KURUNGBUKA.com – (13/06/2024) Buku-buku lama memuat ingatan-ingatan. Yang membaca kadang capek untuk sampai ke zaman silam. Ia melalui jalan kata yang sulit. Di tengah perjalanan, pelbagai pengertian yang sudah “menghilang”, “tertutup”, “tersembunyi”, atau “terlupakan” minta diperhatikan.
Pembaca adalah pencari yang mudah dirundung capek, bingung, dan takjub. Pada abad XXI, Indonesia masih memiliki orang-orang yang menaruh dirinya dalam arus bacaan lama. Ia tidak ingin menjadi manusia masa lalu tapi berikhtiar membuka lagi yang silam agar diketahui untuk masa sekarang. Pengetahuan tidak pernah utuh.
Yang menulis buku kesilaman adalah Zoetmulder. Ia menghasilkan buku yang moncer berjudul Kalangwan. Buku dibaca dan ditanggapi Swantoro, yang “menghidupkan” lagi yang lama-lama. Di situ, kita membayangkan kesilaman penulis dan pembaca. Swantoro menyatakan ulang: “Jadi, pujangga adalah seorang ‘yogi sastra’.
Pujangga tidak cuma memohon kepada istadewata agar gubahan-gubahannya tidak sekadar menjadi ‘yantra’, tetapi juga supaya gubahannya itu sekaligus menjadi ‘silunglung’, sesuatu yang menemani, memberi kekuatan, menopangnya menempuh perjalannya terakhir, perjalanan yang tidak mengenal lagi langkah-balik.”
Kita yang membaca penjelasan itu gampang menyerah, tidak mau kelelahan untuk paham. Yang terbaca adalah beberapa kata atau istilah yang kita tidak mengetahuinya lagi tergunakan dalam abad XX dan XXI. Artinya, kesilaman itu masih memungkinkan bagi kita mengetahui peran pujangga, pengarang, atau penulis.
Penyebutannya memang berbeda tapi kita makin susah mengetahui batas-batas (tipis dan tebal) beragam sebutan untuk orang yang menggubah atau menghasilkan tulisan. Sebutan yang mulanya sakral.
(P Swantoro, 2002, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, Kepustakaan Populer Gramedia)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<