“Untuk mendapatkan uang saku, Tjio Wie Tay (Masagung) berani menjual buku kakaknya diam-diam ke Pasar Senen yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Sampai-sampai, Tjio Wie Tay mempunyai langganan yang selalu siap membeli buku yang dibawanya.”

(Rita Sri Hastuti, Ketut Masagung: Bapak Saya Pejuang Buku, 2003)

KURUNGBUKA.com – Pada saat masih remaja, ia mengerti buku itu dagangan yang menghasilkan uang. Buku bukan cuma untuk dipelajari di sekolah atau hiburan di rumah. Buku-buku adalah dagangan. Buku bekas masih memiliki harga. Yang teringat adalah masa lalu saat Masagung hidup dalam keluarga miskin. Ia tumbuh dalam suasana koloniali yang berlakon derita dan memaksa munculnya keberanian.

Masagung, dulunya adalah “pencuri” yang beralasan membutuhkan uang untuk jajan. Ia sudah mengenali buku (bekas) dan perdagangan di Pasar Senen. Ia mungkin tidak berniat mempelajarinya tapi mendapatkan bekal ketika memutuskan menjadi pedagang. Diri yang menjadi dewasa, diri yang belajar perdagangan: dari perdagangan kecil-kecilan sampai yang besar. Ia tidak tiba-tiba berdagang buku.

Biografi yang mengingatkan bahwa Pasar Senen sejak lama menjadi tempat bersejarah dalam perbukuan di Indonesia. Masagung tidak memilih membuka toko buku atau membesarkan bisnis di Pasar Senen. Penggalan biografinya berada di sana. Pada abad XXI, Pasa Senen masih mengingatkan perdagangan buku, terutaman buku-buku bekas.

Yang dulu mencuri mulai menebus dengan kebaikan-kebaikan saat sukses dengan toko buku dan penerbitan buku. Masagung mengerti masa lalu. Ia belajar dari banyak masalah dan salah. Pada usia makin tua, Masagung menapaki jalan perbukuan mengandung keinginan dakwah tapi bukan pendakwah. Ia tetap percaya kekuatan buku dan pahalanya. Masa lalu termaklumi saja, digantikan persembahan kebaikan dan kemuliaan.

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<