“Kau sudah bangun rupanya,” ujar seorang lelaki yang suaranya tidak terlalu asing di telingamu. Kamu merasa pernah mendengar suara itu di suatu tempat, tapi kamu tidak bisa ingat di mana. Kamu juga tidak tahu sudah berapa lama dan karena apa kamu pingsan. Tubuhmu begitu lemas hingga tak mampu kamu gerakkan dan matamu begitu berat untuk dibuka.
Kamu terbangun di suatu ruangan asing, ruangan yang cukup luas, tapi minim pencahayaan. Hanya sebuah lampu renta yang letaknya tak jauh dari kepalamu yang menerangi ruangan itu, dan lampu itu tidak cukup mampu membuatmu menangkap setiap jengkal benda yang ada di ruangan itu.
Kamu mendengar suara langkah kaki mendekat. “Siapa kamu?” tanyamu. Tidak ada jawaban. “Bau apa ini?” tanyamu begitu bau busuk menusuk hidungmu. Masih tidak ada jawaban.
Pelan-pelan matamu beradaptasi pada pencahayaan yang buruk dan kamu mulai bisa melihat dengan jelas bahwa dirimu sekarang berada di sebuah ruangan yang mirip gudang pabrik tua. Kamu mencoba berdiri. Tidak bisa. Rupanya kaki dan tanganmu terikat pada kaki dan tangan kursi.
Lelaki itu melangkah mendekatimu. Cahaya redup lampu mencapai wajahnya. “Pak Torikh!” Kamu terkejut begitu mengenali lelaki berkacamata itu. Tubuh lelaki itu terlihat begitu kurus, jauh lebih kurus dari terakhir kamu melihatnya dulu. Kumis dan rambutnya yang tipis pun telah berubah warna. Kini, kumis dan rambutnya berwarna perak, dan itu menambah kesan ringkih penampilannya. Tapi ada satu hal yang mau tidak mau membuatmu bergetar menatap lelaki itu: matanya yang tidak pernah bisa kamu mengerti alasannya selalu membuatmu merinding setiap menatapnya.
“Apa-apan ini, Pak?”
“Pengadilan,” kata Torikh datar.
Tidak ada perubahan ekspresi ketika dia mengatakannya. Tidak sedikit pun emosi tertangkap di telinga maupun matamu. Tapi justru itu yang membuatmu semakin takut. Tidak bisa tidak, keringat dingin mengucur di setiap celah pori-pori tubuhmu.
“Oh ya, tadi kamu tanya bau apa. Maaf saya tidak bisa membawa teman-temanmu dalam keadaan utuh,” kata Torikh. Dia menunjuk ke sisi kirimu membuat lehermu refleks menoleh. Agak susah untuk mengetahui dua buah benda bulat yang ditunjuknya. Namun, begitu kamu menyadari benda apa itu, seketika lehermu tegang, bulu-bulu di tengkukmu meremang.
“Pak, ampun, Pak. Ampun!” Kamu memohon-mohon. Kamu berusaha bangkit dari kursi tempatmu terikat. “Maafkan saya, Pak. Saya sudah siap menjalani hukuman, tapi bapak sendiri yang menarik laporannya.”
“Oh, itu. Saya tidak percaya pada pengadilan. Apalagi untuk anak-anak orang kaya seperti kalian. Bukan sekali dua kamu tersandung kasus dan bebas, kan? Jika pun dilanjutkan kamu dan teman-temanmu hanya akan dihukum beberapa bulan, paling lama dua tahun. Itu tidak setimpal.”
Kamu menelan ludah. Kamu menjerit-jerit, berteriak memanggil bantuan, berharap ada yang mendengarnya.
“Percuma saja. Ini jauh dari mana pun. Suaramu tidak akan sampai ke telinga manusia. Kamu pikir kenapa saya melepaskan kalian? Apa saat itu kamu sebegitu bodohnya hingga berpikir saya ini seorang pemaaf?” Torikh tertawa keras. “Semua sudah saya perhitungkan. Jika pun ada satu yang tidak saya perhitungkan adalah apa yang terjadi kepada ibunya Liana.” Ketika mengatakannya wajahnya tampak sedih.
Kamu kemudian teringat pada istri lelaki di hadapanmu. Wanita itu begitu ngotot untuk menyeret kamu dan ketiga temanmu ke pengadilan. Dia menuduh kamu bertanggung jawab atas kematian anaknya setelah dia menemukan buku harian peninggalan Liana. Buku harian itu ditemukan di kamar tempat gadis itu menggantung diri.
“Kamu tahu, aku sudah mengatakan kepada Diana untuk tidak usah melanjutkannya. Dia tidak mendengarkan. Dia yakin hukum bisa menolongnya mendapat keadilan. Dia keliru. Hukum bukan diciptakan untuk menolong orang, tetapi untuk menertibkan masyarakat. Akhirnya dia hanya mempermalukan dirinya sendiri dan…” lelaki itu tidak melanjutkan.
“Dan kalian seperti dugaanku, bebas bersyarat.”
“Kami bebas karena kami tidak bersalah, Pak. Liana bunuh…”
Lelaki itu meninju rahangmu. Pukulannya tidak keras, tapi cukup menyakitkan. “Tidak ada orang yang tidak bersalah di dunia. Apalagi orang-orang seperti kalian.”
“Bapak tidak tahu kebenarannya. Tidak semua yang tertulis di buku harian itu benar. Liana menyembunyikan sesuatu….”
Lagi-lagi kamu tidak bisa menyelesaikan kata-katamu. Lelaki itu kembali menghantamkan tinjunya. Kali ini bibirmu yang jadi sasaran. Kamu bisa merasakan mulutmu asin.
“Kamu memperkosa anakku.”
“Tidak!” katamu berteriak. “Kami melakukannya atas dasar suka sama suka.”
“Kamu merekamnya diam-diam.”
Kamu diam. Kamu tahu apa yang dikatakannya benar. Liana memang tidak tahu kamu merekamnya. Tidak sampai kamu mengancam agar dia bungkam. Meski begitu, kamu tidak pernah menyebarkan rekaman itu.
“Kamu tahu apa yang terjadi pada ibunya Liana?”
Kamu tidak tahu apa yang terjadi pada wanita impulsif itu. Setelah gagal membuktikan kamu merekam adegan persetubuhan itu karena tidak berhasil dihadirkan ke persidangan, setelah saksi membuktikan Liana datang ke pesta itu atas inisiatifnya sendiri, setelah kamu memberikan bukti Liana bukanlah gadis polos seperti yang orangtuanya pikirkan, wanita itu mengamuk dan menusuk perutmu dengan gunting. Setelah itu dia ditangkap dan kamu tidak lagi mendengar kabarnya. Lalu suaminya mencabut tuntutannya.
“Sejak hari itu istriku depresi dan mendekam di rumah sakit jiwa.”
“Dia… dia butuh pertolongan,” katamu tergagap.
“Ya, dia memang butuh pertolongan. Siapa yang tidak, setelah tahu anak gadis satu-satunya diperkosa. Siapa yang tidak, setelah anaknya yang mati bunuh diri dipermalukan di depan umum.”
“Saya sudah berusaha, Pak. Saya sudah menghubungi bapak dan ibu, meminta bapak dan ibu untuk tidak melanjutkannya.”
Torikh tidak membalas. Dia pergi mengambil sesuatu lalu kembali dengan menyeret meja beroda menuju kasur di sebelahmu. Keringat mengucur semakin deras dari tubuhmu ketika kamu melihat benda-benda apa yang ada di atas meja itu. Di atas meja itu ada loyang berisi tang, silet, pisau bedah, palu, paku, dan benda-benda yang membuatmu sesak napas. Kemudian kamu melihat lelaki itu mengeluarkan jarum suntik.
“Kumohon ampuni saya. Jangan bunuh saya!”
“Oh ini—ini racun ikan buntal, tetradoksin,” jelasnya sambil menggoyang-goyangkan jarum suntik di tangannya, “ini tidak akan membunuhmu, hanya akan membuat lumpuh. Tenang saja, tidak benar-benar lumpuh. Tetradoksin tidak mengambil keseluruhan fungsi neurologis. Kamu mungkin tidak bisa menggerakkan tubuhmu, tapi kamu masih bisa merasakan segalanya.”
Kamu tidak henti-hentinya memohon ampun. Kamu berkata akan memberikan apa pun yang diinginkan lelaki itu. “Ya, kamu memang akan memberikan apa yang kuinginkan,” kata lelaki itu dingin. Kemudian lelaki itu tertawa lalu menyuntikkan tetradoksin pada tubuhmu. Tidak butuh waktu lama racun ikan buntal itu membuatmu lumpuh. Namun, seperti yang dikatakannya, tubuhmu tidak mati rasa, kamu dapat merasakan ketika dia membuka ikatan pada tangan dan kakimu lalu memindahkan tubuhmu yang tak berdaya dan membaringkan tubuh ke kasur.
Napasmu semakin memburu. Lelaki itu memperhatikannya. “Apakah jantungmu berdebar-debar?” tanyanya. Kemudian dia memegang dadanya sendiri. “Jantung saya berdebar sangat. Saya benar-benar tidak sabar. Sepertinya kamu juga.”
Kamu sebenarnya ingin sekali mengatakan kepada lelaki itu bahwa selama dua tahun ini, kamu telah mencarinya. Kamu mencarinya di perguruan tinggi tempat dia mengajar, kamu mencarinya di rumahnya, kamu mencari ke segala tempat yang mungkin dia kunjungi, tetapi dia tidak bisa ditemukan di mana pun. Kamu ingin meminta maaf, sebenar-benarnya minta maaf. Kamu ingin menjelaskan kepada lelaki itu apa yang sebenarnya terjadi. Tidak semua fakta persidangan itu palsu. Kamu ingin memberitahu sebuah rahasia tentang Liana yang hanya kamu dan kedua temanmu yang tahu.
Ketika mabuk, Liana mengaku bahwa dia memiliki sebuah fantasi; sebuah fantasi yang ingin dia wujudkan, setidaknya sekali seumur hidup. Liana memintamu membantunya untuk mewujudkan fantasi itu, karena itu kamu meminta bantuan kedua temanmu. Namun, ketika sudah setengah jalan, Liana minta berhenti. Sayang berahi sudah menguasaimu dan kedua temanmu, dan ketika kamu sadar, semua sudah terlambat. Kamu ingin mengatakan itu kepada lelaki itu. Tapi lidahmu telah beku dan tubuhmu telah lumpuh.
Lelaki itu mengeluarkan lagi sebuah jarum suntik. Matamu melirik cemas pada benda di tangannya. Kemudian seperti halnya sedang berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswanya, dia menjelaskan: “Ini adalah adrenalin, buat jaga-jaga kalau kamu pingsan. Kamu tidak boleh pingsan. Dan ini besi panas untuk menghentikan pendarahanmu. Kamu tidak boleh mati terlalu cepat.”
Lelaki itu tampak sibuk memilih perkakas yang pertama akan dia gunakan. Dia benar-benar tidak mampu menyembunyikan gairah di wajahnya.
“Eh, hampir saja lupa,” katanya, dia berjalan agak berlari mengambil sesuatu: sebuah kamera beserta tripod. “Saya butuh mendokumentasikannya sebagai hadiah untuk ayah dan ibumu.” (*)
Gang Metro, 2021-2022