KURUNGBUKA.com, JAKARTA – Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah di kabinet pemerintahan Presiden Prabowo mengundang sekitar 176 sastrawan, tokoh bahasa dan literasi dari seluruh Indonesia untuk berkumpul dan mencurahkan pemikiran serta pendapat mereka pada acara yang bertemakan “Pak Menteri Ngariung” yang jika tak salah bisa diartikan sebagai frasa berkumpul bersama Pak Menteri. Acara ini berlangsung pada Jumat (08/11/2024) lalu pukul 19.00-22.00 WIB di halaman kantor Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Rawamangun, Jakarta.
Kegiatan yan bersifat ‘guyub’, tak ada sekat antara para pelaku literasi, sastrawan sekaligus penyair ini, dibuka oleh Prof E Aminudin Azis, MA PhD dengan ucapan santai dan penuh canda serta tawa.
Ia mengatakan bahwa para sastrawan yang hadir di acara Ngariung Bersama Menteri ini adalah tokoh bahasa dan pelaku nyata di dalam dunia kepenulisan.
Masukan yang akan diberikan oleh para sastrawan tersebut akan menjadi butiran-butiran pemecahan persoalan dalam dunia kata-kata atau literasi. Melalui sastra, budaya dan keberadaan Indonesia akan dibawa ke pentas dunia.
Abdul Mu’ti juga bercerita tentang kecintaannya pada dunia sastra, ia mengenang masa kecilnya di sebuah desa di Kudus tentang bagaimana sepulang dari sawah kemudian mendengarkan salah satu stasiun radio yang bernama Manggala ketika memperdengarkan kisah-kisah drama yang diangkat dari buku-buku sastra, ia juga rajin membaca cerita-cerita pendek yang dimuat di majalah Horison.
Menurut Abdul Mu’ti, dunia sastra adalah dunia yang merdeka, betapa pentingnya dunia kata-kata ini di dalam membangun literasi. “Agar rasa cinta pada sastra kembali tumbuh di kalangan generasi muda, maka keberadaan literasi dalam hal ini sastra harus terus dilakukan dan dikumandangkan. Sastra mengajarkan banyak hal, khususnya etis moral dan kesantunan, kelembutan hati di dalam berperilaku. Bangsa ini bisa besar dan semakin dikenal luas di manca negara melalui dunia sastra,” ungkapnya.
Fantasi di dalam dunia tulis-menulis ini akan menggiring generasi muda ke arah kualitas intelektual baik itu di dalam menuangkan pemikirannya, juga dalam berucap. Menteri juga memiliki program untuk menghidupkan kembali budaya menulis.
“Kami berusaha untuk menghidupkan kembali budaya membaca itu melalui pemberian buku-buku sastra yang dibagikan ke perpustakaan sekolah-sekolah, dengan demikian rasa cinta mereka pada dunia tulis-menulis ini semakin bertumbuh,” jelas Prof Abdul Mu’ti.
Acara tukar pendapat yang dihadiri juga oleh sastrawan senior seperti Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, para sastrawan lainnya, dan anggota Komisi 10 DPR, diisi dengan pembacaan puisi oleh para penyair terkenal. Musikalisasi puisi dari SMA Lab School.
Beberapa dari pembaca puisi ini beberapa dekade telah malang-melintang di dunia yang setia mereka tekuni, seperti Iman Soleh, Jose Rizal Manua, Helfi Theana Rosa, Gol A Gong dan lain-lain. Selain itu sastrawan muda juga turut hadir seperti Ade Ubaidil, Hamzah Muhammad, A. Mustofa, Teguh Afandi, Darmawati Majid, Ayu Alfiah Jonas, Stebby Julionatan dan banyak lainnya. Pada sesi pembacaan puisi ini, Menteri dan anggota Komisi 10 DPR juga membacakan puisi karya penyair lawas Indonesia.
Tukar pendapat yang dilontarkan oleh para sastrawan, berkaitan erat dengan perkembangan dunia membaca di kalangan generasi muda, situasi dan kondisi sastra serta para pelaku juga penggiat sastra, dan kehidupan para sastrawan yang rata-rata berjuang sendiri dengan menulis buku, menerbitkan dan menjualnya secara independen.
Keberadaan media-media yang membayar honor penulis mulai meredup tergeser oleh perkembangan media online yang lebih banyak tidak memikirkan lagi pembayaran/honor untuk jasa si penulis, juga menjadi pemikiran yang harus dicarikan solusinya oleh pemerintah.
Situasi perkembangan peredaran buku-buku sastra pun harus lebih diperhatikan oleh pemerintah, sebab tak jarang para penikmat buku-buku sastra adalah kalangan sendiri yaitu mereka-mereka yang menyukai dunia kata-kata tersebut.
Karena waktu yang kian mendesak, beberapa masukan dari para sastrawan di acara tanya-jawab tersebut tak bisa terakomodir secara maksimal, masih banyak dari para peserta yang ingin menyampaikan apa yang mereka rasakan, contohnya seperti masalah mengikuti beragam kegiatan sastra yang berlangsung di dalam atau luar negeri.
Bagi para sastrawan yang tidak memiliki sponsor atau ‘link’ yang akan menopang aktivitas mereka, mereka harus berusaha keras mencari dana untuk mengikuti beragam kegiatan sastra tersebut. Perbandingan yang mencolok terlihat jelas, negara-negara ASEAN lainnya, sangat memperhatikan keberadaan sastrawan mereka sehingga seleuruh biaya termasuk transportasi, akomodasi dan uang saku ditenggung oleh negara, sebab mereka membawa nama bangsa.
Tak ada salahnya jika pemerintah mempunyai program untuk memberikan pensiun yang disesuaikan dengan jam terbang para penulis, sebab sebagian dari mereka tidak memiliki dana pensiun tetap, mereka lebih banyak bekerja secara mandiri di dunia tulis-menulis dengan idealisme untuk memperkenalkan kehidupan sosial dan ragam budaya yang ada di tanah subur laut kaya yaitu Indonesia tercinta ini.
Semoga kegiatan Ngariung Bersama Menteri menjadi sebuah catatan yang akan segera ditindaklanjuti, sehingga para sastrawan dapat berkarya dengan nyaman, berkualitas dan tidak selalu pusing memikirkan kalimat yang kerap menjadi pertanyaan di benak, “Makan apa kita hari ini?” (fanny/dhe)
*) Sumber berita dari ruzkaindonesia.id