang memiliki banyak keinginan di laut. Mereka memang mewarisi dongeng dan sejarah yang besar tapi tak ada kewajiban bagi mereka ikut mengubah dunia. Yang terpenting adalah tamasya.

*) Image by bukubukubekas

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<